Minggu, Mei 5, 2024

Cara Muslim Milenial Tebar Kebajikan

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Afeksi terhadap generasi muda sudah disampaikan Bung Karno puluhan tahun lalu. Yang paling diingat tentu kredo ”beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Menjelang era bonus demografi Indonesia pada 2020–2030, harapan yang disematkan kepada generasi muda atau kini disebut generasi milenial itu semakin tinggi.

Pada kurun tersebut, lebih dari separo warga Indonesia berada di usia produkif, yakni 15–64 tahun. Buku Muslim Milenial ini adalah salah satu jawaban atas tantangan generasi milenial dalam memanfaatkan usia produktifnya.

Buku yang ditulis 36 alumni Muslim Exchange Program (MEP), sebuah program pertukaran tokoh muda muslim Indonesia-Australia, ini menggugah para penyandang bonus demografi agar tidak hanya urun angan, apalagi berpangku tangan. Harus turun tangan.

Roh tulisan dalam buku ini adalah menebar kebajikan, baik yang dialami sendiri oleh penulis maupun kisah-kisah yang dijumput dari orang lain. Kemajuan zaman dengan segala perkembangan teknologi informasinya harus pula dimanfaatkan untuk aktivitas produktif yang sesuai dengan era kiwari.

Menurut penelitian We Are Social yang bekerja sama dengan Hootsuite, rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 23 menit sehari untuk mengakses media sosial. Dari total penduduk Indonesia, pengguna aktif media sosialnya mencapai 49 persen. Melihat peluang di media sosial itulah kemudian Lusia Afrian Kiroyan mengekspansi dakwah.

Dalam tulisannya berjudul Berdakwah via Media Sosial, Berbagi Inspirasi, Lusia menceritakan pengalamannya saat mengelola prison industry, yaitu industri berbasis pemberdayaan narapidana. Memanfaatkan media sosial untuk mengunggah foto-foto aktivitas sosialnya, mualaf itu lantas mendapat kesempatan belajar lebih di Amerika Serikat. ”Cinderella Indonesia” dan ”Batik Girl” merupakan buah keberhasilan Lusia di bidang sociopreneurship.

Jika Lusia bergerak di bidang sociopreneurship, Hilman Latief memaparkan fenomena gerakan filantropi anyar bernama crowdfund atau urun dana. Platform Kitabisa, Wujudkan, AyoPeduli, dan GandengTangan adalah contoh crowdfund yang boleh dikatakan berhasil menjadi pola baru dalam pengumpulan dana. Bahkan, dengan model crowdfund juga, Fahd Pahdepie, penulis lainnya di buku ini, melalui Kitabisa berhasil mengajak orang-orang untuk membeli novelnya sekaligus berdonasi dalam rangka pembangunan sebuah TPQ.

Fahd, dalam berbagai kesempatan, sering disebut sebagai representasi muslim milenial Indonesia. Dalam novel mutakhirnya, Hijrah Bang Tato, dia mendapat apresiasi banyak kalangan. Sebab, novel itu memiliki dampak luas, bukan hanya bukunya, melainkan juga efeknya ke hal lain. Kandungan novel ini sebenarnya merupakan kontranarasi terhadap konsep ”hijrah” yang selama ini kerap bermuara pada radikalisme.

Melalui tulisan Yang Mengubah, Yang Menggugah, Fahd, misalnya, memanfaatkan pre-order novelnya itu untuk berdonasi ke TPQ yang kemudian dikelola Bang Tato (tokoh utama dalam novel Hijrah Bang Tato). Fahd lantas sampai pada sebuah kesimpulan bahwa pola generasi muslim Indonesia tertarik tak hanya dengan cerita semata, melainkan juga sesuatu yang melampaui cerita itu atau ”makna” di baliknya. ”Mereka tidak hanya ingin ’bersentuhan’ dengan sebuah narasi (interaction), mereka ingin terlibat dalam narasi (interplay) (hal 204).”

