Sabtu, April 20, 2024

Bunga Terakhir Seperempat Abad

Galang Harianto Pratama
Galang Harianto Pratama
Pegiat Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Surabaya. Aktivis Majelis Kalam Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Surabaya. Pengurus HIPMI PT Surabaya, lulusan Hubungan Internasional Unair 2012 (soon).

Bersyukurlah menjadi orang-orang baik. Sepertinya hanya mereka yang pantas menderaskan narasi tentang kebaikan. Mereka pun seolah berhak menentukan nasib dan celaka kawan-kawannya. Yang paling bengis dari itu semua adalah banding membandingkan. Seolah yang hitam selalu hitam. Begitupun yang putih akan terus menjadi putih.

Tapi aku benci berada di antara orang-orang yang baik. Mereka bicara tentang segala sesuatu yang baik-baik saja. Kemudian membuang dengan tega segala yang dianggap buruk. Sampah, tak berguna, dibuang, dilupakan.

Kalau bisa, akan kuhentikan sejenak narasi-narasi yang memojokanmu itu. Bukankah negeri ini selalu gaduh juga karena perkara itu? Politik misalnya, isinya hanya tentang kebenaran-kebenaran. Lalu setiap kebenaran dari para pelakunya saling berbenturan. Narasi tentang siapa yang baik dan siapa yang buruk, kemudian diperebutkan. Bukan begitu juga perkara kita?.

Oke, mulai hari ini akan kuhentikan narasi itu. Demi mengatakan kau itu cantik. Setelah itu aku bunuh diri, atau lari seperti buronan kolonial yang harus berpindah-pindah. Setelah itu, aku akan mati. Di makan cacing, lalu membusuk ditelan bumi. Biar saja, itu lebih baik dari luka kemarin sore. Bekas luka itu akan hidup seperti sisa jerawat. Tidak ada yang bisa menghapus bintik hitam itu, kecuali usia yang semakin mendewasa.

Selama sehari setelah kejadian kemarin, aku kemudian belajar. Aku belajar tentang cara mengabaikan. Tetapi sekarang aku ingin berhenti sejenak. Mengingat namamu yang kemudian pada musim panas nanti, akan tertelan pasir hisap pikiranku.

Kau itu cantik, pemurah dan sedikit pemarah. Ada sesuatu yang barangkali itu yang membuatmu menjadi pujaan para dewa. Senyummu tak tertandingi. Apalagi jika kau menggodaku dengan cerita yang tidak ada titiknya. Satu hari yang lalu, kejadian seperti itu masih terjadi. Kejadian itu terjadi di warung pojok dekat Stasiun Kota. Lalu aku berbisik pelan dalam diriku, kau adalah seorang yang akan menjadi Ibu dari anak-anakku. Kau mengandung dewa dewiku kelak. Di rahimmu, ada penyembahan dan harapanku.

Jam terus berputar, dan barangkali sejam lagi adalah genap sehari setelah peristiwa itu. Suatu tragedi yang patut kita sesalkan seharusnya. Tapi apalah arti kepatutan, jika kemudian kita tenggelam didalamnya. Dan setelah pertengkaran hebat yang tak lebih dari satu jam lamanya itu, kau dan aku menjadi dua orang asing. 

Dan dalam kesedihanku, yang sudah kuhitung yaitu menghabiskan waktu 23 jam dan 3 jam diantaranya ku gunakan untuk tidur itu, isinya hanya ratapan-ratapan. Tapi aku percaya, bahwa setiap yang pecah ada keindahan. Hal-hal yang ketika tua nanti, akan dicahayai senyuman yang kemudian disebut sebagai porselin kenangan.

Setelah lebih dari lima jam waktu kulewati, aku kemudian sadar. Ada beribu tahun lagi yang harus kulewati. Itu barangkali menjadi alasanku untuk berhenti sejenak. Menghentikan denyut sajak, kalimat dan narasi-narasi yang awalnya tentang kita, menjadi kau dan aku. Ada jarak yang begitu jauh, padahal awalnya dekat. Itu perkara jarak antara hati dan hati. Haruskah aku berteriak seperti kemarin agar kau mendengarku, atau kau yang harus berteriak sedangkan aku tak bisa menangkap maksudmu?.

Sebagaimana awal dulu aku pernah terpesona dengan pikiranmu. Sebagaimana juga aku jatuh karena pikiranmu. Andai kita mau adil sejak dalam pikiran, barangkali kita tidak dirumitkan karena pikiran juga. Sebagaimana kau menguraikan segala yang rumit menjadi sederhana. Sebagaimana waktu kita awal kenal dulu.

Senja juga, kita berkenalan. Dan senja juga, kita memutuskan untuk mengakhiri segala pendakian. Tapi aku sudah berjanji sejak hari ini, bahwa aku memilih untuk mengingat senja yang pertama. Ketika aku mengatakan suatu hal begini kurang lebih;

“Pendidikanku sudah selesai. Rejeki juga mengalir walau masih seadanya,” kataku.

“Lalu?,” katamu pendek.

“Aku mencintaimu,” kataku pendek, menghujam, meski dengan mata tertunduk ke bawah.

Kau kemudian diam sejenak. Dari wajahmu tersungging harapan, bahwa segala yang sudah lama terpendam akan terbalas. Aku kemudian ikut tertawa dalam hati. Kemudian wajahmu berubah perlahan, sebagaimana awan yang bergerak dalam angkasa luas. Kau menarik nafas panjang, lalu pelan kau berkata;

“Boleh aku mengajukan pertanyaan?”

