Biasanya, ketika bangun pagi, saya selalu mendahulukan membasuh muka, merapikan kamar tidur, minum air putih, dan baca koran. Sambil mencari-cari makanan ringan -kalau ada- sebelum kemudian melihat berita atau kabar-kabar yang dikirimkan ke handphone (hp) saya. Tapi pagi ini adalah pengecualian tanpa sadar. Entah mengapa pagi ini tiba-tiba saya sangat ingin sekali membuka handphone dan melihat isi pesan-pesan yang masuk (3/07/2019).
Dan ketika membuka HP, saya terkejut melihat pesan whatsapp yang sudah ada. Kebetulan saya ikut banyak grup ini dan itu. Dan saat itulah saya terkejut ketika melihat salah satu pesan yang menautkan link opini atau pendapat dari sebuah website berita online dan tak lupa potongan kalimatnya, secuil, seolah seperti penegasan dan pesan inti dari tulisan yang ada di media tersebut.
Isi tulisannya pun cukup singkat. Tapi hal yang dituliskannya adalah kejadian yang lagi viral saat ini. Judulnya ‘Soal Katolik dan Anjing Itu’ yang dibuat oleh seorang Peneliti Masalah Sosial dan Politik, Made Supriatma.
Inti dari persoalan yang ditulis Made ialah tentang hebohnya masyarakat ‘muslim’ Indonesia ketika ada perempuan yang membawa anjing ke dalam masjid. Dikabarkan karena perempuan tersebut mengalami depresi. Tapi hal itu tidak menyurutkan kehebohan kasusnya, apalagi perempuan tersebut merupakan seorang yang menganut kepercayaan yang berbeda dari mayoritas; Katolik.
Dan ujungnya ialah perempuan tersebut kini harus ditahan karena dianggap melakukan penghinaan dan pencemaran agama. Made menyebut ini sebagai simptom dari sebuah penyakit sosial yang sudah sangat mendalam. Bahkan ia mengatakan bahwa masyarakat sekarang menderita schizophrenic atau kepribadian yang terbelah.
Sampai disini saya sepakat dengan Made. Soal terbelahnya kepribadian umat muslim hari ini, memang agak mencemaskan tapi tidak terlalu mengkhawatirkan. Bermula dari kasus Ahok yang dituduh menghina umat Islam dengan kasus Al Maidah. Kemudian terjadi juga kasus yang serupa tapi berbeda objek, yaitu karena pengeras suara saat adzan.
Pada dasarnya semua itu bersifat jangka pendek, yaitu berkenaan dengan prosesi pemilu. Kalau Made bilang ini adalah symptom yang mendalam, bagi saya hal tersebut terlalu berandai-andai.
Karena saya yakin pasca pemilu dan senngketa-sengketanya, keberadaan umat muslin Indonesia akan kembali seperti biasanya. Karena memang banyak ketugasan dari ulama dan sebagainya sebagai wakil untuk mengurus persoalan umat. Artinya saya selalu yakin bahwa keberadaan umat yang kini masih terbelah, kemudian hari bisa cair kembali.
Lalu kembali ke artikel Made. Yang paling membuat kita geleng-geleng kepala ialah cara peng-andai-an yang dilakukan Made dengan melihat kejadian ini dibandingkan dengan kejadian lainnya.
Sungguh ini membuat saya sangat muak saat membacanya. Bagaimana mungkin seorang yang mendaku diri sebagai peneliti masalah sosial dan politik, tapi statement ‘recehan’ dari orang lain saja dipercaya sebagai perbandingan kebenaran yang sumir. Bahkan diangkat pula dalam sebuah artikel yang dibaca umum.
Made menuliskan ‘Di tengah kemasgyulan saya itu, tiba-tiba seorang kawan menuliskan statusnya yang menurut saya sangat jernih. Mengapa ketika ada orang membawa bom ke gereja, tidak ada kehebohan seperti ini? Saya terus terang tertegun dengan ingatan itu. Banyak orang mati, luka, dan cacat seumur hidup karenanya. Tidak itu saja. Banyak orang menderita trauma seumur hidupnya karena bom itu’.
