Jumat, November 8, 2024

Papua dan Militer yang Eksis

Aulia Mauludi
Aulia Mauludi
Penulis lepas
- Advertisement -

Apa yang pertama kali ada dalam bayangan manusia modern ketika mendengar nama Papua? Freeport dan alam yang indah mungkin adalah pilihan utama yang muncul ketika orang mendengar nama pulau paling timur di Indonesia itu.

Sulit menemukan ada orang modern Indonesia yang menyebutkan kebudayaan dan manusianya adalah aset terbesar pulau Papua. Ini adalah indikator nyata bagaimana mental kolonialis merasuk ke dalam banyak cara berpikir masyarakat negeri ini.

Frantz Fanon (1952) pernah menulis bahwa salah satu cara kolonialis bekerja adalah dengan mengingat masyarakat lokal (indigenous people) hanya dari keadaan fisik disekitarnya, alam, gunung, tombak, koteka, dll. Apabila mengingat manusia Papua sekalipun, banyak masyarakat kita yang tidak melihat budaya dan perjuangannya. Orang Papua hanya dilihat sebatas hitam, keriting, dsb.

Penampakan orang Papua ini harus diakui banyak dilihat dalam sudut pandang rasial. Fanon (1961) menjelaskan bahwa kerangka ini diciptakan oleh kolonialis yang berujung pada perbandingan masyarakat lokal dengan binatang. Telanjang, berburu, kotor, dan banyak lagi yang mendekatkan perbandingan tersebut. Tidaklah aneh bila ada orang Jawa yang dengan lantangnya memanggil orang Papua dengan sebutan “Monyet” karena cara berpikir ini sudah menyebar.

Tidak seperti kebanyakan cara berpikir manusia Indonesia, menurut George Aditjondro (2000), Papua sangat kaya akan kebudayaan dan manusianya. Dia mempertanyakan, mengapa kehebatan Suku di lembah Balum yang bisa membedakan 52 jenis ubi jalar melebihi kemampuan orang Jawa tidak pernah diungkit dalam ilmu pengetahuan. Bahkan, bagaimana kehebatan orang Biak dalam mempelajari ilmu astronomi tidak pernah diperbincangkan dalam dunia akademis.

Seperti ada gerakan untuk mendeskriditkan orang Papua demi kepentingan yang lebih besar. Militer mengambil peran untuk menghambat perkembangan budaya Papua. Menurut George Aditjondro, kekayaan dan keragaman suku dan budaya Papua bagi militer Orde Baru adalah ancaman.

Apakah dehumanisasi Papua hanya karena kekuasaan politik dan eksploitasi ekonomi? Banyak yang berkata bahwa apa yang Indonesia lakukan adalah bentuk kolonialisme. Bahkan, Lukas Enembe Gubernur Papua mengamininya.

Poskolonialisme

Menurut Gelder (1998), kolonialis pasti membangun sebuah jenjang kasta. Mereka menempatkan dirinya sebagai kelompok first priority di atas masyarakat lokal. Kemudian mereka membentuk budaya, bahasa, kelompok masyarakat, dan ekonomi sesuai kebutuhannya. Setelah itu, manusia lokal akan terjajah dimulai saat kontrol politik dimulai dengan exploitasi ekonomi yang menahun.

Pada saat masyarakat lokal tidak diserang secara fisik, menurut Fanon, biasanya mereka dieliminir secara kultural. Mereka diharuskan tidak mempunyai budaya atau berbudaya lebih rendah dibandingkan kelompok lainnya. Kita bisa mencatat beberapa budaya Papua yang hendak dirubah dengan alasan karena budaya Indonesia lebih tinggi dibandingkan budaya Papua.

Pada jaman Gubernur Acub Zainal, koteka yang dianggap tidak sesuai dengan budaya Indonesia ingin diganti dengan celana pada tahun 1971. Setelah penggunaan celana dimulai, masalah baru pun muncul. Mereka tidak terbiasa mencuci celananya, sehingga banyak menderita penyakit kulit.

