Hanya ada dua pilihan untuk memilih capres, jika tidak 01 maka 02. Itu yang disuguhkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia. Lantas bagaimana dengan masyarakat yang tidak menginginkan diantara kedua calon tersebut?
Pada pilpres tahun 2014 sebanyak 30% masyarakat Indonesia tidak menggunakan hak pilihnya. Pada tahun 2019 terdapat peningkatan sekitar 2 juta DPT baru yang diasumsikan merupakan pemilih pemula. Tahun 2014 DPT berjumlah 190 juta dan tahun 2019 DPT berjumlah 192 juta.
Angka golput negara demokrasi seperti Amerika sejak tahun 2004 sampai 2016 cenderung menunjukkan angka kurang baik. Terjadi peningkatan angka golput dari tahun ke tahun. Faktor penyebabnya adalah ketidak percayaan masyarakat terhadap pemimpin dan partai politik.
Fenomena ini mungkin tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin dan partai politik menjadi penentu jumlah golput di Indonesia. Jika dilihat pada pilpres 2014, capres yang bersaing hanya dua, yaitu Jokowi-Jk dan Prabowo-Hatta.
Kala itu, prabowo menjadi calon yang paling dikenal oleh masyarakat Indonesia, karena telah berpartisipasi dalam pilpres sebanyak dua kali. Sedangkan Jokowi merupakan tokoh baru yang diharapkan membawa perubahan untuk bangsa ini. Akhirnya Jokowi memenangkan pilpres pada tahun 2014.
Ditahun 2019, keduanya kembali bersaing untuk mendapatkan kursi RI 1. Masyarakat hanya disuguhkan dengan wajah lama (kecuali cawapres) untuk dipilih. Jokowi yang dulunya diharapkan bisa membawa Indonesia dengan semangat revolusi mental, sampai sekarang mental bangsa masih “mengemis” kepada asing. Praktis tidak ada pilihan lain sebagai alternatif.
Rakyat dipaksa untuk memilih dua kandidat yang sudah diketahui “sepak terjang” yang tidak baik-baik amat. Kampanye yang dilakukan hanya pertarungan antara kedua tim pemenangan yang tidak pernah ada habisnya melakukan kempanye negatif. Kampanye yang masih jauh dari makna substansi perubahan bangsa ini.
Bayangkan saja, hanya salah berdoa menjadi isu hangat untuk diperbincangkan secara nasional. Dalam bahasa Minangkabaunya “bantuak ndak ado karajo lain lai” terjemahannya “seperti tidak ada kerjaan yang lain lagi”.
Tidak bisa di tutupi bahwa kampanye tim pemenangan capres tahun 2019 belum memperlihatkan kualitas perubahan yang ditawarkan oleh masing-masing kandidat. Pada debat pertama misalnya, temanya adalah hukum dan HAM. Saya tidak yakin presiden dan timnya berfikir tentang hak tanah ulayat masyarakat adat di Riau, Sumatera Barat dan daerah lain yang telah “dirampas” oleh negara.
Akibatnya, debat kandidat capres tidak membuat pemilih pemula bisa menentukan sikap untuk memilih presidennya. Beberapa diskusi saya dengan rekan-rekan mahasiswa, sampai sekarang mayoritas mereka belum menentukan sikap untuk memilih prsiden periode 2019-2024. Debat pertama yang diselenggarakan tidak berpengaruh terhadap pilihan politik generasi milenial.
Dalam sebuah diskusi, saya pernah melontarkan wacana golput. Peserta diskusi sekitar 20-25 orang. 80% sepakat dengan golput pada pemilu 2019. Alasannya sangat sederhana, kami tidak tau mana yang lebih baik. Dari alasan tersebut bisa dipahami bahwa dalam hati kecil mereka sebenarnya menginginkan pemimpin yang baik. Namun sangat disayangkan upaya tim pemenangan untuk mebuat citra baik capres masih belum bisa dipahami oleh pemilih pemula.
Diskusi berlanjut dengan 20% peserta yang telah menentukan sikap. Alasan peserta memilih pemimpin adalah dengan melihat kinerja petahana (pendukung 01) dan ingin perubahan Indonesia menjadi lebih baik (pendukung 02). Diskusi menjadi liar setelah kedua kelompok saling mencari sisi buruk dari kedua kandidat. Akhirnya saya sudahi dengan kalimat “pilihan kita, tanggung jawab kita”. Entah mengerti atau tidak maksud kalimat tersebut, peserta tersenyum dengan seribu makna.
Dari kasus diskusi tersebut, saya mengambil dua kesimpulan bahwa generasi milenial lebih cenderung menginginkan inovasi kampanye yang sifatnya kekinian seperti adu isi kemampuan berfikir. Ya paling tidak seperti Rocky Gerung dan Fachri Hamzah di media televisi swasta lah. Jika debar capres dilakukan seperti itu maka generasi milenial akan mudah menentukan pilihannya.
Apakah capres 01 dan 02 bisa berdebat seperti dua penggiat demokrasi itu? Entahlah, karakteristik kedua calon tidak menggambarkan cara berfikir seperti Gerung dan FH.
Pada akhirnya, generasi milenial yang menuntut pemimpin kreatif dan cerdas akan memilih untuk golput dan lebih memilih capres nomor urut 10.