“Jangan banyak-banyak tapi,” kataku tersenyum.

“Pertama, apakah kau tahu apakah aku atau Ibuku yang dipanggil terlebih dahulu oleh Allah?,” katamu tanpa basa basi.

Aku kemudian diam, pertanyaan apa ini, pikirku waktu itu. Kemudian aku menjawab bahwa aku tidak tahu. Kemudian kau mengajukan pertanyaan kedua, begini kan bunyinya;

“Apa kau tahu, apakah timbangan amalku atau dosaku yang akan berat di neraca Illahi nanti?”

“Aku juga tak tahu perkara itu,” begitu jawabanku dulu.

“Lalu, apakah aku akan masuk surga atau masuk neraka?,” tanyamu dengan tangkasnya.

“Aku juga tidak tahu kalau itu.”

Kau lalu membuat senyum itu menjadi pudar, redup, lalu hilang. Aku kemudian dibuat bingung. Tapi baiknya dirimu waktu itu, kau menyahuti secepat kilat.

“Mas, apakah orang yang setiap hari memikirkan tentang tiga hal itu masih sempat itu memikirkan soal pacaran?”

Syok, diam, tak ada jawaban, bagai patung berdiri. Aku tak bisa berkata-kata waktu itu. Tunduk dan kalah di hadapan dara pujaan para dewata. Sejak peristiwa itu, kemudian kau memperoleh gelar. Barangkali gelar itu memang tak berarti. Tapi sangat berarti bagi hidup dan keberadaanku di bumi ini. Kau kemudian kupanggil; bunga terakhir penutup seperempat abad.

Dan ibarat gelar membutuhkan pengukuhan, kau kemudian menegaskan suatu hal. Hal yang kemudian membuatku begitu semangat untuk menjadi sahabat sejatimu. Dengan segala kekurangan, sebagaimana bulan yang bergantung pada Matahari, aku kemudian memberanikan diri. Setidaknya saling berkabar, dan berkawan sebagaimana sepasang burung Nuri berkawan, meskipun hanya saat makan saja.

Begini cerita tentang pengukuhan itu. Jadi dua hari sejak kejatuhan kepribadianku dihadapanmu, aku menemuimju tidak lagi ketika matahari berada di ufuk barat. Tapi ketika matahari masih naik sepenggalan. Itu pun dalam jumpa yang tidak terkira. Ketika kau sedang asyik bersama temanmu, berlari kecil di pinggiran lapangan bola. Saat bersamaan, aku datang. Seperti Ayam Jantan memburu Betina, aku kemudian mendekatimu. Dan kau, sekali lagi menunjukkan kebesaranmu.

“Kau masih memikirkan itu?,” tanyamu.

“Tidak,” aku menjawab singkat, sambil mencoba menguasai diriku sendiri.

“Mas, aku boleh bertanya padamu,” tanyamu seolah mengulang peristiwa beberapa hari lalu.

“Pertanyaan apalagi,” jawabku kesal.

“Kau kesal?”

“Tidak,” jawabku.

“Berapa jumlah nafsu untuk laki-laki, dan berapa jumlah nafsu untuk perempuan?”

Aku kemudian sejenak berpikir. Lagi-lagi kau mengulang pertanyaan sejenis. Dan kali itu, aku menemukan jawaban yang kupikir tepat. Segera saja aku menjawab.

“Kalau laki-laki memiliki satu nafsu. Sedangkan perempuan memiliki sembilan nafsu,”

“Berapa akal untuk perempuan dan laki-laki?”

“Laki-laki itu diberi sembilan akal, dan perempuan diberikan satu akal,” jawabku yakin.

“Mas,” katamu lirih waktu itu. Lalu menarik nafas panjang, berujar pelan-pelan. 

“Aku, diberikan sembilan nafsu dan memiliki satu akal. Dan dengan satu akal saja aku bisa menahan sembilan nafsu. Kamu yang dianugerahi sembilan akal, hanya menahan satu nafsu aja masak tidak bisa?” katamu tegas.

Kaget, bingung, tak ada kata kemudian keluar dari bibir yang sudah jutaan kata ini.

Dan dari dua peristiwa itu, semakin menegaskan bahwa kau adalah idaman. Aku kemudian memilih bersembunyi di balik kebesaranmu. Hanya berkawan dekat saja, atau sebagaimana burung dan ranting. Aku adalah ranting yang lemah, dan kau jatuhkanku berikut kepergianmu.

Seperti burung Nuri, orang-orang baik sepertimu layak untuk hinggap lalu pergi. Lalu mengoceh dengan kalimat yang isinya tentang kebaikan. Sedangkan aku yang kau anggap hanya ranting yang tak kokoh, lemah dan menjijikkan, hanya bisa jatuh, tersungkur, kemudian hilang. Dan kejadian itu, dua puluh empat jam lalu. Dan kini, ranting terbujur kaku tak berdaya.

(Cerita hanya fiktif belaka. Bukan hasil dari pengalaman diri penulis).

Galang Harianto Pratama
Galang Harianto Pratama
Pegiat Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Surabaya. Aktivis Majelis Kalam Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Surabaya. Pengurus HIPMI PT Surabaya, lulusan Hubungan Internasional Unair 2012 (soon).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.