Maka, meminjam istilah penulis buku Your Are What You Tweet Germany Kent, jika Anda menggunakan media sosial dan tidak belajar darinya, tidak tertawa, tidak terinspirasi, ataupun tidak berjejaring, Anda salah menggunakannya.

Di sisi lain, Bernando J. Sutjipto mewanti-wanti gaya hidup kekinian remaja milenial agar senantiasa bersikap kritis dan tak gampang meniru. ”Milenial, harus diakui, belum punya kerangka epistemologis ataupun paradigma teoretis yang sanggup membingkai wacana-wacana milenial secara menyeluruh (hal 56).”

Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan.  Munculnya para pemroduksi hoax hanya salah satu gejalanya. Generasi milenial yang belum memiliki kerangka itu menjadi salah satu sasaran karena, masih menurut Bernando, ”wilayah virtual tempat kesadaran kritis mereka kalah oleh luapan emosi dan hamburan opini”.

Pada titik inilah generasi anyar muslim diberi tantangan untuk melakukan kontranarasi. Bernando menawarkan solusi ”Islam hibrida”. Intinya, Islam yang mengandung inklusivitas dan keragaman. Sebab, budaya Islam merupakan proses afirmasi dari banyak kebudayaan lain.

Bagian keempat, Cara Kekinian Suarakan Perdamaian, layak mendapat sorotan lebih. Membaca tujuh tulisan di dalamnya, tidak ada alasan untuk tidak optimistis. Dialog Lintas Agama Model Kekinian ala Muslim Makassar yang ditulis Syamsul Arif Galib seperti mengonfirmasi bahwa kehidupan di Bumi Celebes sudah kondusif.

Kita tentu saja masih ingat serangkaian kerusuhan besar di Poso, Sulawesi Tengah, dua dekade lalu yang melibatkan kelompok Islam dan Kristen. Anak-anak muda milenial di Makassar, mulai Jalin Harmoni, Makassar International Peace Generation, Yayasan KITA Bhineka Tunggal Ika, hingga Gusdurian, berusaha mengikis itu dengan mengadakan dialog lintas agama.

Dari Makassar, kita diajak menyeberang ke provinsi paling barat Indonesia, Aceh. Aceh dulu dikenal sebagai daerah yang tertutup dengan dunia luar. Hal itu tidak terlepas dari kuatnya pengaruh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Setelah tsunami memorak-porandakan Serambi Makkah pada 2004, ditandatanganilah kesepakatan damai antara GAM dan pemerintah Indonesia.

Penandatanganan itu seolah membuka lembaran baru bagi Aceh. Mereka menjadi lebih terbuka. Hingga kemudian, anak-anak muda di sana mulai berani mengadakan gerakan lintas agama. Salah satunya berwujud ”sekolah keberagaman” di Langsa pada 2016. Kendati begitu, seperti diulas dalam Kaum Muda Aceh dan Relasi Antarumat Beragama (hal 183), persentuhan antarumat beragama di Aceh belum bisa dipublikasikan secara masif. Sebab, dikhawatirkan ada masyarakat yang belum siap menerima kegiatan lintas iman itu.

Nilai plus lainnya, penulis Muslim Milenial berasal dari beragam kalangan. Beberapa pihak mewakili dua ormas terbesar dan berpengaruh di Nusantara: NU dan Muhammadiyah. Direktur Australia-Indonesia MEP menyebut para kontributor ini sebagai opinion leaders di era digital: penulis, aktivis ormas, dai dan daiah, pengamat, peneliti, pendidik, dan sebagainya.

Oleh karena itu, tulisan-tulisan di buku ini menunjukkan keanekaragaman pengalaman dan perspektif mereka. Semua merupakan insan-insan terpilih yang punya gagasan dan gerakan untuk kemaslahatan sesama. Gaungnya tak hanya menasional, tetapi juga mengglobal.

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.