Sebagian besar pria masih belum bisa lepas dari frame tradisional yang menggariskan bahwa kecantikan hakiki yang harus dimiliki seorang perempuan adalah cantik fisik. Hal tersebut bahkan dikuatkan melalui gempuran tayangan iklan dan ajang pencarian bakat yang lebih menonjolkan tampilan fisik ketimbang yang lain. Padahal, zaman telah menunjukkan bahwa konsep kecantikan selalu mengalami pergeseran.
Prasayarat di atas menyebabkan kaum wanita di dunia ketiga, dimana produk-produk “Negara Maju” dipasarkan menjadi “latah” melakukan permak fisik demi mencapai kategori cantik yang didambakan. Konsep “putih” misalnya yang dikonstruksi sedemikian rupa melalui tayangan iklan diasosiasikan dengan “cantik”.
Akibatnya, wanita tropis yang sebagian besar berkulit sawo matang berlomba memutihkan kulit dengan membeli produk pemutih. Mereka berharap, dengan “putih”, bisa menjadi pusat perhatian pria. Saat “putih” mendominasi pola pikir kaum wanita, dengan sendirinya jenis kulit selain putih seperti sawo matang atau bahkan hitam tidak memiliki tempat lagi dalam “obrolan” kecantikan sehari-hari.
Akibatnya, ongkos sosial seperti bullying, hinaan dan cacian harus rela diterima oleh mereka yang terlahir dengan kulit “tidak” putih di dalam masyarakat yang telah terkooptasi bahwa “putih=cantik”. Selanjutnya, mereka yang sudah terpengaruh iklan, terkesan memaksakan diri untuk putih meski kulit berwarna sawo matang.
Wajah ditaburi bedak dan dipolesi kosmetik yang tebal. Wajah memang terlihat putih, tetapi area leher, tangan, dan bahkan kaki tidak bisa berbohong, alias tetap hitam.
Wanita Barat yang imej kecantikannya kita jadikan rujukan justru memilih “jalan” berbeda. Alih-alih “gandrung” produk pemutih, mereka justru menghitamkan kulit dengan berjemur di pantai. Biasanya liburan musim panas pada bulan-bulan Agustus-September untuk kawasan Eropa akan dimanfaatkan “berjemur” di negara-negara tropis.
Fenomena ini lebih banyak disebabkan oleh munculnya anggapan di Barat pasca modern bahwa kulit tropis yang gelap terlihat lebih seksi, eksotis, menarik, sehat dan bersih dibanding jenis kulit kaukasian putih, tetapi pucat dan memiliki banyak bercak hitam sehingga kurang “sedap” dipandang close up.
Konstruksi kecantikan Barat di sisi lain menghasilkan pula perilaku khusus pada kaum wanita, yakni “dandan”. Jika perlu bukti, ajaklah pacar, atau teman wanita anda pergi kencan. Mereka akan nampak kikuk dan kurang percaya diri jika anda melarangnya berdandan.
Dandan dalam hal ini menjadi keharusan, minimal memakai bedak dengan polesan sedikit gincu. Dengan berdandan, mereka terlihat bersemangat untuk ber swafoto. Ketiadaan dandan menyebabkan wajah mereka tampak pucat sehingga ketika diajak berfoto, mereka akan terlihat kurang antusias meskipun memakai aplikasi mode “beauty” sekalipun.
Riasan wajah seperti eye liner, eye shadow dan alis buatan menjadi trend bagaimana seharusnya perempuan berpenampilan di era milenial saat ini. Khusus pada alis, saya sering melakukan bully terhadap seorang teman wanita yang kedapatan memiliki alis cetar. Maksudnya, rambut alisnya dibabat habis, lalu dilukis kembali dengan pensil alis. Atau jika ingin praktis, cukup ditato dengan beragam pola sesuai keinginan. Jika beruntung, akan menghasilkan lukisan alis yang menawan, tetapi bila gagal, alis terlihat aneh, sehingga dandanan nampak menor.
