Jumat, April 26, 2024

(Calon) Pemimpin Baru dan Tugas Kegembalaan

Vianlein
Vianlein
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero-Maumere. Tinggal di Thüringen - Jerman

Metafor gembala yang disematkan pada pemimpin atau penguasa dalam segala bentuknya mulai dikenal di seluruh wilayah Timur Dekat Kuno seperti Sumeria, Mesir, dan Babilonia serta juga penduduk Yunani dan Romawi.

Homeros (700 SM), salah satu penyair ternama Yunani Kuno, pernah menggunakan metafor “gembala dan “ternak“ (domba) untuk melukiskan karakter relasi antara rakyat dan negarawan (penguasa). Ia juga menyebut Raja Agammenon, pemimpin pasukan dalam perang Troya sebagai poimén, gembala domba (Heitsch, Ernst danMüller, C.W., Platon Werke. Minos: 2009, 167).

Sementara itu Aristoteles membandingkan sosok seorang raja dengan nomeús, gembala (Etika Nikomakea1161, 10ff). Kata atau sosok‚ gembala menghadirkan kesan dan pesan‚ yang memberi perhatian, yang menuntun. Lalu, mengapa rakyat dimetaforakan sebagai “domba“ yang membutuhkan kehadiran seorang gembala? Bagaimana sesungguhnya peran “gembala“ itu diwujudkan dalam kata dan tindakan?

Plato sendiri sangsi dan menaruh curiga pada metafor inidan karena itu memberi argumen yang berseberangan: apakah sang gembala yang menuntun kawanan domba ke padang rumput yang hijau sungguh menempatkan prioritas domba in se sebagai tujuan yang dicapai dalam pikirannya, atau justru keuntungan dari penjualan atau pesta pora untuk kepentingan sendiri.

Bagi Plato, seorang gembala pada dasarnya memanfaatkan domba-domba untuk kepentingannya sendiri, entah itu susu, bulu yang dijadikan woll, bahkan daging(Politeia 343a f).

Di sini terlihat, bahwa metafor ini telah menyibak suatu kebenaran yang disembunyikan, bahwa kehadiran gembala itu tidak untuk kepentingan kesejahteraan kawanan domba, melainkan kesejahteraan pemilik kawanan itu. Lantas, maksud apa yang hendak dikatakan dari metafor yang menembus filsafat politik barat ini?

Sejarah gagasan filsafat politik menunjukkan, bahwa metafor “gembala“ dimainkan untuk pembenaran status quo para elite penguasa. Ia merancang sebuah konstruksi ideologi “orang-orang kecil“ sekaligus menutup cadar kepentingan pribadi dari mereka yang mempromosikan dan menawarkan diri sebagaipemimpin, penuntun dan pembebas.

Di sana terbentuk sebuah pembedaan kategori antara “rakyat dan elite politik” yang menjadi bangunan konsep tentang demokrasi. Sampai pada titik ini kita melihat ada ketegangan dalam demokrasi: usaha mencapai tujuan bonum commune atau pemuasan nafsu kuasa dan kepentingan sektarian.

Dari dua kekuatan sentrifugal ini kita pun menterjemahkan konsep demokrasi dalam dua sudut pandang, yakni dari sudut pandang rakyat dansudut pandang elite politik atau penguasa.

Pertama, dari sudut pandang rakyat: secara natural manusia dikuasai oleh paksaan atau ‘tekanan‘ dan ‘kebebasan‘. Sudah tentu manusia ingin menjadi pribadi yang otonom dan menolak jika ada orang lain mengendalikan‚ keinginan pribadi.

Kita tidak hanya memiliki kebebasan, tetapi juga kehendak untuk mengaktualisasikan kebebasan itu dalam tindakan konkret. Hal inilah yang menjadi pendorong untuk memperjuangkan dan mempertahankan demokrasi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Hans Keslen (1881-1973).

