Baru-baru ini, Ketua KPK mengatakan semua koruptor harus dijatuhi hukuman mati (Kompas, 24/11/2021). Pernyataan serupa pernah disampaikan Mantan Hakim Agung, Artidjo Alkostar. Sebatas wacana, nyatanya dua dekade legalisasi hukuman mati dalam UU Tipikor, namun tak satupun koruptor meregang nyawa di ujung senapan eksekutor. Padahal di Indonesia korupsi mengakar di berbagai sektor. Lantas pertanyaannya apakah terdapat celah pada UU Tipikor yang menjadikan hukuman mati tidak aplikatif?
Celah UU Tipikor
Ernest Van Den Haag, profesor bidang yurisprudensi di Universitas Fordham, mengatakan “They fear most death deliberately inflicted by law and scheduled by the courts. Whatever people fear most is likely to deter the most.” Singkatnya, manusia akan menghindari segala hal yang ditakutinya, termasuk menghindari segala sebab yang dapat menimbulkan akibat yang ditakutinya.
Jika manusia takut pada kematian, dan kematian dapat disebabkan oleh korupsi, maka manusia akan mengurungkan niat melakukan korupsi. Akademisi hukum menyebutnya dengan istilah pencegahan umum (Eddy, 2016: 42-45). Dalam memerangi korupsi, manfaat pencegahan umum telah dituai China, terbukti Indeks Persepsi Korupsi China jauh lebih baik dari Indonesia, yakni bertengger di peringkat 78 dari 180 negara.
Iklim korupsi China yang relatif bersih dibanding Indonesia tak terlepas dari pengaruh regulasi China yang mempermudah pemberlakuan hukuman mati terhadap koruptor, dimana seseorang dapat dijatuhi hukuman mati apabila telah terbukti terlibat kasus korupsi yang menimbulkan kerugian negara sebesar Yuan 100.000 atau setara Rp. 215. 000.000,00. Bahkan, pada 2015 tercatat sudah 16 pemimpin politik senior China dieksekusi karena terbukti korupsi.
Berbanding terbalik dengan Indonesia, tak satupun politisi korup yang dijatuhi hukuman mati, bukan karena korupsi tak merajalela, melainkan karena pengaturan hukuman mati di dalam UU 20/2001 tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bermasalah dan seakan dirancang untuk menjauhkan koruptor dari hukuman mati. Hal itu dapat dilihat pada pengaturan syarat penjatuhan hukuman mati.
Terdapat dua syarat yang secara kumulatif harus terwujud terlebih dahulu barulah pelaku korupsi dapat dijatuhi hukuman mati. Pertama, korupsi atas Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor. Kedua, korupsi atas Pasal 2 ayat 1 dan memenuhi unsur ‘keadaan tertentu’ sebagaimana diatur pada Penjelasan Umum Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor yang berbunyi “keadaan tertentu adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.”
Terdapat celah pada kedua syarat di atas (celah UU Tipikor). Dimana definisi keadaan tertentu dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor tidak mengakomodir ‘korupsi atas dana penanggulangan bencana non alam nasional’ layaknya dana penanggulangan Pandemi Covid-19, padahal kerugian negara yang timbul dari korupsi pada masa bencana non alam tak kalah fantastisnya.
Kemudian, korupsi kerugian negara yang dilakukan oleh penyelenggara negara tidak dapat dijatuhi hukuman mati, dikarenakan ancaman hukuman mati hanya diatur dalam Pasal 2, dan tidak diatur dalam Pasal 3 UU Tipikor. Pada dasarnya, Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor sama-sama mengatur Korupsi Kerugian Negara. Perbedaan keduanya hanya terletak pada pelakunya, dimana Pasal 2 pelaku utamanya adalah swasta, sedangkan Pasal 3 pelaku utamanya adalah penyelenggara negara (Mahrus Ali, 2021: 27-30). Logikanya, korupsi yang didalangi oleh penyelenggara negara mesti mesti mendapat hukuman lebih berat, paling tidak dapat dijatuhi hukuman mati, dikarenakan mereka adalah gunting dalam lipatan, merusak negara dari dalam pemerintahan, mengkhianati rakyat dengan memanfaatkan fasilitas negara.