Disini jelas bahwa statement tersebut sangat dipercayai Made sebagai suatu perbandingan sebanding secara sosial. Bahkan ia menyebutnya status itu sebagai statement yang jernih. Inilah yang saya maksud ‘Buta Pikir’ pada tulisan yang dibuatnya. Karena ia seolah mengirim pesan bahwa umat muslim ini sangat brutal, tak bisa dikendalikan, maunya menang sendiri dan kalau bertindak sesukannya saja.
Kalau umat Islam melakukan sesuatu, seburuk apapun, hal itu seolah selalu dibenarkan. Tapi kalau umat yang berkeyakinan yang lain, maka hal itu selalu salah. Kira-kira seperti itu simplikasi yang bisa ditangkap dari apa yang ditulis Made.
Karena dari statement tersebut jelas sekali bahwa Made ingin menyampaikan pesan tersirat seolah tidaklah usah ada kemarahan atau kehebohan dari kejadian perempuan yang membawa anjing ke masjid. Karena hal itu didasarkan oleh umat Katolik yang juga tidak pernah mempersoalkan atau menghebohkan ketika ada orang mem-bom gereja bahkan menimbulkan korban yang tak sedikit cacat dan trauma.
Di sini pikiran Made benar-benar sangat kusut dan kacau. Membaca tulisan tersebut, seolah tidak mencerminkan Made yang intelektual, tapi justru terlihat Made sebagai bagian yang turut mengkipasi atau memprovokasi umat manusia.
Dalam artikel ini, Made luput melihat persoalan tersebut sebagai persoalan umum semua umat, baik Islam, Kristen, Hindu, Budha dan keyakinan-keyakinan lainnya. Bahkan kejadian perempuan katolik yang membawa masuk anjingnya kedalam masjid ini justru layak mendapatkan teguran atau kemarahan yang luas. Ini agar menjadi contoh ke masyarakat tentang pentingnya menjaga toleransi dengan tidak melukai perasaan umat yang berkeyakinan. Ini salah satu contohnya. Terlepas dari ketidakwarasan, gila ataupun depresi.
Contoh lainnya ialah, sama halnya ketika ada orang yang melakukan bom di gereja dan sebagainya. Itu juga menjadi kemarahan umat secara luas, apapun agama dan keyakinannya. Karena masjid ataupun gereja adalah sama-sama tempat ibadah, tempat yang mana kesuciannya harus selalu dijaga. Jadi jikalau ada yang mengacau dalam tempat-tempat ibadah, maka sudah seharusnya hal tersebut diberikan tindakan, sesuai apa yang dilakukannya.
Termasuk ketika ada orang yang ‘klaimnya’ muslim tetapi melakukan pengeboman, pembunuhan, perusakan dan lain-lain karena perbedaan keyakinan, sebelum mereka yang berbeda keyakinan tersebut marah, saya akan marah duluan dan saya akan duluan mengutuk pelakunya sebagai orang yang biadab.
Sama halnya dengan perempuan yang membawa anjing ke dalam masjid tadi, sebelum kasusnya viral dan terjadi kemarahan yang luas, seorang kawan saya yang beragama Katolik di Jogja juga sangat gusar dan marah saat terjadinya peristiwa tersebut. Ini bukti bahwa pandangan kita sebenarnya sama, bahwa apapun tindakan yang merugikan yang dilakukan pada ‘mereka yang berbeda’ keyakinan dan sebagainya, sesungguhnya tidak boleh terjadi.
Karena hal tersebut pasti akan menyulut kemarahan umat yang ada dan pasti akan menimbulkan kegaduhan yang membuiat umat bisa salah paham satu dan yang lainnya. Made benar-benar lupa melihat fakta ini.
Sampai disini kiranya terang bahwa statement Made yang bersumber dari status temannya tersebut benar-benar ‘receh dan murahan’. Statement yang sangat dan seharusnya tidak layak untuk dibawah kepermukaan pendapat yang bisa dibaca luas oleh seluruh umat. Alih-alih ingin mengkritik, malah secara tidak sadar Made justru turut ‘menghidupkan bara schizophrenic itu menjadi api’ seperti yang diungkapkannya sendiri.