Menurut KBBI kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Sedangkan revolusioner adalah suatu sifat yang cenderung menghendaki perubahan secara menyeluruh dan mendasar.
Sehingga Kebijakan Revolusioner bisa saya artikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak yang cenderung menghendaki perubahan secara menyeluruh dan mendasar. Lantas apa hubungannya dengan Kebijakan BBM Satu Harga di Era Jokowi sekarang ini?
Kebijakan BBM Satu Harga ini jelas merupakan kebijakan revolusioner. Bagaimana tidak? Penentuan harga BBM di luar Jawa, Madura, dan Bali sebelumnya menggunakan hitung-hitungan ekonomis sebagai berikut [1], HPi = HIPi + αi, dengan Harga Patokan (HP) yang dihitung berdasarkan rata-rata Harga Indeks Pasar (HIP) BBM yang bersangkutan pada periode satu bulan sebelumnya ditambah ongkos distribusi dan margin. Dimana HIP mengacu pada harga transaksi di bursa Singapura.
Dari rumus penentuan harga patokan di atas dapat kita ketahui bahwa semakin besar ongkos distribusi, semakin besar pula nilai dari Harga Patokan. Jika kita bandingkan antara Jawa dan Papua, Pulau Jawa yang luasnya 128.297 km² memiliki 58% total kapasitas kilang Indonesia [2] dan tersebar di 3 tempat yaitu Kilang Balongan di Indramayu, Kilang Cilacap, dan Kilang Cepu, sehingga ongkos distribusi di Pulau Jawa baik itu Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur relatif kecil.
Sedangkan Pulau Papua yang luasnya 459.412 km2 hanya memiliki satu kilang yaitu Kilang Kasim berkapasitas 10 MBSD atau 1% total kapasitas kilang Indonesia dan bertempat di Kabupaten Sorong yang terletak di bagian kepala burung cendrawasih pulau ini saja.
Sehingga jika kita ingin menyalurkan BBM ke Yahukimo yang berjarak sekitar 1000 km lewat perjalanan darat, sedangkan BBM biasanya dikirm menggunakan Kapal Perintis Yahukimo I yang seringkali terganggu akibat surutnya Sungai Brasa di kabupaten tersebut, mengakibatkan harga bensin bisa mencapai Rp150.000 per liternya.
Dari penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa ongkos distribusi di Pulau Papua jelas lebih mahal daripada Pulau Jawa dan berakibat tingginya harga jual BBM di Pulau Papua. Maka dari itu pemerintah melalui Permen ESDM No.36 tahun 2016 tentang Percepatan BBM Satu Harga hendak mewujudkan harga jual eceran BBM yang sama di seluruh Indonesia sebagai upaya mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjelasan ringkas isi peraturan tersebut terdapat pada gambar berikut.
Hingga akhir tahun 2017, pemerintah telah menerapkan 57 titik BBM Satu Harga di berbagai wilayah terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdean, dan Terluar). Sebaran lengkapnya adalah sebagai berikut:
Subjective Theory of Value
Subjective Theory of Value adalah teori nilai yang mengemukakan ide bahwa nilai suatu barang bukan ditentukan oleh apa yang dikandungnya maupun seberapa besar usaha untuk menciptakan barang tersebut, namun oleh seberapa penting nilai barang tersebut bagi suatu indivitu untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya.
Dalam hubungannya dengan kebijakan ini maka perlu sekiranya kita menelisik seberapa “penting”-kah BBM bagi objek kebijakan tersebut.
Dari kedua grafik tentang pangsa kebutuhan energi di kedua koridor [2], dapat kita simpulkan bahwa memang di koridor Papua, BBM menjadi lebih “penting” jika dibandingkan dengan koridor Jawa. Maka dari itu sejatinya harga BBM di Papua lebih mahal daripada Jawa. Namun melalui Permen ESDM No.36 tahun 2016, Pemerintah nampaknya hendak mengesampingkan semua hal untuk mewujudkan keadilan tersebut.
