Kamis, Maret 28, 2024

Cak Imin dan Daya Tawar Politik Holopis Kuntul Baris

Raylis Sumitra
Raylis Sumitra
Presedium PENA 98 (Perhimpunan Nasional Aktivitis 98) Jawa Timur Mantan Jurnalis pengemar kopi

Pepatah Jawa holopis kuntul baris adalah sebuah refleksi tentang kebersamaan dan gotong-royong dalam meraih sebuah cita-cita luhur. Tentunya, sentimen yang ingin di bangun adalah sebuah kesadaraan bersama.

Kekuataan kebersamaan yang dibangung bersama dengan pembagian peran yang berbeda sesuai dengan potensi individualnya. Jargon holopis kuntul baris ini muncul menjelang pilgub Jawa Timur. Dimunculkan PKB Jawa Timur untuk mengusung Halim Iskandar dalam kontenstasi Pilgub Jawa Timur dalam Pilkada serentak 27 juni lalu.

Holopis kuntul baris bergerak masif di internal PKB.  Sebagai upaya meningkatkan electoral Halim Iskandar. Tapi kenyataannya, mendongkrak elektabilitas Halim Iskandar, teknis itu tidak membuahkan hasil. Elektabilitas Halim Iskandar tidak meningkat. Elektabilatas tidak mampu mendekati Saifullah Yusuf dan Khofifah Indarpawangsa.

Melihat kenyataan tersebut, upaya mundur dari kontenstasi pun dirumuskan. Alibi lah digunakan. Politik memang seni seolah-olah. Maka alibi yang digunakan untuk menarik produk yang tidak laku tersebut.

Dengan cara mengumpulkan kyai-kyai. Seolah-olah, ada desakan kyai. Untuk mundur. Dan memilih salah satu calon yang didukung kyai. Sebuah tontonan ini diulang lagi di pilpres 2019. Kali ini aktornya Muhaimmin Iskandar.

Yang begitu ngotot maju menjadi calon wakil presiden bersama petahanan Jokowi. Yang paling hits adalah pemasangan baliho di seluruh nusantara. Bahkan muncul anekdot, kalau baliho Muhaimmin lebih banyak dari promosi Asian Games.

Tidak hanya itu, pencintraan Muhaimin sebagai tokoh yang layak semakin banyak. Mulai pemimpin zaman now, panglima santri, cinta, sampai memaksakan tagline JOIN (Jokowi – Muhaimmin).

Hasilnya, tanda-tanda pinangan Jokowi tidak muncul. Salah satu elite PDI Perjuangan Jeniffer Girsang menyatakan, kalau nama Muhaimin tidak ada di kantong 10 nama cawapres yang akan di pasangkan Jokowi.

Ini bisa dilihat dari komunikasi politik Jokowi. Jokowi lebih mesra dengan kyai dan ulama-ulama NU yang notabene tidak memiliki kedekatan dengan Muhaimmin Iskandar. Melihat kenyataan tersebut, PKB yang ngotot mencalonkan Muhaimin.

Dengan argumentasi representasi ulama dan umat. Melakukan manuver-manuver. Tentu saja agar dipinang Jokowi. Dan kemungkinan tercelek menekan Jokowi. Sama halnya, seperti di Pilgub Jawa Timur.

Memobilisasi kyai dan ulama sebagai corong penekan.Tentu saja, ini merugikan. Merugikan bagi kharisma para kyai. Dan lembaga NU yang jadi alat untuk merebutkan kekuasaan. Meminta jabatan untuk segelintir kelompok di NU.

Jokowi sendiri sebenarnya lebih NU. Dia tidak melepaskan tradisi dan adab ke-NU an. Komunikasi yang tawadhu menempatkan kyai dan ulama sebagai panutan dan cara berkonfirmasi.

Ber-tabayyun (berembuk) untuk mencari yang terbaik bagi umat dan bangsa.  Tanpa harus menunjukan ambisinya. Jokowi sangat paham gaya komunikasi ulama. Melalui cara berkomunikasi ke publik.

Bisa disimpulkan, pilihan tidak mengandeng Muhaimmin Iskandar adalah hasil silahturahmi dan tabayyun kepada kyai dan ulama-ulama NU di Nusantara. Apakah ending dari politik Hulupis Kuntul Baris terulang lagi di Pilpres 2019?

Kekalahaan politik gaya Holupis Kuntul Baris di Pilgub Jatim tersebut. Akan di ulang dalam Pilpres. Muhaimmin Iskandar akan jadikan kyai sebagai sandra politik. Menawarkan posisi kepada Jokowi.  Atau calon Presiden lainnya.

Kepada Jokowi dia akan meminta jatah kabinet atau posisi strategis lainnya. Kepada calon lainnya, Muhaimin meminta dirinya jadi wakil Presiden. Pertanyaannya, apakah tawaran tersebut ampuh? Bisa iya dan bisa tidak.

Jokowi sudah punya rekam jejak Muhaimin Iskandar.  Salah satunya soal konsistensi dan perilaku mendikte. Seperti kita ketahui, Jokowi pribadi yang susah didekte. Jokowi ingin perjalan pemerintahan ini berjalan atas dasar kesadaraan bersama.

Kesadaraan membangun Indonesia. Atau yang lebih populer dengan jargon “Revolusi mentalnya”. Maka gaya politik Holopis Kuntul Baris di tolak oleh Jokowi. Kandidat selain Jokowi Pilkada serentak 2018 lalu,  adalah refleksi nyata kekuataan peta politik di Indonesia.

PKB yang berbasis di Jawa Timur,  tidak mampu berbuat banyak. Cara-cara ‘memanfaatkan kyai’ yang banyak dinilai khalayak umum. Tidak mampu meningkatkan suara Saifullah Yusuf yang didukung PKB.

Tentu saja ada banyak pertimbangan. Tapi setidaknya, ini alat ukur. Bagi koalisi anti Jokowi apabila menerima Muhaimin dengan tawaran sebagai cawapres. Berbeda apabila,  Muhaimmin menyebrang dari Jokowi.

Koalisi ganti presiden ini, hanya menjadikan PKB pelengkap elektoral threshold yang memang menjadi kendala kelompok anti Jokowi. Tawaran sebagai cawapres rupanya akan sulit diwujudkan. Politik holopis kuntul baris dengan mengunakan kyai dan ulama sebagai daya tawar. Akan bertepuk sebelah tangan, koalisi anti Jokowi hanya mampu memberikan tawaran posisi di luar cawapres.

Raylis Sumitra
Raylis Sumitra
Presedium PENA 98 (Perhimpunan Nasional Aktivitis 98) Jawa Timur Mantan Jurnalis pengemar kopi
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.