Pada akhirnya, seluruh argumen kita tentang demokrasi substansial di tingkatan lokal akan diuji secara empirik berdasarkan pra-kondisi dan produk kepemimpinan yang dihasilkan.
Asumsi dasarnya, terutama dengan disahkan konsep otonomi daerah dan pelaksanaan pilkada sejak tahun 2005 adalah desentralisasi kekuasaan, kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat dengan kewenangan yang luas ditingkatan lokal.
Tujuannya adalah agar kekuasaan negara lebih dekat pada rakyat melalui kepala daerah. Pun sejak awal, hal ini dianggap sebagai jawaban utama atas kekisruhan pemerintahan sentralistik orde baru yang terpusat selama 32 tahun.
Namun, sayangnya desentralisasi pemerintahan ditingkatan lokal tidak diikuti oleh partai politik yang hingga kini masih sangat sentralistik. Yang mengharuskan, calon kepala daerah harus mendapatkan rekomendasi dan restu kepengurusan partai politik di tingkatan nasional.
Bahkan, pada banyak kasus tak sedikit partai politik rela memecat kadernya ditingkatan provinsi dan kota atau kabupaten karena merekomendasikan calon kepala daerah yang tidak sama dengan pengurus di daerah.
Akibatnya, seorang kandidat yang ingin mendapat rekomendasi partai politik tidak cukup hanya memiliki kapabilitas kepemimpinan yang baik dan elektabilitas yang tinggi. Tapi juga harus memiliki affordabilitas yang baik pula, kekuataan finansial yang menjamin seluruh proses kampanye bisa berjalan baik.
Jika pada akhirnya, terdapat mahar dalam menjamin akses rekomendasi partai ke kandidat itu persoalan buruk yang hingga saat ini menjadi tantangan kita dalam menjalankan demokrasi substansial. Pun mahar politik semacam ini, sering terjadi dibalik meja dalam ruang-ruang “kegelapan” politik hingga konon katanya, merangsang kandidat untuk maju menjadi calon independen.
Pernah satu kali, saya bicara pada seorang teman yang mengurusi kandidat calon independen : “Kenapa tidak maju dari partai politik saja, bung?” tanya saya.
jawabannya : “Si bakal calon tidak mau pakai mahar politik”
Sekarang mari kita uji. Undang-Undang Pilakada Nomor 10 tahun 2016 merinci dengan jelas syarat minimal dukungan untuk perseorangan. Kita ambil contoh 2 (dua) Pilkada yang akan maju tahun 2020 di Sumatera Utara yaitu Kota Medan yang kurang lebih memiki DPT 1.579.354 pemilih dan Kabupaten Simalungun yang kurang lebih memiliki DPT sebesar 625.916 pemilih.
Artinya untuk Kota Medan yang memiliki DPT diatas satu juta pemilih harus mengumpulkan KTP minimal 6,5% yaitu 102.658 dukungan dengan asumsi ditambah 10% dari jumlah minimal tersebut untuk berjaga-jaga bila ada yang bermasalah dari segi administrasi dan faktual.
Sementara, untuk Kabupaten Simalungun yang jumlah DPT nya dibawah satu juta harus mengumpulkan dukungan KTP minimal 7,5% yaitu 469.43 jumlah dukungan dengan asumsi ditambah 10% dari jumlah minimal untuk mengantisipasi data eror di lapangan.
Lebih lanjut, semua persyaratan itu harus menyertakan perangko disurat dukungan. Pun verifikasi faktual dengan metode sensus harus menemui satu persatu individu yang menyerahkan dukungannya yang jumlahnya puluhan ribu hingga ratusan ribu dukungan KTP.
Artinya, kita harus adil pula dalam melihat bagaimana calon perseorangan akan mampu meraih dukungan. Sama halnya kita kritis pada mahar pada partai politik. Karena, pemberian imbalan berupa uang atau barang sangat mungkin terjadi dalam proses pengumpulan dukungan KTP.
Pun, di lapangan ketika para tim sukses meminta dukungan, tidak pula terhindar seutuhnya dari bahasa: “Aku kasih KTP ini, tapi ada uangnyakan ?”.
Jika ada satu saja, calon pemberi dukungan yang diberi uang untuk formulir dukungan oleh jaringan tim sukses, bukankah itu termasuk dalam mahar politik, bukan?
Bedanya, mahar semacam ini potensinya berlangsung diatas meja berbeda dengan mahar melalui partai politik. Artinya, potensi mahar tidak hanya terjadi pada bakal calon kandidat dari partai politik tapi juga calon independen karena rentan terhadap penyogokan terhadap rakyat untuk fotocopy KTP dan formulir dukungan.