Jumat, April 26, 2024

Buwas Vs Enggar, Kisruh Kebijakan Impor Beras

M. Addi Fauzani
M. Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

“Buwas vs Enggar” menjadi bahasan yang hangat beberapa pekan yang lalu sebelum Bencana Donggala dan isu Hoax RS yang menjadi isu nasional. Hal ini terkait silang pendapat keputusan impor beras.

Direktur Utama Perusahaan Umum Badan Urusan logistik (Bulog), Budi Waseso (Buwas) di hadapan publik kekeh menentang impor beras. Sebaliknya, Menteri Perdagangan (Mendag), Enggartiasto Lukita (Enggar) menyatakan bahwa impor beras menjadi jalan satu-satunya untuk menekan inflasi.

Adu Mulut

Buwas beralasan bahwa cadangan beras Nasional masih mencukupi hingga Juni 2019. Hal ini berdasarkan hitung-hitungan dan catatan Bulog bahwa ketersediaan beras nasional hingga akhir tahun diprediksikan sebesar 2,3 juta ton. Untuk stok saat ini, mencapai 2,4 juta ton.

Sehingga dia berkeyakinan bahwa impor tidak diperlukan. Sedangkan ketersediaan beras Bulog hasil impor pada akhir Agustus lalu sebanyak 1,4 juta ton beras. Bahkan, Bulog telah menyewa gudang beras yang tersebar di sejumlah daerah, lantaran gudang milik Bulog penuh terisi beras. Hal inilah yang membuat Buwas kekeh menolak keputusan impor beras.

Atas pernyataan tersebut, Enggar menyangkal bahwa masalah gudang yang tidak cukup merupakan persoalan Bulog bukan menjadi urusan Mendag. Mendag hanya menjalankan keputusan sesuai rapat koordinasi. Pernyataan tersebut kemudian ditanggapi Buwas dengan makian khas Jawa, “matamu!”.

Adu mulut yang panas antar kedua pejabat inilah yang sontak membuat isu ini menjadi sorotan masyarakat. Kisruh yang tidak etis antar dua instansi penyelenggara kepentingan rakyat tersebut seharusnya tidak layak ditonton oleh masyarakat. Konflik ini menandakan bahwa belum terciptanya koordinasi yang baik antar pemangku kepentingan di pemerintahan. Para pengambil kebijakan harus lebih arif dengan dapat menahan diri.

Bersinergi

Impor beras diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 01 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Beras (Permendag 01/2018) menyatakan bahwa penentuan impor beras hanya dapat dilakukan berdasarkan hasil rapat koordinasi tingkat menteri bidang perekonomian.

Artinya, keputusan impor beras diambil dalam rapat koordinasi. Rakortas tentang impor beras tahun 2018 diputuskan oleh semua kementerian yang terkait dan lembaga di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang menghasilkan keputusan bahwa impor beras harus dilakukan. Tetapi ternyata fakta di lapangan menunjukan cadangan beras nasional telah cukup. Memang, keputusan rakortas menghendaki bahwa impor beras tetap harus dilaksanakan tetapi haruskah menutup mata dengan fakta yang ada.

Menyikapi polemik tersebut, ada dua solusi yang dapat diajukan, pertama, pemerintah dalam hal ini menteri koordinator perekonomian atau bahkan Presiden harus segera mengadakaan koordinasi dan mengambil keputusan atas permasalahan ini. Dua instansi yang bersitegang harus mendapatkan teguran. Semua instansi harus saling bersinergi bukan malah berselisih. Kedua, dalam menyelesaikan konflik ini, Pemerintah dapat menerapkan alternatif yang diusulkan oleh Ombudsman, yaitu:

  • Tetapkan dan publikasikan segera hasil perbaikan perhitungan data produksi nasional oleh Badan Pusat Statistik (BPS);
  • Lakukan audit posisi stok beras di Perum Bulog dan hitung perkiraan stok beras di penggilingan (supervisi metode oleh BPS);
  • Tetapkan neraca beras nasional sebagai dasar pengambilan keputusan impor;
  • Perbaiki kebijakan pengadaan dan distribusi beras di Perum Bulog: jangan hanya memaksakan serap beras petani tanpa kejelasan skema distribusi dan/atau disposal stock policy;
  • Terapkan skema dan prosedur baku untuk pengambilan keputusan impor/tidak impor dalam rapat kooridinator terbatas (rakortas);
  • Pastikan semua informasi dan data dapat diakses secara baik oleh publik;
  • Pastikan semua menteri dan pejabat terkait mematuhi keputusan rakortas agar tidak merusak kepercayaan publik.

Dua solusi tersebut bertujuan agar ke depannya, pemerintah dapat mengambil kebijakan yang seiring-sejalan. Episode tentang konflik penyelenggara kepentingan tidak terulang. Sehingga kepentingan rakyat dapat terjamin pemenuhannya.

IndoPos Foto/Ilustrasi

M. Addi Fauzani
M. Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.