Kamis, Oktober 3, 2024

Candu Dana Desa

Dhanny Sutopo
Dhanny Sutopo
Pengajar pada fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) Univ. Brawijaya Malang, sedang menempuh program doktoral pada Universitas Airlangga

Remember, aid cannot achieve the end of poverty. Only homegrown development base on the dynamism of individuals and firms in free markets can do that”. Kutipan dari buku The White Man’s Burden (2006) karya William Easterly cukup menarik menjadi alarm tentang sebuah policy bantuan.

Faktanya, karena kebijakan bantuan menjadi salah satu kebijakan pembangunan yang masih terus dilaksanakan hingga kini. Meski demikian, evolusi atas gagasan dan praktek pembangunan telah mengalami perubahan ataupun penyesuaian dengan segala aturannya. Di sini penulis membaca glontoran dana desa, di mana sebagai amanat UU Desa merupakan dana “bantuan” yang telah menjadi hak desa.

Bantuan Pembangunan

Sekedar berkelana dalam lintasan sejarah, bantuan pembangunan internasional di mulai dari paket bantuan ekonomi dalam skema Marshall Plan (1947-1951). Paket bantuan ini berasal dari pemerintah Amerika Serikat dan ditujukan untuk membantu negara-negara di Eropa yang porak-poranda setelah perang dunia kedua.

Sebagai respon proposal Marshall Plan, maka negara-negara Eropa (16 negara) menyelenggarakan Conference of Sixteen untuk merumuskan kelembagaan bersama dalam melakukan European Recovery Programme dan pengelolaan bantuan pembangunan.

Maka pada 16 April 1948 berdirilah Organization for European Economic Co-Operation/OEEC. Dikarenakan makin dinamisnya perkembangan global, maka OEEC berkembang menjadi Organization for Economic Cooperation and Development/OECD (September 1961 – sekarang). OECD didirikan oleh OEEC dan Amerika Serikat serta Kanada.

Dengan demikian, OECD menjadi organisasi global yang anggotanya makin bertambah dan menjadi salah satu aktor penting dalam pembangunan internasional. Namun kenyataan pahit rupanya yang terhidang sejak tahun 1968, tidak ada satupun negara yang menerima bantuan dari Amerika ini tumbuh dari negara miskin menjadi negara yang lebih berkembang. Bahkan, negara-negara yang menerima bantuan ini justru menjadi lebih bergantung pada bantuan dari pada sebelumnya (Woods, 1989 dalam Acemoglu dan Robinson, 2014 ).

Lebih jauh, menurut Doug Bandow dari Cato Institute, menyebutkan bahwa sekitar 70 negara penerima bantuan luar negeri, saat ini menjadi lebih miskin dibandingkan pada tahun 1980an. Beberapa penyebabnya adalah kekacauan dalam negara akibat perang ataupun korupsi yang merjalela dalam pemerintahan yang menyebabkan negara tidak efektif mengelola bantuan.

Beberapa negara yang Bandow sebutkan kebanyakan berasal dari negara-negara Sub Saharan Afrika. Sebuah gambaran bahwa bantuan tak jarang “jauh panggang dari api” tidak berhasil mensejahterakan penerima bantuannya. Tentu penyebabnya tidak tunggal, namun Tamsil uzur bahwa pengalaman adalah guru terbaik, dapatlah menjadi pigura pada kebijakan bantuan di Indonesia. Ikrar pemerintah terhadap guyuran Dana Desa semakin nyata dibuktikan, hal ini tampak dari kran dana yang dibuka semakin lebar.

Jika dilacak dari tahun ke tahun Dana Desa memang terus meroket. Pada tahun 2015, Dana Desa dianggarkan sebesar Rp20,7 triliun, dengan rata-rata setiap desa mendapatkan alokasi sebesar Rp280 juta.

Pada tahun 2016, Dana Desa meningkat menjadi Rp46,98 triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp628 juta dan di tahun 2017 kembali meningkat menjadi Rp60 Triliun dengan rata-rata setiap desa sebesar Rp800 juta. Tahun ini nominalnya masih sama dengan tahun kemarin, namun di tahun depan akan ada penambahan Rp25 Triliun.

Dan hasil dari kebijakan pro-desa tersebut terhampar perubahan besar dari rona desa. Di mana 121.000 Km jalan desa telah dibikin, membangun 412 ribu meter jembatan, 82.356 unit MCK, dan 32.711 unit pengolahan air bersih yang dibangun oleh masyarakat desa.

Selain itu, dana desa yang disalurkan pada 2017 juga telah mendirikan 21.357 sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), 13.973 posyandu, dan 6.041 polindes.Peran pada sektor pertanian pun tak kalah gemerlap, sebanyak 11.626 sumur dibangun, 1.058 tambatan perahu, 5.220 pasar desa, 628 lumbung, serta  49.558 drainase saluran irigasi tersier (Kemendes PDTT,2017).

Bahkan kilau desa juga tampak selain infrastruktur, yaitu juga telah menumbuhkan BUMDes. Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian Desa sampai akhir tahun kemarin ada 21.811 BUMdes yang semakin tumbuh. Beberapa diantara mereka, bahkan memiliki omset antara Rp 300 juta – Rp 8,7 miliar.

Jadi, jika dilihat dari hasil kerja pemerintah, rasanya sulit tidak memberi aplaus. Namun, data tak pernah tunggal untuk menjelaskan suatu realitas. Angka-angka pencapaian dari Dana Desa tersebut meski terus membiak dari tahun sebelumnya, di mana kenyataannya baru memasuki tahun ketiga dari pelaksanaannya.

Tidak bisa dibayangkan bagaimana di tahun-tahun mendatang, revolusi sebuah wajah desa sebuah keniscayaan. Pemerintah rupanya benar-benar menjadikan pembangunan desa sebagai agenda utama. Tentu pemerintah mempunyai argumen kuat mengenai derasnya glontoran Dana Desa tersebut, namun di benak penulis merayap ada kekwatiran; Dana Desa akan menjadi candu bagi desa. Prespektif dana yang semakin besar semakin menjauhkan dari kemandirian.

Muncul ketergantungan desa kepada “dana bantuan” dan hal ini lambat laun akan bermuara pada melemahnya kemampuan desa mendayagunakan sumberdaya lokal. Ketidakberdayaan desa untuk mengelola sumberdayanya sendiri ini juga dipengaruhi oleh adanya ketidakmampuan desa dalam memetakan aset-aset yang dimilikinya.

Tanpa adanya kemampuan untuk merumuskan pendayagunaan sumberdaya desa termasuk dana desa yang diperoleh dari negara sebagai modal pembangunan ekonomi, maka sumberdaya desa menjadi tidak produktif bahkan cenderung dana desa yang berasal dari negara hanya menopang daya beli Desa.

Tentu kita berharap hal sebaliknya, namun kembali “hutang” kita terhadap desa selama ini. Di mana gemerlap kota menenggelamkan desa dan derap pembangunan di desa nyaris sayup-sayup tertinggal oleh kota, tidak kita bayar dengan memanjakan besarnya Dana Desa semata. Tata kelola dan keadilan desa harus terus ditegakkan dengan konsisten sebagaimana dimandatkan dalam UU Desa.

Dhanny Sutopo
Dhanny Sutopo
Pengajar pada fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP) Univ. Brawijaya Malang, sedang menempuh program doktoral pada Universitas Airlangga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.