Selain dandan dan obsesi putih, permak fisik pada beberapa bagian tubuh menjadi perhatian serius wanita milenial. Hidung mancung dan wajah tirus akhir-akhir ini tengah digandrungi. Akibatnya, perempuan dengan wajah bulat atau sedikit oval tidak mendapat tempat dalam konstruksi kecantikan Timur. Pun begitu, perempuan dengan hidung tidak (kurang) mancung dan postur membulat mendekati pesek. Di sosial media mereka kadang menjadi bahan olok-olok para warganet.
Keberadaan pinggul dan dada nampaknya perlu mendapat proporsi. Persoalan ini masih bisa diperdebatkan karena menyangkut selera masing-masing. Tetapi secara umum, dua bagian ini bisa dikatakan menjadi daya tarik sensual kaum wanita untuk menggaet lawan jenis. Memang, tidak semua kaum pria menganggap persoalan ini sebagai sesuatu yang penting. Meski demikian, sebagaimana yang dikatakan Freud bahwa pria adalah “nafsu berjalan” sehingga ketertarikan lawan jenis juga dipengaruhi oleh insting kebinatangannya.
Cantik fisik dengan dada dan pinggul yang menonjol nampaknya dikuatkan pula oleh mitos kecantikan lokal. Menonjolnya dua hal ini dianggap menggambarkan kesuburan. Artinya perempuan dengan dua daya tarik di atas terlihat lebih menarik, sebab fantasi pria akan sampai pada bayangan bahwa wanita tersebut cocok menjadi ibu dari anak-anaknya kelak. Dalam bahasa pria, perempuan dengan prototipe di atas seringkali disebut dengan istilah “bahenol” atau “montok”.
Perempuan yang memiliki “rambut” di area yang tidak semestinya harus berpikir ulang ketika ingin tampil di muka umum. Perempuan dengan rambut yang keberadaannya dianggap “berlebihan” seperti area kaki, tangan, dan ketiak akan dengan mudah dituduh mirip “kera”, atau dalam beberapa kasus diasosiasikan dengan mitos-mitos lokal yang berhubungan dengan vitalitas tertentu. Sebagai contoh, perempuan dengan rambut yang cukup lebat di area tangan dianggap memiliki gairah seksualitas yang tinggi.
Postur tubuh seperti tangan dan kaki juga menjadi objek kecantikan fisik. Cantik dalam persepktif Barat sebagaimana yang terpampang di iklan adalah bentuk kaki yang jenjang (bukan panjang) dengan ukuran telapak kaki yang ramping. Perempuan dengan postur tubuh seperti ini akan sangat cocok memakai berbagai jenis ukuran pakaian.
Selain postur kaki, bentuk tangan juga memberi kesan bagi konstruksi kecantikan fisik. Bentuk tangan yang besar, mungkin karena kegemukan tentu saja tidak ideal, perlu dikecilkan melalui diet atau olahraga. Di sisi lain jari tangan yang ideal bagi perempuan adalah jari tangan yang panjang dan lentik, bukan yang pendek apalagi lebar. Jari tangan yang lentik menggambarkan dimensi feminitas, sedangkan jari tangan yang agak lebar identik dengan kekar yang maskulin.
Rambut yang ideal adalah rambut lurus bukan bergelombang atau keriting. Lihat saja iklan kecantikan Barat yang memperlihatkan wanita dengan rambut lurus. Dalam beberapa kesempatan, saya sering membully teman wanita dengan tipe rambut jenis ini dengan sebutan “berit”. Istilah ini bertendensi bully sosial ketimbang meneguhkan keintiman yang berdampak psikis terhadap perkembangan mental.
Dalam dunia modern yang mensyaratkan rambut lurus, kategori rambut “berit” harus dimusnahan. Tidak mengherankan para perempuan berlomba melakukan pelurusan rambut melalui aktivitas rebonding dan smoothing meskipun secara genetik berbeda.