Kamis, Oktober 10, 2024

Bulu Tangkis Kita Tertusuk Jarum

Hascaryo Pramudibyanto
Hascaryo Pramudibyanto
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi pada FHISIP Universitas Terbuka

Badminton atau bulu tangkis adalah salah satu cabang olah raga yang banyak penggemarnya di negeri ini, selain sepak bola. Seteru antara KPAI dengan Djarum Foundation tentang pembinaan bakal atlit cabang tepok bulu ini kini mengerucut tajam. KPAI mengasumsikan bahwa Djarum telah mengeskpoitasi anak untuk kepentingan yang belum waktunya.

Pertimbangannya adalah usia anak yang masih belia, seyogianya punya keleluasaan dalam beraktivitas. Dan bukannya sudah digenjot latihan fisik dan strategi bulu tangkis – yang belum waktunya mereka jalani.

Sebenarnya tiap pihak punya kepentingan yang berbeda meskipun endingnya tetaplah sama: punya generasi maju, cerdas, dan berprestasi.

Akan tetapi permintaan KPAI yang merembet sejak adanya harapan agar mengganti nama audisi, agar peserta audisi tidak diberi kaus seragam, hingga permintaan untuk melepas brand Djarum pada atribut kegiatan ini. Semua permintaan itu berawal dari pertemuan ke pertemuan lain. Artinya, tiap kali ada pertemuan, ada saja permintaan yang diharapkan bisa dipenuhi.

Ya inilah yang namanya meminta hati, merogoh jantung sekalian. Habis sudah harapan negeri ini untuk punya bakat pebulutangkis andalan dengan mental juara sejak dini. Andaikata hal ini boleh dikaitkan dengan kegiatan lain, sebenarnya bukan hanya bulu tangkis yang diharapkan tidak melakukan audisi dini.

Lihat saja audisi nyanyi yang juga pernah melibatkan anak-anak. Ada juga audisi sepak bola yang dikemas dalam bentuk klub-klub sepak bola khusus anak-anak.

Jangan dulu dilihat brand yang menempel di situ, namun seyogianya adalah melihat, memandang, dan mempertimbangkan kepedulian pihak swasta dalam keikutsertaannya membangun mental juara anak-anak kita.

Untuk kebutuhan pengembangan mental semacam ini, tentu tidak perlu menunggu anak-anak masuk pada usia remaja. Terlambat itu! Jika terlambat, akibatnya ya seperti ini, punya pemikir dan pengambil kebijakan yang tidak dilandasi mental pemikir dan petarung sejati.

Andaikata yang dipermasalahkan adalah brand ya melekat pada atribut audisi, mestinya bisa diselesaikan dengan ramah dan berbudaya. Budaya rfamah, sudah jadi kebiasaan.

Budaya rembugan, sudah dilakukan. Lantas, apa lagi yang jadi masalah, kalau bukan kekakuan hati sebagai penguasa kemurkaan dan kekuasaan? Sebegitu sulitnya berbicara baik-baik untuk hal penting, dan untuk sesuatu yang sudah dipikirkan ke depannya.

Lagi-lagi kekonyolan negeri ini tersuguh lantang di tengah menguatnya semangat kebersamaan dan kebangsaan. Di sana, ada sekumpulan pimpinan yang mengharapkan agar Indonesia makin bangkit, berjaya, terampil, dan maju di semua aspek kehidupan –termasuk bidang olahnraga.

Di kotak lainnya, ada yang menginginkan tidak adanya eksploitasi energi anak-anak. Padahal anak-anak punya bakat yang begitu bagus. Misalnya, dari satu sekolah saja, belum tentu ada satu calon petarung tepok bulu yang bisa dijagokan nantinya. Ini milihnya saja sudah sulit, masih disusahpayahkan lagi dengan regulasi yang dipaksakan. Sebenarnya, apa sih keinginan utamanya?

Melindungi anakkah, menguatkan potensi anakkah, atau menjaga kondisi anak dari perilaku menyimpang dari para pelaku kriminal. Yang mana tugas utamanya? Semua? Baguslah kalau begitu. Tetapi, pahamkah peran mereka terhadap kebutuhan anak agar mampu berkompetisi?

Hascaryo Pramudibyanto
Hascaryo Pramudibyanto
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi pada FHISIP Universitas Terbuka
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.