Harus saya akui mengikuti short course Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif Periode 3 yang diselenggarakan pada tanggal 13-19 Desember 2019 di Sawangan, Depok membuat kesadaran ini tumbuh menjadi pribadi yang lebih manusiawi.
Apalagi mendengar pemateri dari berbagai sudut pandang, sebut saja; Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Prof. Sumanto al-Qurtuby P.hD, Fajar Riza Ul Haq MA, Indah Fajar Rosalina, Prof. Dr. Amin Abdullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Prof. Dr. Musda Mulia, Prof. Dr. Sukron Kamil, Budhy Munawar Rachman, Pdt. Herry Johanes, Dr. Ruhaini Dzuhayatin, Abd. Moqsith Ghozali, dan Dr. Romo Haryatmoko.
Tentu saja dengan didampingi Moh. Shofan dan Dr. Zuly Qodir semuanya sepakat jika Buya Syafii adalah manusia biasa seperti kita yang hidup sebagai warga negara yang beragama, berbangsa, dan bernegara.
Kesepakatan tanpa polemik ini hampir dipastikan oleh pemateri, peserta, dan moderator pada short course itu mengada karena sosok Buya Syafii Maarif hadir di tengah-tengah persoalan negeri yang caruk maruk. Mengingat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) merajalela, rakusnya elit mengeksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) membabi buta, dan pembodohan publik atas nama ideologi atau agama mencaci maki.
Kehadiran Buya Syafii berteriak lantang ternyata memilukan gendang telinga para politisi, intelektual, dan pejabat publik negeri ini untuk menanggung dosa sosial tujuh turunan. Namun, alih-alih bertaubat demi kemanusiaan yang adil dan beradab serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia–dua sila ini yang sering Buya Syafii tekankan dalam tiap tulisannya–terbukti sebagai bangsa merdeka kita masih mengidap inferiority complex dalam urusan-urusan manusia (baca: kemanusiaan).
Dr. Ruhaini Dzuhayatin dalam kesempatan short course itu menjelaskan persoalan rasial merupakan awal mula yang digugat mengenai kemanusiaan. Setelah itu persoalan agama, penguasaan ekonomi, dan segmentasi sosial (gender dan disabilitas) menyusul kemudian pada dekade keserakahan umat manusia secara kesinambungan.
Bagi Ruhaini, perjuangan demokrasi penting dilakukan supaya gender (ketimpangan sosial paling mutakhir) ini dapat dibicarakan terus menerus. Mengingat dalam sistem demokrasi meletakkan kesamaan akses, partisipasi, pengambilan keputusan, serta keterjangkauan dan kemanfaatan sebagai prasyaratnya. Sehingga gender sebagai diskursus mampu mengkoreksi ketimpangan sosial yang diciptakan agama dan budaya masyarakat. Maka keterjangkauan keadilan sosial di alam demokrasi sangat mustahil terwujud di bumi manusia.
Senada dengan temuan Buya Syafii Maarif dalam disertasinya yang mengangkat persoalan agama dalam sidang konstituante. Dibaca Budhy Munawar-Rachman dalam makalah berjudul Memaknai Keindonesiaan di Lingkungan Muslim: Islam, Pancasila dan Pluralisme pada short course itu. Perdebatan panjang seputar isu tersebut pada akhirnya melahirkan dua kelompok besar dalam BPUPK, yaitu kelompok “nasionalis sekular” dan “nasionalis Islam”.
Kelompok pertama menginginkan ideologi kebangsaan bagi negara yang akan dibentuk. Sebaliknya kelompok kedua menghendaki ideologi agama, yaitu Pancasila. Dalam perdebatan tersebut, menarik untuk dicatat sebagaimana ditulis oleh Buya Ahmad Syafii Maarif, bahwa hanya 20% atau sekitar 15 orang saja dari anggota BPUPK yang menyuarakan aspirasi Islam bagi dasar negara. Karenanya, tidaklah terlalu mengherankan jika keputusan BPUPK mengenai dasar negara Indonesia adalah ideologi kebangsaan dan bukan Islam (hal. 7).
Menarik ditelisik lebih jauh temuan Buya Syafii itu di alam demokrasi kita. Bayangkan, apabila suara peserta sidang BPUPK itu tidak dihargai sebagai satu suara. Maka apa jadinya bangsa dan negara ini? Toh, meskipun harga satu suara itu sudah diakui dalam sidang konstituante, Sukarno masih semena-mena mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan bantuan militer.
Pertanyaan berikutnya, adakah yang lebih manusiawi dari sebuah pemikiran? Jawabannya tentu ada dalam gagasan besar kemanusiaan Buya Syafii pada persoalan agama dan politik di Indonesia. Dalam kerangka kejiwaan manusia demikianlah kita perlu menyadari bahwa secara mental spiritual karya-karya beliau mengandung suatu apresiasi terhadap jiwa dan pikiran beliau.
Pola Umum Kemanusiaan
Meminjam istilah Prof. Jan Romein dalam mengkualifikasikan sejarah Eropa pada abad ke-16 sampai abad ke-19, merupakan sejarah Eropa yang menyeleweng dari pola umum kemanusiaan. Sehingga dalam hal ini perlu dijembatani etos kerja antara dunia Timur dan Barat dalam siklus yang terus berputar, supaya tatap muka keduanya akan menumbuhkan sintesis dan simbiosis kultural secara alamiah dalam dunia intelektual, mental, dan spiritual (Roeslan Abdulgani, hal. xvi).
Gagasan besar kemanusiaan Buya Syafii dilihat dari pola umum kemanusiaan itu sekurang-kurangnya merupakan pendekatan perkembangan sejarah secara dialektis dan evolusioner melalui bentrokan tesis kontra antitesis menuju ke sintesis yang kualitasnya lebih tinggi, dan secara siklus akan terus berputar dalam rentetannya bentrokan sintesis sebagai tesis baru kontra antitesis yang baru pula, hal ini terlihat sebagai benang merah dalam seluruh karya-karya besarnya dan kolom-kolomnya di media massa.
Sebagai contoh, tulisan beliau yang berjudul Matinya Partai Masyumi dan Sorak-Sorai PKI (Republika, 26 November 2019) beliau menggugat, “…kematian partai Masyumi dapat ditafsirkan sebagai bencana politik nasional yang dampak buruknya masih dirasakan sampai hari ini. Demokrasi Indonesia masih belum juga menemukan jati dirinya yang mantap!”.
Akhirnya, persoalan kemanusiaan kita yang diteropong oleh Buya Syafii dalam berdemokrasi kenyataannya tidak egaliter, diskriminasi, intoleran, dan eksklusif yang paling membahayakan di negeri ini. Mungkin begitu!