Menyambut Bulan September, Dieng kembali mengadakan agenda rutin “Dieng Culture Festival 2022” pasca terkendalinya Pandemi Covid-19 yang tidak lagi se-menyeramkan dua tahun ke belakang.
Momen yang begitu dinanti dan menarik pengunjung baik lokal maupun manca negara ini akan dilaksanakan pada 2-4 September 2022. Satu berkah yang teramat besar dirasakan bagi warga di Kawasan Datarang Tinggi Dieng Baik yang berada dalam wilayah administratif Wonosobo maupun Banjarnegara. Dari acara ini bukan hanya ring satu Dieng yang mendapat limpahan rizki, melainkan beberapa desa yang berada di wilayah tersebut juga turut diserbu wisatawan, karena membludaknya animo pengunjung hingga penginapan-penginapan di ring satu penuh sesak tak bisa menampung wisatawan.
Satu dari sekian kekhawatiran yang muncul dari tumbuh pesatnya daerah wisata adalah adanya degradasi moral akibat pengaruh budaya asing yang dibawa oleh para turis. Ini wajar, karena tidak sedikit daerah wisata yang secara pendapatan semakin tinggi, namun generasi sepuhnya terus berada dalam kekhawatiran sebab nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi mulai pudar. Mulai munculnya penginapan/homestay/hotel yang bebas, gaya hidup wisatawan yang diadopsi oleh warga asli, hingga munculnya watak matrealisme bisa ditemui di beberapa daerah yang mendeclare diri sebagai daerah wisata.
Dieng pun demikian, merasakan kekahawatiran yang sama sejak kali pertama secara serius wilayah ini mulai menempuh jalannya sebagai daerah wisata. Namun mereka tidak mau terjerembab dalam kubangan dampak negatif itu. Bergegas mereka menetapkan aturan-aturan yang harus dipatuhi bukan hanya bagi wisatawan nantinya, namun juga para pelaku usaha wisata itu sendiri. Aspek kearifan lokal yang mereka miliki kemudian dijadikan pijakan untuk mendesain upaya konservasi ini.
Kearifan lokal sendiri menurut Mungmachon (2012) setidaknya harus bermuatkan tiga aspek, yakni kebijaksanaan, upaya konservasi alam, dan continyuitas pewarisan nilai dari generasi ke generasi. Ketiga aspek inilah yang kemudian bisa dilihat muncul dari upaya masyarakat Dieng dalam menjaga nilai luhur mereka melalui kearifan lokal yang sudah tertanam sebelumnya.
Pertama, kebijaksanaan, dalam konteks ini mereka memberlakukan penjagaan terhadap moralitas dengan menggunakan nilai-nilai lokal dan keislaman -sebagai agama yang mereka peluk-. Hal ini bisa dilihat ketika memasuki wilayah Desa Sembungan, yang bahkan akan dengan tegas melarang pengunjung wanita yang mengenakan celana/rok di atas lutut serta baju tanpa lengan.
Kendati tidak harus berjilbab, mereka dengan ketat memberlakukan pakaian yang sopan untuk diikuti oleh para wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Upaya ini menjadi pioneer yang belakangan banyak diikuti desa-desa lain yang menjadi spot wisata kawasan Dataran Tinggi Dieng. Selain itu dalam mempraktikan pengelolaan penginapan/homestay/hotel di Dieng mereka juga ketat secara aturan (yakni melarang bukan pasangan suami-istri menginap dalam satu kamar).
Kedua, upaya konservasi alam. Dalam pembangunan fasilitas penginapan, toko dan sebagainya, pemangku kebijakan di wilayah tersebut cukup ketat, agar pembangunan tidak menabrak situs-situs sejarah yang memang beberapa belum sempurna dieksplorasi. Selian itu lahan hijau juga cukup ketat dijaga, kendati masih ada oknum-oknum yang dengan seenaknya mendirikan bangunan di tanah-tanah yang dulunya merupakan lahan hijau. Sebuah upaya yang memang butuh perjuangan lebih keras untuk mewujudkannya
Ketiga, kontinuitas pewarisan nilai dari generasi ke generasi. Aspek inilah yang kiranya cukup membuat Dieng masih terjaga keluhurannya hingga kini. Pelarangan penginapan yang sifatnya bebas, salah satunya bisa terlaksana dengan baik karena ada nilai yang secara bersamaan didengungkan secara masif melalui cerita rakyat, mitos dan sebagainya sehingga membuat para wisatawan benar-benar menjaga diri.
Beberapa ceriita tentang adanya kabut beracun di puncak Gunung Prau yan muncul akibat kemaksiatan yang diadakan di sana, dusun Lagetan -di desa Pekasiran- yang hilang dalam semalam akibat penduduknya yang gemar bermaksiat, dan masih banyak lagi hal-hal semacam itu yang membuat banyak wisatawan tidak banyak berulah di wilayah Dieng.
Pada aspek yang lain, tradisi lokal seperti lengger, gimbal, jathilan, juga terjaga kerena nilai luhur faham keagamaan yang diwariskan dari generasi lampau merupakan faham keislaman kultural yang sangat moderat dan akomodatif terhadap kebudayaan.
Para penyebar agama di daerah ini seperti Syekh Sikarim, Syekh Adam Sari, Syekh Ngabdullah Selomanik, merupakan kepanjangan tangan dari perjuangan dakwah Walisongo, sehingga corak keagamaan yang kini mereka anut adalah Islam Kultural yang sebagian besar terafiliasi dengan Nahdhatul Ulama (NU). Sehingga praktis faham keislaman ini praktis begitu mengakomodir berbagai tradisi luhur, tidak sebagaimana faham puritan yang pasti akan mengkaitkan dengan kesyirikan ketika kebudayaan itu dianggap tidak diajarkan oleh Rasulullah Saw. Mereka akan menggerus bahkan menghancurkan praktik kebudayaan seperti ini karena sempitnya tafsir mereka atas teks agama.
Akhirnya, kearifan lokal yang mereka miliki menjadi benteng kokoh dalam menjaga Dieng tetap pada jatidirinya. Sebuah kawasan yang begitu mempesona gelaran alamnya, budayanya, nilai luhurnya, meski harus selalu siap berhadapan dengan zaman. Kesemuanya terjaga, dan faktanya wisatawan turut menghormatinya. Di Dieng arogansi ala turis -utamanya nya turis asing- tidak begitu terlihat. Mereka patuh, tunduk, karena Dieng kukuh pada pendiriannya.