Seorang ahli hukum negara: di dalam demokrasi ada insting purba (Urinstikt) “pembebasan“ yang terus mendesak, sebuah protes melawan kehendak asing, melawan derita heteronomi, yakni penentuan asing dari luar diri (Keslen: 1920, 4).

Kedua, dari sudut pandang penguasa, kita mengajukan pertanyaan: apa yang menjadi roh penggerak bagi para elite dalam mesin politiknya untuk menggerakkan roda demokrasi?Keslen memberi jawaban sederhana: tidak ada! Karena – demikian ia secara sarkas- bagi para penguasa, demokrasi adalah bentuk pembatasan kehendak mereka untuk berkuasa dan keinginan akan kekayaan, dalamnya hasrat politik yang egois (dipaksakan) menjadi rasionalitas politik publik.

Untuk dapat “menenangkan“ (bukan memenuhi!) kerinduan dan kebutuhan warga akan kebebasan dari setiap keterpurukan, pertama-tama rakyat mesti digiring secara masal ke dalam “kandang“ yang mereka ciptakan sehingga tak ada lagi ruang untuk memandang padang luas kehidupan, apalagi bergerak kepada horison berpikir secara kritis.

Di sana isu agama menjadi salah satu syair yang bisa dikumandangkan dan istrumen media turut melantunkan melodi-melodi tentang kebohongan. Ketika warga telah secara mudah didikte, mereka kemudian dibikin tunduk hingga tak berani lagi berteriak melawan.

Gerak kehidupan pun sebatas dinding “kandang“; dan mereka meyakini bahwa itu cukup bahkan sempurna. Sikap masabodoh dan acuh terhadap “yang lain“ di luar batas-batas terberi (oleh “gembala“yang diikuti) juga mulai tumbuh dalam atmosfer persaingan untuk saling menghancurkan.

Pemilu yang baru kita laksanakan adalah momen di mana kita menjawab seruan-seruan para calon gembala yang tampil sepanjang musim-musim kampanye pencaharian. Setiap kita meyakini, bahwa calon yang kita pilih adalah figur yang dapat dipercaya.

Di atas keyakinan itu kita pun tentu berharap agar mereka yang terpilih nanti tetap setia pada tugas dan tanggung jawab sebagai gembala yang baik. Fungsi kegembalaan dalam sebuah rumah demokrasi antara lain: penuntun kepada kebaikan dan penghimpun/pemersatu.

Tugas “menuntun“ mengisyaratkan aspek pengenalan dan ikatan relasi dengan rakyat, yang mana hal ini dapat dicapai lewat kehadiran serta keterlibatan dalam realitas kehidupan rakyat.

Lebih lanjut, tanggung jawab ini menuntut kepekaan terhadap situasi konkrit masyarakat: telinga yang selalu siap mendengar, intelek yang terus berdialektika dan berefleksi kritis atas realitas serta nurani yang mengutamakan doktrin cinta dan solider akan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Itu berarti, spirit pelayanan itu mesti melampaui batas-batas primordialisme keagamaan atau suku yang memisahkan. Mereka yang tersesat di “jalan kebenaran“ mesti juga mendapat prioritas untuk dituntun dan dirangkul dalam kebhinekaan dan bukannya untuk terus diadu-domba.

Harapan dan cita-cita ini akan terwujud jika semua kita (pemimpin dan rakyat) terlebih dahulu sanggup menjadi “gembala bagi dirisendiri“ sebelum menjadi “gembala yang baik“ bagi orang lain, sebagaimana ada-nyakita yang adalah “gembala Ada“ (Heidegger: 1954).

Dengan demikian, “menggembalakan“ adalah sebuah tugas pelayanan dalam “cara mengada“ yang otentik sebagai individu dan sebagai makhluk sosial.

Selamat untuk para “gembala“ terpilih! Semoga dapat menjadi “gembala yang baik“ dan (suara) rakyat tak kelak dikebiri untuk pemenuhan kepentingan pribadi atau golongan!

Foto: ©cvf-ev.org

Vianlein
Vianlein
Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero-Maumere. Tinggal di Thüringen - Jerman
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.