Kamis, April 25, 2024

Bukan Sekedar Gestur Politik

Chandra Septian
Chandra Septian
Mahasiswa ilmu hubungan internasional dan penggiat isu lingkungan dan demokrasi.

Pascapertemuan Jokowi dan Prabowo sebagai bentuk dari rekonsiliasi politik, rupiah menguat ke level Rp 13.900 dari sebelumnya Rp.14.000. Penguatan rupiah, menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan, “…terdampak dari rekonsiliasi kubu Jokowi dan Prabowo” (Kompas.com, 2019).

Rujuk politik antara Jokowi dan Prabowo ternyata benar-benar menjadi berkah bagi perekonomian Indonesia. Apalagi jika pemandangan ini tetap terjaga dalam rentang waktu yang lama, tentu saja iklim investasi kita akan membaik. Sebab, investor hanya akan berani menggelontorkan modalnya di negara dengan stabilitas politik.

Bukan hanya berkah untuk nilai mata uang kita, tetapi, rekonsiliasi juga membawa angin segar bagi suhu politik kita terus panas selama Pilpres 2019. Masyarakat kita terbelah, kebencian antar kelompok menguat dan hadirnya penunggang gelap pemilu (baca:oligarki). Fenomema tersebut menjelaskan betapa gelapnya kompetisi demokrasi kita.

Dalam sebuah kompetisi demokrasi yang sehat, dibutuhkan beragam pilihan politik. Jokowi dan Prabowo hadir sebagai pilihan tersebut. Singkatnya, perbedaan pilihan politik adalah keniscayaan dan terjadi di negara demokratis lainnya. Pilpres 2019 lalu, secara ideologi, tidak ada perbedaan antara Jokowi dan Prabowo. Maka, gesekan di akar rumput seharusnya dapat diminimalisasi.

Namun, dari sinilah penggelapan demokrasi kita bermula, alih-alih menggarisbawahi pada perbedaan kebijakan dan strategi pembangunan. Keduanya sibuk membangun narasi yang saling mencitrakan lawan politik sebagai musuh.

Keduanya memproduksi kebencian, kebohongan dan hantu-hantu seperti komunisme dan radikalisme. Keduanya bermasalah. Selain mempertegas segregasi antara ‘kami’ dan ‘mereka’, memaksa cara berpikir warga negara lainnya juga adalah tindakan inkonstitusional.

Oleh karena itu, rekonsiliasi menjadi sebuah pijakan penting untuk merajuk persaudaraan kita sebagai sebuah bangsa.  Namun, banyak pihak yang menolak upaya rekonsiliasi ini. Alasannya bermacam-macam, seperti anggapan bahwa ini hanyalah simbolis belaka hingga upaya bagi-bagi kursi. Tidak ada yang salah dalam ketidakpercayaan publik akan hal semacam ini.

Rekonsiliasi bagi Jokowi

Rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo ini memang multi tafsir. Ada yang menafsirkan ini hanyalah gestur politik, upaya penyelesaian konflik sosial, bahkan kongkow-kongkow elite.

Ketimbang meromantisisasi rekonsiliasi, penulis mencoba untuk melihat hambatan dari kedua kubu dan kemungkinan dari rekonsiliasi. Jokowi dan Prabowo sama-sama memiliki beban dalam upaya ini.

Jokowi selaku pemenang sah Pilpres 2019 memiliki tugas yang berat untuk memformulasikan Kabinet Kerja jilid II. Mengapa hal ini menjadi tugas yang berat? Koalisi partai politik pendukung Jokowi sudah sangat gemuk untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Tentu hal ini menjadi berat bagi Jokowi untuk menghimpun seluruh kepentingan parpol dalam koalisinya.

Cak Imin selaku ketua umum PKB sekaligus tim koalisi Jokowi bahkan meminta 10 kursi menteri kepada Jokowi. Jika kita meminjam logika Cak Imin dalam Kabinet Kerja jilid II, bagaimana dengan permintaan partai PDIP, Golkar, Nasdem, PPP? Pastinya, Jokowi membutuhkan kabinet 100 menteri untuk mengamini logika para pelayannya tersebut.

