Bunuh diri tidak pandang bulu dan mungkin akan selalu ada di kolom berita seperti menu wajib yang mustahil ditinggalkan. Jika datang di momen yang tepat, setiap individu berpeluang melakukannya.
Seiring merebaknya isu ini, pula bermunculan gerakan-gerakan dengan jargon, “Fight Mental Illness!”. Lantas, tepatkah jargon tersebut? Apakah bunuh diri melulu tentang gangguan mental?
Bukan gangguan mental
Dalam buku Why People Die by Suicide (2005) Thomas Joiner mengklaim bahwa bunuh diri adalah hasil dari keinginan dan kemampuan. Keinginan muncul dari beban dan keputusasaan, sedangkan kemampuan mengacu pada naluri bertahan hidup yang berkaitan dengan kondisi psikis seseorang.
Namun, ia bersikeras bahwa faktor terkuat yang memicu tindakan bunuh diri adalah isolasi sosial. Hal tersebut lantas diamini oleh Canadian Armed Force (CAF) dalam laporan tahunan pencegahan bunuh diri yang dilansir oleh Elizabeth Rolland-Harris di 2017: “Hal ini harus ditangani sebagai masalah yang berbeda dengan kesehatan mental. Pasien dengan intensi bunuh diri harus menerima psikoterapi berdasarkan bukti masalah interpersonal yang menyertainya”.
Dengan demikian, bunuh diri tidak melulu berkaitan dengan gangguan psikologis, namun juga terjadi karena faktor sosial yang mampu dipelajari secara empiris.
Untuk membuktikan hal tersebut, kita perlu menilik fenomena bunuh diri secara global. Di India, kaum Brahmana menoleransi bunuh diri melalui upacara Sati yang di Jawa dikenal dengan Pati Obong, sebuah praktik pengorbanan diri seorang janda dengan membakar tubuhnya di atas tumpukan kayu api saat upacara kremasi suaminya.
Praktik suci ini telah dilarang di India sejak tahun 1829. Di Yunani kuno, para kriminal yang mendapat hukuman diizinkan untuk melakukan bunuh diri. Di akhir kekaisaran Romawi terjadi insiden yang merugikan karena banyaknya budak yang bunuh diri, yang demikian berarti mereka—budak yang dianggap sebagai properti—juga telah merampas hak milik tuannya.
Di Vietnam, sejumlah biksu dan biarawati Buddha membakar diri sebagai protes atas penganiayaan umat Buddha di bawah administrasi Presiden Katolik Roma Ngo Dinh Diem. Hingga pada perang dunia ke-2, praktik Kamikaze ala Jepang dilakukan yang lantas menjadi rahim dari maraknya bunuh diri menggunakan bom, mulai dari kasus terorisme 9/11 hingga kasus lainnya yang mengatasnamakan Jihad.
Melihat begitu banyaknya bukti insiden yang tidak bisa lepas kaitannya dengan hubungan interpersonal tersebut, apa kita masih bisa menyebutkan bahwa bunuh diri adalah gangguan mental?
Tipologi
Bunuh diri berbicara tanpa suara, namun bapak sosiologi, Emile Durkheim lewat magnum opus-nya Suicide: A Study in Sociology (1897) mampu membuat kita mendengar bisikannya. Ia melakukan analisis statistik pada berbagai penduduk dengan ragam faktor sosial (afiliasi agama, status perkawinan, sosial-ekonomi, dll).
Studi empiris ini memunculkan empat tipologi faktor sosial bunuh diri: Egoistik, Altruistik, Anomik, dan Fatalistik. Tipologi ini dapat dibagi menjadi dua sumbu. Sumbu vertikal mewakili tingkat integrasi sosial dan sumbu horizontal mewakili tingkat regulasi sosial.
Hasil bunuh diri egoistik muncul dari rendahnya integrasi sosial, bunuh diri altruistik muncul dari tingginya integrasi sosial, bunuh diri anomik muncul dari rendahnya tingkat regulasi sosial, dan bunuh diri fatalistik adalah hasil dari tingginya regulasi sosial. Tingkat bunuh diri yang tinggi, menurut Durkheim, adalah hasil dari ketidakseimbangan ke-4 faktor yang telah disebutkan di atas dengan detail sebagai berikut:
Egoistik, suatu bentuk bunuh diri yang terjadi ketika individu gagal berasosiasi dengan kelompok masyarakat yang lebih luas. Dengan kecenderungan interaksi sosial yang rendah, mereka jadi kurang memperhatikan kepentingan komunal. Hal ini dapat diawali dari isolasi dan diskriminasi sosial.
Durkheim menjelaskan bahwa integrasi sosial dapat ditingkatkan melalui lingkungan domestik atas dasar matrimoni maupun hubungan darah. Oleh karena itu, kehidupan keluarga yang sehat dapat mencegah bunuh diri pada tipe ini.
Altruistik, berkebalikan dengan bunuh diri egoistik yang terjadi saat integrasi sosial terlalu lemah, hal ini justru terjadi saat integrasi sosial terlalu kuat, dengan kata lain, seseorang secara terpaksa melakukan bunuh diri karena masyarakat.
Durkheim menyatakan, “Bunuh diri jenis ini muncul dari harapan atas adanya kehidupan yang lebih baik setelah kematian”. Dalam keadaan ini, seseorang melakukannya bukan atas kehendak pribadi, tetapi lebih banyak karena adanya “tugas” sosial yang apabila tidak dilaksanakan dapat membuahkan sanksi.
Namun, saat tugas tersebut berhasil dilaksanakan, mereka mendapat penghargaan sosial—walaupun bersifat utopis. Tipe ini menekankan bahwa konsensus berperan besar dalam mengendalikan individu. Sehingga bunuh diri ini bersifat eksternal dan jauh dari tujuan pribadi.
Anomik, bunuh diri jenis ini terkait dengan rendahnya regulasi sosial. Durkheim berpendapat bahwa negara atau suatu institusi bertanggung jawab untuk mengatur keseimbangan sosial. Arus anomie dapat terjadi ketika kekuatan regulatif masyarakat terganggu sehingga membuat masyarakat tidak memiliki keberpihakan, dasar dan otoritas sebagai individu.
Kekosongan ini bermuara pada tindakan bunuh diri anomik. Sebagai contoh, seorang kehilangan pekerjaannya, dengan demikian, ia akan kehilangan efek regulatif yang disediakan oleh pekerjaan tersebut.
Fatalistik, kategori bunuh diri terakhir yang dibahas oleh Durkheim ini terjadi ketika tingkat kontrol sosial berlebihan. Ia mencontohkan dari seorang budak; budak akan bunuh diri sebagai akibat tidak adanya alternatif selain hidup di bawah seorang majikan. Hal ini lantas berpotensi dalam terciptanya bunuh diri.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kasus bunuh diri rawan terjadi saat individu berhadapan dengan kenjomplangan di ruang lingkup sosialnya. Kematian sosial adalah sarat terjadinya kematian biologis, tragisnya hanya sedikit yang menyadari hal tersebut. Jadi, mungkin benar jika bunuh diri adalah jalan tercepat menuju Tuhan, namun jalan itu rupanya tidak tercipta dari gangguan mental, melainkan kita, sebagai makhluk sosial yang dengan candang menciptanya dan lantas berteriak, “Ia telah sakit!”.