Siapa yang tidak tahu cebong, hewan yang disematkan pada anak kodok yang masih kecil, berwujud tidak jauh beda dengan ikan yang masih kecil, hidupnya pun juga di air, hidup damai berdampingan dengan ikan.
Ketika masih sekolah, khususnya di kelas IPA, pelajaran biologi, hewan ini biasa disebut dengan berudu. Ia memiliki nama latin ranula jika berjenis kelamin betina (faminime), dan ranunculus jika jantan (masculine).
Cebong yang berukuran kecil seringkali menjadi bahan olok-olok oleh hewan lainnya. nampaknya tidak ada bedanya dengan dunia manusia, orang dengan tubuhnya kecil, ia akan lebih mudah di olok-olok daripada ia yang bertubuh kekar. Sungguh hampir tiada beda jika olok-olok tak ada niat untuk direda.
Adapun kampret merupakan kelelawar kecil pemakan serangga, hidungnya berlipat-lipat, ia memiliki nama latin microchiroptera. Dalam keseharian kita, kampret dikenal sebagai hewan yang bodoh, karena ia beristirahat dan tidur dengan kepala di bawah sehingga ketika ia kencing, dengan sendirinya mengencingi dirinya sendiri. Oleh sebab itulah, hewan ini dikenal sebagai hewan yang bodoh.
Pada mulanya, kedua hewan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan manusia, karena manusia dengan hewan memang dua makhluk yang berbeda. Iwan Fals pernah menjadikan tikus dan kucing sebagai bagian dari lagunya yang berjudul “tikus-tikus kantor” yang released tahun 1993.
Hewan-hewan lain yang dijadikan obyek untuk nyanyian manusia juga dialami oleh si kancil vs kura-kura, si kancil dan siput serta dongeng-dongeng lainnya yang secara khusus diperuntukkan bagi anak-anak untuk mengajarkan pada anak agar tidak berlaku sombong pada siapapun, pada orang yang lebih kecil sekalipun.
Akhir-akhir ini, kedua hewan tersebut (cebong dan kampret) menjelma menjadi sesuatu yang lain. Sebagaimana kucing vs tikus dalam lagu “tikus-tikus kantor” ciptaan Iwan Fals yang bertujuan kritik terhadap elit yang korup serta cerita-cerita hewan yang lain di atas. Cebong dan kampret juga menjadi “lirik lagu” bahkan seakan menjadi “lagu wajib” dalam nyanyian politik kita yang menjamur dewasa ini.
Namun, nyanyian politik kita menjadi petaka bagi bangsa dan negara ini, alih-alih sebagai kritik sebagaimana lagu Iwan Fals dan sebagai metode apik pendidik dalam mendidik anak dalam bentuk dongeng. Jauh berbeda dengan nasib cebong dan kampret, nasib kedua hewan tersebut sangat nahas, kedua hewan tersebut menjadi dua hewan yang dijadikan alat untuk saling mencela, mengolok, mengejek dan merendahkan satu sama lain.
Diakui atau tidak, saling cela, olok, ejek serta saling merendahkan semacam itu menjadi realitas yang perpolitikan kita secara terang-terangan menjadi nyanyian yang sudah mendarah daging hampir di semua lini, lebih-lebih di media sosial. Satu sama lain seakan bangga bahkan seakan menjadi sebuah prestasi karena nyanyian ekspresi politiknya tersalurkan secara bebas dan mendapat respon yang cukup massif.
Nyanyian politik semacam ini harus segera dihentikan, karena memang sudah tidak sepantasnya manusia sebagai makhluq yang sebaik-sebaiknyanya makluq disamakan dengan hewan. Namun jika nyanyian tersebut terus berlanjut, nampaknya sudah bisa dipastikan bangsa yang berketuhanan, beragama, santun, beradab dan label-label positif lainnya hanya akan tinggal namanya saja.
Nyanyian politik yang semakin tidak karuan ini mendapat respon dari Muhammad Zainul Majdi atau yang biasa dikenal sebagai Tuan Guru Bajang (TGB) dan Abdullah Gymnastiar atau yang biasa dikenal sebagai AA Gym. Keduanya (tanpa ada niat sedikitpun untuk mengabaikan tokoh-tokoh agama dan bangsa yang lain) menjadi salah satu dari sekian banyak tokoh agama (Islam) dan bangsa ini yang tidak nyaman dengan kondisi masyarakat yang seperti itu.
Kedua tokoh ini meminta masyarakat untuk menghentikan dan tidak ikut-ikutan menggunakan kata-kata semacam itu.
Islam sebagai salah satu agama yang diakui bahkan sebagai agama dengan penganutnya yang paling banyak, dalam kitab sucinya al Quran, yang juga dikutip oleh TGB dan AA Gym, QS Al Hujurat ayat 11 dan 12, sangat relevan untuk dijadikan sebagai salah satu media untuk meminimalisir bahkan menghentikan mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas untuk disematkan kepada manusia itu.
Dalam ayat tersebut, setidaknya terdapat 6 larangan yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman; Pertama, janganlah sekumpulan orang merendahkan kumpulan yang lain; Kedua, jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan; Ketiga, janganlah suka mencela; Keempat, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan); Kelima, janganlah mencari-cari keburukan orang; Keenam, janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Nyanyian politik dengan sebutan cebong dan kampret yang semakin marak ini, jelas-jelas sudah melanggar keenam larangan di atas. Penulis sangat kwatir penyebutan cebong dan kampret malah dilakukan oleh umat muslim sendiri, jika hal itu benar, secara nyata disadari atau tidak, ia telah menistakan kitab sucinya sendiri.
Lebih dari itu, pada kenyataannya, tidak hanya dalam islam, tiada satu agama apapun, jangankan di Indonesia, agama yang tersebar di seluruh dunia sekalipun tiada yang membenarkan perilaku seperti itu. Karena semua agama mengajarkan menempatkan manusia sebagai manusia yang sesungguhnya.