Isu mengenai boleh tidaknya penggunaan cadar akhir-akhir ini kembali mencuat. Terlebih ketika salah satu perguruan tinggi Islam yang ada di Yogyakarta, yakni Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka) melarang mahasiswinya untuk mengenakan cadar di dalam kampus. Selain melarang, pihak Universitas juga tidak segan memecat/mengeluarkan mahasiswinya apabila tetap tidak mengindahkan peraturan yang telah dibuat.
Sontak aturan tersebut menjadi perbincangan hangat, tidak hanya dikalangan mahasiswa, namun juga, pengamat pendidikan, politik, hingga pemerintah. Persoalan cadar dari dahulu hingga sekarang memang selalu menjadi bahan perselisihan dan perdebatan dikalangan umat Islam sendiri. Secara umum menurut madzhab Hanafi perempuan yang muda dilarang mempertunjukkan bagian wajah kepada kaum laki-laki.
Hal ini dilakukan lebih kepada upaya untuk menghindari fitnah yang terjadi dan bukan didasarkan wajah sebagai salah satu aurat yang harus ditutupi dan dilindungi. Hal itu kemudian yang menjadi dasar bagi beberapa golongan untuk menggunakan cadar sebagai penutup wajah sebagai upaya menghindari fitnah.
Menurut madzhab Hanafi, di zaman kita sekarang wanita muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih karena untuk mengindari fitnah,” (Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz XLI, halaman 134).
Namun juga ada perbedaan pendapat, yakni dari madzhab Maliki yang menyatakan bahwa menutupi wajah, baik ketika menjalani kehidupan sehari-hari maupun dalam keadaan shalat merupakan suatu hal yang makruh atau bahkan dilarang dan termasuk perbuatan melebih-lebihkan. Hal ini diantaranya didasari pada tidak adanya dasar hukumnya baik dalam Al-Qur’an maupun Sunnah.
Yang diperintahkan oleh syariat Islam bagi wanita adalah memakai jilbab. Allah swt berfirman dalam surat an-Nur (24) ayat 31 yang artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya …,”“kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”
Lain mazhab hanafi dan Maliki, lain pula madzhab Syafi’i. dalam mazhab ini ternyata masih terdapat beberapa perbedaan pendapat terkait dengan penggunaan cadar. Pendapat pertama menyebutkan bahwa penggunaan cadar bagi wanita wajib hukumnya. Madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila) menyatakan hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang menyatakan khilaful awla,” (Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134).
Dari beberapa pendapat mazhab diatas sebenarnya juga terlihat bahwa masih terjadi silang pendapat mengenai boleh tidaknya seorang wanita menggunakan cadar dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pelarangan penggunaan cadar di lingkungan UIN Suka Yogyakarta kemudian menjadi ramai diperdebatkan.
Kalangan pro pelarangan cadar memiliki anggapan bahwa secara konteks sejarah cadar bukanlah tradisi masyarakat Indonesia. Secara hukum agama, cadar juga tidak secara jelas dan kuat disebutkan dan diperintahkan untuk ditaati oleh kaum muslimah. Selanjutnya, kalangan kontra pelarangan cadar beranggapan bahwa melarang seseorang menggunakan cadar sama halnya dengan melarang seseorang mengimani apa yang telah menjadi keyakinannya dan mengganggap cadar merupakan bagian dari ibadahnya.
Menyikapi hal tersebut, sebaiknya diperlukan kajian dan pertimbangan lintas perspektif yang sangat matang sebelum suatu lembaga pendidikan tinggi memutuskan untuk memperbolehkan atau melarang penggunaan cadar, karena dalam konteks Indonesia melarang atau memperbolehkan cadar bukanlah suatu keputusan yang mudah untuk diambil.
Pertimbangan yang harus dipahami betul adalah meskipun tidak disebutkan secara kuat (dalilnya sangat lemah) bahwa cadar sebagai bagian ajaran Islam, namun cadar sudah menjadi tradisi Timur Tengah, bahkan sebelum Islam muncul. Tradisi tersebut tentu saja sah-sah saja diikuti oleh masyarakat Indonesia yang notabene menjadikan Timur Tengah sebagai trendsetter dalam kehidupan beragama secara umum. Bisa jadi cadar digunakan hanya sebatas trend/mode yang mereka adopsi dari budaya Timur Tengah. Selain itu, jika ditarik dari perspektif hak asasi manusia, seorang perempuan tentu punya hak yang merdeka dalam menentukan pilihan berbusana.
Pertimbangan lain yang memberatkan penggunaan cadar bahwa cadar yang notabene sudah saat ini sudah menjadi tradisi global, dimana banyak perempuan diberbagai negara menggunakannya (termasuk Indonesia) juga rentan disusupi kepentingan-kepentingan menyimpang atau pemerintah biasa sebut dengan istilah paham radikal yang seringkali bermula dan berkembang dilingkungan perempuan-perempuan bercadar.
Ketakutan akan perkembangan paham radikal tersebut yang akhirnya mengeneralisasikan bahwa penggunaan cadar adalah sesuatu yang berbahaya dan harus dilarang penggunaan dan perkembangannya. Ketakutan tersebut bisa benar namun bisa juga salah, tergantung seberapa luas sudut pandang yang digunakan dalam mensikapi hal tersebut.
Alih-alih generalisasi bahwa cadar sama dengan radikal dan melarang penggunaanya, justru seharusnya pihak yang berwenang dirasa sangat perlu melakukan kajian secara komprehensif yang didasari kajian agama melalui Al Quran, Al Hadist dan mengkaji aspek sosial, serta dampak yang akan ditimbulkan pada masa yang akan datang sebelum suatu lembaga pendidikan tinggi membuat keputusan melarang atau memperbolehkan penggunaan cadar dilingkungan kampus.
Kita harus akui bahwa tiap-tiap perguruan tinggi (khususnya perguruan tinggi Islam) memiliki aturan yang jelas mengenai etika berpakaian dan berjilbab bagi mahasiswinya. Namun hal tersebut tidak lantas dengan mudah dijadikan suatu pembenaran sepihak bagi kampus untuk melarang penggunaan cadar dan jangan sampai pelarangan cadar diterapkan hanya berdasarkan asumsi bahwa pengguna cadar adalah mereka yang erat kaitannya dengan paham radikalisme maupun fundamentalisme.
Sudah sewajarnya pihak kampus beserta jajarannya harus mampu duduk bersama memberikan pemahaman yang jelas dan kuat serta didasari aspek ilimah keagaaman yang kuat sebelum memutuskan untuk melarang penggunaan cadar dilingkungan kampus. Hindari penggunaan kata “dibina” atau “pembinaan” karena membuat seolah-olah para pemakai cadar sudah pasti salah.
Sebaliknya, mahasiswi yang menggunakan cadar juga harus mampu menyampaikan dan membuktikan argumentasi ilmiah keagamaan yang kuat ketika mereka memutuskan untuk menggunakan cadar dilingkungan kampus dan kehidupan sehari-hari.
Titik temu atas kesepeakatan ini hanya akan didapatkan apabila kedua belah pihak dapat duduk bersama didepan forum akademis dan menghasilkan kesepekatan bersama. Kesepakatan ini nantinya akan meminimalisir polemik perdebatan dan potensi konflik antara pihak kampus dan para mahasiswi terkait persoalan cadar.