Tulisan ini bukan sedang membicarakan Bumi Datar dalam teori konspirasinya Eric Dubay (The Flat-Earth Conspiracy). Tulisan ini akan membicarakan “Bumi Datar” (red Dunia Datar –The World is Flat), yaitu sebuah istilah yang digagas seorang Jurnalis kawakan di New York Times yakni Thomas L. Friedman.
Friedman seorang kolumnis New York Times, menggagas dengan yang disebutnya “The World is Flat”. Sebuah dunia yang dicirikan dengan pesatnya teknologi informasi dan internet. Dunia yang menjadikan setiap umat manusia saling terhubung, dari bangsa, negara, ras manapun. “Dunia menjadi datar” dibuatnya.
Kecepatan dan kemudahan menjadi keniscayaan yang terjadi di era ini, yang disebutnya sebagai era globalisasi ketiga. Dengan mudah dan cepat informasi bisa didapat. Hari ini terjadi peristiwa Gempa di Taiwan, hari ini pula di belahan bumi Indonesia informasi itu didapat.
Di belahan bumi lainnya, semisal di Eropa dan Amerika, berita Gempa Taiwan ini tersebar, tidak dalam hitungan minggu hingga bulan. Bahkan, isu ini bisa menjadi viral dan menjadi perhatian dunia dalam hitungan menit saja.
Kemudian apa urgensinya dunia datar yang diistilahkan Friedman itu? Konsepsi dunia datar yang digagasnya ini bisa sangat berguna untuk menunjukkan karakteristik masyarakat kota, pun dengan kehidupan di desa kini. Dicirikan dengan masyarakat yang gandrung terhadap gadget yang setiap saat dalam genggamannya. Kebanyakan diisi oleh para generasi milenial (lahir di 1980-1990an).
“Pesan Singkat”
Cepatnya lalu lintas informasi menjadi suatu keniscayaan di era ini. Pun tidak terkecuali hasil cepat Pilkada serentak di 2018 nanti. Pemilu yang akan terselenggara di 171 daerah, ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten, dan Pileg dan Pilpres di 2019-nya.
Hasil cepat atau quick count bisa menjadi metode yang dapat menginformasikan secara cepat dan mudah, “hasil” pemilihan. Kota-kota, kabupaten dan provinsi di Indonesia, tanpa harus kita pergi ke sana, terhubung satu sama lainnya. Informasi dari berbagai wilayah terkait “hasil” pemilu dapat diinformasikan dalam hitungan menit saja.
Siapa yang menang akhirnya, mari kita kawal bersama. Siapa yang menjabat nantinya, mari kita pantau kinerjanya, bersama. Dengan teknologi informasi juga, transparansi menjadi kunci. Transparansi kebijakan “sang terpilih” nanti, mesti dipublikasi dan diketahui bersama masyarakatnya.
Poin penting lainnya, yaitu buah dari akses informasi yang serba cepat. Dengan mudah informasi didapat, melalui gadget masing-masing orang. Jika boleh menerka, setiap orang (setidaknya para generasi milenial) di Republik ini dapat dipastikan memiliki minimalnya satu akun media sosial, facebook, twitter, instagram atau lainnya.
Dengan dekatnya mereka pada media sosial, informasi, pemberitaan tentang pemilu yang bermuatan unsur SARA, rasis, dan sarkastis kerap dilontarkan, diperbincangkan dan disebarluaaskan. Semakin memperpanas suasana “bermasyarakat” Kita.
Pesan penting untuk masing-masing Kita. Stop penyebarluasan informasi-informasi yang bernuansa sara, rasis dan sarkastis yang dapat menimbulkan perpecahan antar anak bangsa. Bukan berarti pula harus menjauh dari teknologi (semisal tidak lagi ‘bermedsos’), namun lebih bijak dalam menggunakannya.
“Diam akan lebih bermakna daripada menyebarluaskaan berita yang tak bermakna.”