Seandainya Prabowo dan Gerindra ikut merapat di koalisi Jokowi, betapa samar pun, pasti ada transaksi politik di dalamnya. Mustahil jika rekonsiliasi dan koalisi ini hanya bertujuan menyudahi konflik di akar rumput. Mustahil.

Hanya saja, merapatnya Prabowo dan Gerindra ke koalisi Jokowi mungkin akan ditentang oleh partai koalisi Jokowi lainnya. Alasannya, kemenangan Jokowi dalam Pilpres ini dimotori oleh partai-partai tersebut. Sehingga, hadirnya Gerindra nanti hampir pasti dianaktirikan oleh Jokowi.

Rekonsiliasi bagi Prabowo

Di sisi lain, Prabowo juga terancam kehilangan dukungan dari sebagian kelompok muslim, yang sangat militan mendukungnya dalam perhelatan Pilpres lalu. Padahal, kelompok inilah yang menjadi basis kekuatan Prabowo untuk mengalahkan Jokowi. Kelompok muslim ini menilai langkah Prabowo untuk merapat ke pemerintah adalah langkah yang kurang tepat.

Sudah pasti Prabowo dan Gerindra melihat ancaman ini sebagai sebuah beban. Kecuali, jika mereka memang ingin kembali ke khitah-nya sebagai nasionalis dan menjaga jarak dengan pendukungnya dari beberapa ormas Islam yang sangat militan. Prabowo hanya harus bersusah payah mempertahankan gerbong pendukung nasionalis-moderatnya.

Rekonsiliasi yang seharusnya

Akan selalu ada pihak yang tidak puas dan mungkin merasa dirugikan dalam rekonsiliasi ini. Oleh karena itu, kedua kubu harus berkomitmen membangun kedewasaan demokrasi dan berhenti memproduksi narasi-narasi kotor sebagai alat politik.

Rekonsiliasi dalam pengertian memperbaiki hubungan antar anak bangsa adalah kewajiban. Jangan sampai momentum rekonsiliasi ini hanya menjadi kesepakatan di bawah meja; bagi-bagi kursi dan jabatan.

Jokowi sudah dipastikan bersama partai koalisinya akan melanjutkan pengabdian lima tahun kedepan. Di sisi lain, Prabowo dan koalisi juga bisa berperan penting menjadi oposan. Lagi pula menjadi oposan adalah konsekuensi dari pihak yang kalah dalam kompetisi demokrasi.

Mengapa menjadi oposan lebih penting bagi Prabowo? Sebab, kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin ke depan akan mendapat dukungan kuat dari parlemen yang diisi oleh parpol koalisinya. Artinya, dibutuhkan oposan yang berkualitas guna mengontrol kekuasaan.

Jika skema merapatnya Gerindra, Demokrat dan PAN benar-benar terjadi, serta menyisakan PKS sendiri di luar pemerintahan. Tentu saja hal tersebut bukanlah kabar baik bagi demokrasi kita.

Di luar kekuasaan, Prabowo dan koalisi dapat mengawal kekuasaan pemerintah melalui kritik yang substantif dan mengoptimalkan fungsi check and balances. Dan yang tidak kalah penting adalah, baik Jokowi, Prabowo maupun elite politik lain, harus menghindari penggunaan politik identitas dan benturan di akar rumput. Inilah kunci dari rekonsiliasi.

Tidak sesederhana berjabat tangan dan makan bersama dengan latar wayang punakawan. Tetapi, rekonsiliasi harus dimaknai sebagai upaya penyesalan atas apa yang terjadi di masa lalu. Jokowi dan Prabowo serta para pendukungnya seharusnya malu dan menyesal karena telah menebar kebencian, kebohongan dan dagelan politik lainnya.

Dengan demikian, rekonsiliasi politik harus menjawab ketidakpercayaan publik terhadap proses itu sendiri. Ia harus bersepakat bahwa polarisasi di masyarakat sudah berakhir. Dan membawa kita, bangsa Indonesia, sepakat untuk tidak bersepakat.

Cukup rezim otoriter pra-reformasi yang mewarisi ketakutan, kebohongan dan kebencian. Jokowi dan Prabowo, jangan!

Chandra Septian
Chandra Septian
Mahasiswa ilmu hubungan internasional dan penggiat isu lingkungan dan demokrasi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.