Telah banyak tulisan yang mengulas tentang sisi positif kebijkan ini. Kali ini penulis ingin memaparkan saran dan kritik yang diharapkan mampu menjadikan pelaksanaan kebijakan ini menjadi lebih baik lagi.
Permasalahan Pengecer Ilegal
Setelah didistribusikan, dalam hitungan jam BBM di agen resmi disebut ludes diborong oleh para pengecer. Akibatnya, stok BBM di agen resmi sudah habis, tetapi stok BBM di pengecer tidak resmi malah melimpah dan harganya jauh lebih tinggi dibanding dengan harga di agen resmi. Peristiwa ini terjadi di Tolikara, Papua, yang ditulis Kompas edisi 29 September 2017.
Di sejumlah daerah, fenomena di atas kerap terjadi. Di Gorontalo, misalnya, adalah hal yang lumarah tatkala SPBU kehabisan stok BBM. Sementara BBM eceran dalam botol atau jeriken banyak yang dijual pengecer dengan harga yang lebih mahal daripada harga resmi. Ironisnya, tak sedikit lokasi pengecer yang jaraknya hanya selemparan batu dari SPBU. Kompas menyaksikan fenomena tersebut pada kurun 2011-2014.[3]
Tanpa izin resmi, pengecer BBM bisa dikategorikan sebagai pengecer ilegal. Di dalam Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi disebutkan bahwa orang yang menjual bensin secara ilegal akan dihukum denda sebesar Rp 6 miliar dan kurungan selama enam tahun. Namun, pada tataran empiris bukan perkara mudah untuk melakukan penegakan hukum pada pengecer ilegal tersebut.
Selain mereka sudah menguasai pasar, juga letak geografis yang jauh dan luasnya area distribusi. Sebenarnya jika hanya mengandalkan keberadaan agen resmi, jarak tempuh bagi konsumen ke agen resmi terlalu jauh sehingga keberadaan penyalur tidak resmi praktis masih dibutuhkan.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014, tugas pengawasan distribusi BBM adalah kewenangan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) maka dari itu BPH Migas harus bersinergi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. Sementara itu, beberapa pemda telah memberikan izin usaha eceran ini melalui Peraturan Daerah (Perda)[4].
Karena itu untuk mengatasi masalah ini tanpa memberantas pengecer illegal, perlu ada kepastian hukum yang berpihak pada pengusaha kecil dan seimbang dengan jaminan kualitas, harga yang wajar dan faktor keselamatan atau perlindungan terhadap lingkungan. Sehingga pengecer illegal ini bisa saja menjadi pengecer resmi yang dibina oleh pemerintah.
Beban APBN
Semua pembiayaan operasional penerapan BBM satu harga ini dibebankan kepada Pertamina. Selain itu dengan harga minyak dunia yang telah mencapai sekita 70 US$/bbl pemerintah pun sudah wanti-wanti akan membebankan ongkos akibat tidak menaikkan harga BBM hingga Maret 2018. Jadi, anggapan bahwa kebijakan ini tidak menambah beban APBN tentu saja salah.
Akibat segala beban ditumpahkan kepada Pertamina, maka laba Pertamina terkikis. Sehingga setoran keuntungan Pertamina kepada Pemerintah (APBN) berkurang. Jadi, secara tidak langsung ada dampak terhadap APBN.
Jika Pemerintah ngotot target setoran laba Pertamina ke APBN tidak turun, maka Pertamina akan mencari jalan lain. Misalnya, menaikkan harga Pertamax dan Pertalite yang tidak diatur pemerintah serta secara sengaja mengurangi pasokan bensin Premium dan solar ke SPBU.[5] Sudah semakin banyak SPBU yang tidak menyediakan bensin Premium. Ujung-ujungnya yang dirugikan rakyat juga.
Daftar Pustaka:
[1] https://faisalbasri.com/
[2] Outlook Energi Indonesia 2014
[3] https://www.pressreader.com/
[4] https://www.viva.co.id/
[5]https://faisalbasri.com/