Jumat, Maret 29, 2024

Cadar dan Pertarungan Identitas

Dian Dwi Jayanto
Dian Dwi Jayanto
Penulis Lepas, alumni Ilmu Politik FISIP UNAIR serta pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambaberas Jombang.

Satu isu menarik belakangan, banyak diperbincangkan adalah soal pelarangan mengenakan cadar di salah satu perguruan tinggi Islam di Indonesia. Perlu segera disampaikan bahwa penulis tidak menaruh ketertarikan terhadap fenomena ini dari sudut pandang perdebatan teologis, misalnya bagaimana standar yang benar dan perbedaan pendapat Islam mengenai aurat perempuan.

Bagi penulis, persoalan dan diskusi terkait polemik berpakaian bagi perempuan muslim memiliki skala diskursus yang lebih luas daripada itu.

Dalam tulisan singkat ini, penulis mencoba memberikan tawaran lain untuk membaca pergulatan simbol-simbol Islam, khususnya tentang cadar yang merupakan transformasi model hijab di dalam masyarakat Islam, serta bagaimana cadar menjadi suatu simbol yang (dianggap) mewakili identitas kelompok tertentu dalam Islam yang kemudian ditentang oleh kelompok lain dalam Islam juga.

Tranformasi Model Hijab 

Menarik untuk segera dikutip penjelasan dari Guindi (dalam Sushartami dan Wiwik, 2012: 156) bahwa baik perempuan dan laki-laki di Arab menggunakan hijab (dalam bahasa Inggris disebut “veil” yang bisa juga diartikan kerudung) sebelum kedatangan Islam. Sehingga, hijab tidak bisa di diintepretasikan sebagai originalitas ajaran dari Islam.

Guindi menyepakati terdapat aspek inovasi melalui asimilasi dan sinkretisisme budaya yang memainkan peran penting dalam membentuk image hijab menjadi representasi pakaian muslimah, yang tentu berbeda-beda di banyak tempat modelnya.

Begitu juga di Indonesia, hijab atau kerudung menjadi suatu simbol penting di dalam keterkaitan perempuan dan Islam. Hijab juga dapat dipahami sebagai implementasi dari nilai-nilai Islam yang diwujudkan dalam perilaku kehidupan sehari-hari seorang perempuan muslim.

Di Indonesia dewasa ini, masih merujuk pada Sushartami dan Wiwiki, terdapat beberapa variasi model hijab atau penutup kepala (head covering). Yakni, kerudung (semacam selendang yang secara bebas menutupi rambut namun kadang masih kelihatan), jilbab (penutup rambut dan kepala kecuali bagian wajah), dan burka (sebagian menyebutnya niqob yang menutupi hampir seluruh bagian tubuh kecuali dua mata dan biasanya menggunakan cadar).

Pada tahun 1930-an di Jawa, Kerudung diandaikan lekat kaitannya dengan budaya santri atau pelajar pesantren yang memadukan unsur Islam dan budaya setempat seperti batik atau kebaya. Sedangkan jilbab merupakan keberlanjutan dari sebuah alternatif yang berorientasi pada pemaduhan unsur fashion dan gaya hidup modernitas Barat dengan nilai-nilai Islam (Sushartami dan Wiwiki, 2012).

Bagaimana dengan Burka? Dia bisa dikatakan sebagai keberlanjutan dari jilbab yang lebih rapat dan tertutup. Namun, model hijab ini masih dianggap sebagai bentuk pakaian muslim yang tidak mencirikan perpaduan antara nilai Islam dan akulturasi budaya di Indonesia, serta masih dianggap tidak atau belum mewakili cita rasa gaya hidup yang laris di pasaran. Selain itu, citra buruk yang masih melekat terhadap perempuan yang menggunakan burka ditunjang dengan gambaran media terhadap kelompok Islam garis keras.

Jika dasar pelarangan perempuan mengenakan burka adalah mengurangi penyebaran paham Islam radikal di dunia pendidikan, hal tersebut bisa dibenarkan ketika kita tidak bisa mengalpakan realitas media menampilan perempuan bercadar menjadi istri teroris. Tapi, peraturan itu sekaligus dapat menyuburkan pandangan media terhadap perempuan yang mengenakan cadar dipukul secara rata.