Contoh konkret masalah yang timbil akibat celah di atas, dapat dilihat pada kasus Juliari P. Batubara, yang notabene berstatus penyelenggara negara, dan perbuatan Juliari hanyalah korupsi atas dana penanggulangan Covid-19 (bencana non alam). Artinya korupsi Juliari tidak memenuhi unsur keadaan tertentu dan tidak melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, sehingga Juliari tidak bisa dijerat hukuman mati.
Kemudian, hukuman mati yang tidak diadopsi Pasal 3 UU Tipikor dapat dikatakan tidak mencerminkan kebutuhan pencegahan sebagaimana korupsi yang marak terjadi di Indonesia. Dalam laporan ICW berjudul Pemetaan Delik Korupsi Kerugian Negara Berdasarkan Modus Operandi pada Sem I Tahun 2020, ditemukan fakta berikut: (1) Proyek fiktif 53 kasus; (2) Penggelapan 47 Kasus; (3) Penyalahgunaan Anggaran 30 kasus; (4) Laporan Fiktif 19 kasus. Keempat modus operandi di atas mayoritas dinahkodai oleh penyelenggara negara dikarenakan mereka memiliki kewenangan di pemerintahan.
Reformulasi
Dikala pengaturan hukuman mati tidak aplikatif, dan tidak mencerminkan kebutuhan pemberantasan korupsi, maka reformulasi UU Tipikor perlu dilakukan. Pengaturan hukuman mati di dalam UU Tipikor perlu mengadopsi spirit teori tujuan (Santoso, 1982: 191). Teori ini menjelaskan bahwa hukum pidana bertujuan mencegah terjadinya kejahatan melalui dua cara, yakni sanksi pidana harus dirancang untuk menakut-nakuti ataupun memusnahkan.
Dalam konteks wajah baru pemberantasan korupsi Indonesia yang diusung penulis, eloknya hukuman mati harus mampu menakut-nakuti setiap orang sehingga tidak menjadi koruptor, sekaligus mampu memusnahkan koruptor yang tidak ingin menjadi Justice Collaborator (JC) dan mengembalikan kerugian negara. Tapi bagaimana mungkin hukuman mati yang mandul dapat menakut-nakuti? Kemudian bagaimana mungkin hukuman mati bisa memaksa koruptor menjadi JC dan mengembalikan kerugian negara? sedangkan UU Tipikor tidak mengatur hal demikian.
Untuk itu Presiden dan DPR RI perlu mereformulasi materi UU Tipikor, sebagai berikut: Pertama, memasukkan dana penanggulangan bencana non alam dalam definisi keadaan tertentu. Kedua, memasukkan hukuman mati pada Pasal 3 UU Tipikor. Ketiga, memasukkan Pasal tambahan di dalam UU Tipikor yang materinya mengatur ihwal syarat terbebas dari hukuman mati, yaitu mengembalikan seluruh kerugian negara dan menjadi JC terlebih dahulu.
Dengan diaktualisasikannya ketiga rekomendasi a quo, niscaya hukuman mati menjadi aplikatif dan responsif, serta dapat menjerat pelaku ‘korupsi kerugian negara yang didalangi baik itu oleh swasta maupun para penyelenggara negara atas dana penanggulangan Covid-19’. Juga, hukuman mati tidak lagi diartikan sebagai instrumen balas dendam belaka, melainkan diartikan sebagai instrumen pencegahan korupsi, sekaligus instrumen yang memaksa koruptor untuk mengembalikan kerugian negara (follow the money), dan membongkar pelaku korupsi sampai ke-akar-akarnya (follow the suspect).
Daftar Pustaka
Mahrus Ali, 2021. Delik-Delik Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika.
Edward Omar Sharif Hiariej, 2016. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Ed. Revisi, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka
Topo Santoso, 2015. Hukum Pidana Materil dan Formil. Jakarta: The Asia Foundation.