- Advertisement -

Contoh lainnya, panganan yang biasa dimakan seperti ubi jalar, akhirnya mulai banyak diganti oleh nasi. Pemberian makanan nasi ini berasal dari drop pemerintah Indonesia yang tidak mengirim ubi jalar sebagai bantuan.

Dalam segi tatanan masyarakat pun, tipikal kepemimpinan adat di Papua sudah dirubah. Dengan adanya pemerintahan, maka pegawai negeri tidak lagi mendengar kepemimpinan adat. Mereka lebih tunduk pada atasan dalam hirarki pemerintah. Belum lagi organisasi buatan pemerintah seperti Golkar, PKK, AMPI, atau KNPI yang merubah kelompok suku di Papua. Masyarakat Papua akhirnya mengikuti system yang diberikan oleh pemerintah Indonesia dan melupakan tata kepemimpinan tradisional.

Perubahan budaya ini juga mulai terasa pada pemimpin-pemimpin Papua yang banyak menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang di Jakarta dibanding sibuk mengurusi tanah kelahirannya.

Mereka banyak tinggal di hotel-hotel untuk menikmati gaya hidup orang Jakarta dan enggan membawa budaya mereka masuk ke ibu kota. Jawa sudah menarik mereka untuk “di Indonesiakan” sebagaimana pemimpin-pemimpin lainnya.  Hal ini sesuai dengan bidang kajian Poskolonialisme yang mengatakan bahwa dampak dari kolonialisme adalah hilangnya kesadaran sosial dan psikologi asli mereka dengan menjadi inferior sewaktu berhadapan dengan budaya lain.

Kebutuhan Papua

Kerusuhan yang terjadi di Papua belakangan ini bukanlah bersifat tanpa sejarah. Sejarah panjang perlakuan pemerintah yang mengubah banyaknya tatanan budaya dan manusia Papua sudah memancing mereka untuk melawan dalam bentuk kerusuhan baik didalangi OPM atau tidak.

Tidak aneh bila banyak warga Papua yang ingin memerdekakan diri dari Indonesia. OPM sendiri semakin lama semakin kuat. Militer turut memperkuat eksistensi OPM. Segala kerusuhan di Papua dengan mudah disangkut pautkan dengan OPM karena operasi militer akan mendapatkan dana lebih besar bila berhadapan dengan OPM dibandingkan kerusuhan warga sipil biasa.

Selain itu, pendekatan kepada masyarakat Papua dengan menggunakan kekuatan militer semakin menguatkan keasadaran OPM untuk terus berjuang. Hal ini mirip seperti yang terjadi di Timtim.

Ramos Horta pernah menjawab dengan lugas ketika ditanya soal ini oleh seorang wartawan. “Apa yang membuat anda sanggup menjaga semangat tempur pejuang kemerdekaan?” “Ah tidak perlu saya. Kegiatan TNI di sini sudah berjasa melakukan itu.” Di Papua pun, setiap pembangunan pos keamanan pasti memicu timbulnya konflik kemanusiaan, George (2000).

Banyak kekacauan yang terjadi sekarang hanyalah percikan bara dalam sekam yang disertai solusi instan. Seharusnya, pendekatan militer sudah tidak boleh lagi digunakan. Penggunaan dana besar untuk membangun pendidikan dan budaya di Papua lebih dibutuhkan dibandingkan pembangunan infrastruktur yang sifatnya jor-joran.

Dengan penduduk sekitar 3,5 jt jiwa, pembangunan jalan sekitar 4300 km terlalu dini untuk dilakukan dan menimbulkan kecurigaan masyarakat bahwa itu hanya untuk kepentingan eksploitasi ekonomi. Kajian prioritas pembangunan seharusnya dilakukan ulang apabila kita ingin Papua tetap bersama Indonesia ke depannya.

Aulia Mauludi
Aulia Mauludi
Penulis lepas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.