Jumat, April 26, 2024

Candu Nomophobia

Belinda Viklous
Belinda Viklous
Penulis dari perbatasan yang bermimpi besar

Para pengguna layanan Facebook, Instagram, dan WhatsApp mengalami kesulitan dalam mengakses sosial media beberapa hari terakhir ini. dikarenakan untuk beberapa saat ketiga media sosial tersebut mengalami gangguan.

Sehingga, para pengguna ketiga sosial media itu kemudian berbondong-bondong pindah ke media sosial Twitter. Seperti laporan dari media online Tribunnews.com Melalui tagar #Facebookdown dan #Instagramdown mereka menyampaikan keluhan mereka.

Dengan kemajuan teknologi saat ini, sosial media sendiri sudah menjadi semacam hal yang wajib dimiliki oleh setiap orang, mulai dari anak-anak sampai masyarakat dewasa. Dimana sosial media menawarkan hal-hal yang menyenangkan hanya dengan sentuhan ibu jari pada layar smartphone yang kita miliki.

Teknologi memperdaya manusia dan menciptakan ruang dunia sendiri bagi penggunanya, dan membuat semua kebutuhan kita seolah-olah dapat dipenuhi oleh sosial media tersebut.

Dan oleh hal tersebut, banyak dari kita yang menjadi kecanduan terhadap smartphone atau nomophobia, dikutip dari wikipedia istilah nomophobia ini pertama kali muncul dalam suatu penelitian tahun 2010 di Britania Raya oleh YouGov yang meneliti tentang kegelisahan yang dialami di antara 2.163 pengguna telepon genggam.

Studi tersebut menemukan bahwa 58% pria dan 47% wanita pengguna telepon genggam yang disurvei cenderung merasa tidak nyaman ketika mereka “kehilangan telepon genggam, kehabisan baterai atau pulsa, atau berada di luar jaringan”, dan 9% selebihnya merasa stres ketika telepon genggam mereka mati.

Di Indonesia sendiri kecanduan smartphone sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir, saat dimana smartphone semakin marak diperjual belikan dengan harga yang murah sehingga tiap orang dapat dengan mudah mendapatkannya. Smartphone yang tujuan awalnya diciptakan untuk mempermudah hidup manusia justru menjadi semacam boomerang untuk menusia itu sendiri.

Kecanduan pada smartphone yang menyebabkan manusia saling mengacuhkan satu sama lain, berkomunikasi satu arah dan menyebabkan hilangnya jati diri manusia sebagai makhluk sosial.

Hal merugikan ini juga bukan hanya berdampak pada lingkungan sekitar namun pada pengguna itu sendiri, dimana terjadi banyak kasus kecelakaan yang disebabkan oleh pengendara yang terlalu asik mengecek smartphone, seperti berita yang dikutip dari liputan6.com informasi yang disampaikan oleh @divisihumaspolri pada akun instagram nya yang melaporkan bahwa menelpon atau ber-SMS saat mengemudi merupakan penyebab terbesar terjadinya kecelakaan dijalan raya.

Kecanduan terhadap smartphone adalah sebuah keresahan, pemerintah yang menyadari hal tersebut pun tidak tinggal diam sehingga membuat beberapa kebijakan seperti pembatasan akses sosial media, dirancangnya UU No.11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam menghindari informasi yang tidak benar, juga denda penggunaan GPS yang didasari dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 106 Ayat 1 junto Pasal 283 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dalam Pasal 106 ayat 1.

Langkah-langkah pemerintah tersebut guna mencegah hal negatif yang mungkin dapat terjadi dari penggunaan smartphone sudah dirasa cukup baik. Dan kita sebagai masyarakat sudah seharusnya dapat dengan legowo menerima dan justru akan lebih baik jika mendukung kebijakan tersebut.

Dengan kebijakan kominfo dalam membatasi penggunaan sosial media, sebenarnya memberikan banyak dampak positif bagi masyarakat itu sendiri. Dengan kebijakan sementara tersebut, seharusnya kita dapat menyikapinya dengan bijaksana dan berpikiran terbuka.

Berkurangya intesitas kita dalam penggunaan smartphone dapat kita isi dengan melakukan hal-hal positif, seperti menjalin hubungan dengan orang dan lingkungan sekitar kita, menenangkan diri dari intrik yang ada di sosial media, membaca buku, dan ber-quality time dengan orang-orang terdekat.

Sehingga hal tersebut dapat mengembalikan kita pada hakikat sebagai makhluk sosial. Aristoteles sendiri menerangkan bahwa menusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu sama lain, sebuah hal yang membedakan manusia dengan hewan.

Pembatasan sosial media yang akhir-akhir ini sedang diberlakukan oleh pemerintah, diharapkan dapat menjadi langkah positif untuk menghindarkan kita dari Candu Nomophobia yang pada dasarnya adalah sebuah keresahan, dan semoga hal tersebut dapat membantu minimalisirkan hal-hal merugikan yang ditimbulkan dari kecanduan smartphone tersebut, mulai dari menurunya tingkat kecelakaan, berkurangya infromasi-informasi hoax, dan lebih berkonsentrasi dalam berkendara.

Dan yang terutama adalah dengan pembatasan akses sosial media, dapat membuat kita tidak asik dalam dunia virtual dan lebih menekankan berinteraksi dengan orang dan lingkungan sekitar, karena kita sebagai manusia sudah seharusnya menyadari hakikat, bahwa kita adalah makhluk sosial yang memang sudah semestinya dapat bersosialisasi dan menjalin hubungan erat satu dengan yang lainnya.

Dan dengan hal-hal tersebut, kita dapat menjadi pengguna yang bijak dan terhindar dari Candu Nomophobia.

Belinda Viklous
Belinda Viklous
Penulis dari perbatasan yang bermimpi besar
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.