Padahal cewek seksi Amel Alvi yang sempat diberitakan pernah tersandung kasus prostitusi artis tiba-tiba menggunakan cadar saat menjadi saksi di persidangan. Lantas apa keterkaitan cadar dengan perilaku terorisme kecuali hanya memapankan pandangan umum tentang islamobhia oleh media? Setahu penulis penyebab utama maraknya terorisme adalah ketimpangan dan keterpurukan ekonomi, bukan semakin banyaknya jumlah perempuan bercadar di suatu negara.

Di sisi lain, ada persoalan lain yang menjadi fokus dalam persoalan hijab terutama cadar dalam tulisan ini. Yaitu, sebuah pertarungan ideologi di dalam berbagai kelompok Islam melalui penampakkan “identitas Islam” yang telah terkonstruksi mapan dalam pandangan bangsa Indonesia. Pertarungan itu berlangsung diantara kelompok Islam santri atau pesantren melawan kelompok Islamisasi yang mulai tumbuh subur pasca reformasi.

Kelompok Islamisasi di sini merujuk pada komunitas muslim yang lebih mengutamakan personifikasi identitas keislamaan bahkan sampai melampaui sesuatu yang itu bisa saja sebenarnya bukan nilai Islam (mungkin ada istilah lain yang lebih tepat, boleh dibagi). Kelompok santri ini bisa langsung penulis sebut saja diwakili oleh organisasi terbesar di Indonesia dan yang paling getol mengkampanyekan ciri khas Islam, budaya dan keindonesiaan: Nahdlotul Ulama.

Beberapa artikel yang penulis jumpai di situs resmi NU atau yang berafiliasi dengan NU, dukungan terhadap pelarangan cadar mudah ditemukan. Bahkan secara terang-terangan kemudian NU turut mendasari atau mengkampanyekan supaya orang Islam di Indonesia tidak menggunakan cadar. Sebagai organisasi yang mengukuhkan dirinya mewakili peradaban Islam nusantara, maka nampak logis NU melakukan hal itu. Dalil yang kerap dikemukakan adalah cadar bukan merupakan bagian dari tradisi budaya Indonesia (contoh).

Perlawanan NU terhadap simbol-simbol kelompok Islamisasi lainnya dapat dijumpai dalam banyak hal lain, misalnya soal jidat hitam, berjenggot dan seterusnya. Mengenakan burka beserta cadar dapat menjadi contoh yang baik bagaimana proses Islamisasi atau bahkan arabisasi yang sudah cukup lama tidak disukai NU.

Di sisi lain, kelompok Islamisasi gencar menunjukkan identitas keislamaan mereka melalui penampakkan agak formil dan ketat. Sebagai pandangan penulis sementara, kelompok ini menganggap identitas yang ditampakkan tersebut adalah identitas Islam yang sesungguhnya: berasal dari Islam yang tidak terkontaminasi oleh budaya serta yang menganggap budaya Arab sebagai bumi kelahiran Islam adalah nilai Islam yang berlaku universal.

Alhasil, penulis menangkap polemik tentang cadar bukan hanya sebatas persoalan kadar kepatutan perempuan mengenakan pakaian dalam Islam, tapi juga berbicara tentang percampuran budaya dan Islam yang telah dimonopoli oleh kelompok Islam tertentu, dan berusaha menyingkirkan tafsir budaya Islam lain untuk eksis di Indonesia (serta lain kali kita perlu hubungkan dengan pertarungan model cadar di pasaran).

Maka dibalik pertarungan wacana mengenai cadar tersimpan pertarungan ideologi dan identitas diantara berbagai kelompok Islam yang ada. Paling tidak dapat diklasifikasikan sebagai kelompok Islam santri melawan kelompok Islamisasi.  

Rujukan

Sushartami dan Wiwik. 2012. “Representation and beyond : female victims in Post-Suharto media”. dalam situs https://openaccess.leidenuniv.nl/handle/1887/19070 (diakses tanggal 16 Februari 2018).

Dian Dwi Jayanto
Dian Dwi Jayanto
Penulis Lepas, alumni Ilmu Politik FISIP UNAIR serta pernah nyantri di Pondok Pesantren Tambaberas Jombang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.