Senin, Oktober 7, 2024

Budaya Poligami dan Kesakinahan yang Dikesampingkan

Farhan Aji Dharma
Farhan Aji Dharma
Penulis adalah Mahasiswa Aktif di Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

 

Dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan terdapat sebuah asas dimana seorang suami diberi hak untuk menikahi satu orang istri saja dan begitupun sebaliknya (monogami). Asas tersebut boleh disebut sebagai asas tunggal dalam perkawinan dan bersifat mutlak. Kendati di dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) juga membuka ruang bagi seorang suami untuk mempunyai isteri lebih dari satu. Namun, dijelaskan pula di dalamnya mengenai berbagai syarat yang melandasi dibolehkannya seseorang menambah isteri atau dalam Islam disebut ta’adud az-zaujat. Poligami akhirnya menghuni tempat di ranah hukum sebagai hukum darurat (emergency law) atau dalam keadaan yang luar bisa (extra ordinary circumstance). Setidaknya terdapat tiga syarat yang ketiganya tidak keluar dari faktor “kekurangan” isteri dari sudut pandang biologis yang memaksa seorang suami untuk menentukan berbagai pilihan yang salah satunya dengan menempuh jalan poligami.

Poligami bagi masyarakat Indonesia khususnya, telah dengan malu-malu menyelinap ke wilayah budaya. Dan celakanya lagi, agama menjadi perisai terampuh untuk melegitimasinya. Didukung pula oleh sebagian “ustadz” yang cukup dikenal oleh khalayak yang “mensyariatkan” poligami sebagai sunnah yang baik untuk dilakukan tanpa terlebih dahulu mengkajinya sampai purna.  Meskipun tidak dipungkiri, masih ada diantara para suami yang memilih ber-poligami lantaran dilatar belakangi dengan kondisi fisik sang isteri yang dikhawatirkan akan berpengaruh kurang baik dalam perjalanan pernikahan. Mungkin sebab isteri tidak dapat melahirkan keturunan, terdapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan bahkan bisa jadi oleh karena sang isteri tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri. Islam, memang membolehkan poligami sebagai sebuah pilihan. Sekali lagi, pilihan. Tentu dengan berbagai syarat yang cukup berat dan hampir memungkinan seorang suami tak mampu menanggung syarat-syarat tersebut. Bahkan Tuhan sendiri memberi batas tinggi-tinggi terhadap keinginan suami untuk menambah jumlah isteri.

Dalam surat An-Nisa ayat 129, Allah swt. memberi kesan keniscayaan adil sebagai sesuatu yang sulit untuk ditempuh seorang laki-laki ketika dia memilih untuk berpoligami. Maka jauh di ayat sebelumnya, dimana ayat itu pula dimaknai secara buta oleh sebagian umat Islam untuk melihat poligami sebagai perintah Tuhan, ayat 2 di surat yang sama, Allah telah memfirmankan ”…tapi jika kamu takut bahwa kamu tidak dapat memperlakukan mereka secara adil, maka nikahilah satu…”. Teranglah, Islam sangat berhati-hati dalam persoalan poligami. Maka sepantasnya, budaya poligami yang mulai digandrungi oleh sebagian besar umat Islam itu, perlu kiranya untuk tidak kembali diprioritaskan dalam persoalan pernikahan. Atau lebih praksisnya, kurangilah kemasifan kajian-kajian poligami yang menambah beban hidup kaum bujang yang tak jua dapat pasangan.

Nah, alangkah baik dan bijaksananya apabila kembali kita galakkan dan priotaskan kajian-kajian mengenai tujuan pernikahan yang sejati yakni kesakinahan dalam persada hubungan suami dan isteri. Baik Islam maupun negara, dalam konstitusi administratifnya selalu memiliki muara kesakinahan dalam hal ihwal pernikahan. Sakinah merupakan tujuan yang tidak bisa disangsikan oleh seluruh pasangan suami isteri. UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 mendefinisikan pernikahan sebagai “Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sementara Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan tujuan pernikahan sebagai berikut “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah (tenteram cinta dan kasih sayang”. Bilamana menarik keterkaitan dengan poligami, bukan lantas menggeneralkan bahwa poligami berlawanan jalan dengan kesakinahan sebagai tujuan perkawinan. Namun banyak terjadi, poligami justeru membuat luka baru di tengah bahtera rumahtangga yang mengakibatkan perceraian atau talak (hall al-qaid). Cinta dan kesetiaan adalah ruh dalam perkawinan. Apabila keduanya berhasil merasuk di tengah sebuah pasangan, maka niscaya hubungan akan abadi hingga kekekalan sebagaimana yang disebut “kekal” dalam UU Perkawinan meskipun diduga kuat pasal tersebut dipengaruhi oleh kepercayaan Katholik Roma yang melarang keras terjadinya perceraian dalam rumahtangga kecuali diizinkan oleh Paus[1]. 

 

Hubungan yang harmonis, kental dengan rasa saling percaya dan kebahagiaan yang dapat dirasakan bersama merupakan bekal utama sebuah pasangan dalam mengarungi bahtera menuju dermaga kesakinahan. Sikap adil merupakan sesuatu yang amatlah berat. Allah juga begitu luasnya memberi kesempatan bagi seorang suami untuk menyempurnakan keadilannya pada satu orang isteri saja. Begitu bahagianya seorang  isteri menjadi satu-satunya pasangan yang seorang suami kasihi seumur hidupnya tanpa harus dibagi pada wanita lain selain dirinya seorang. Jauh di dalam hati seorang isteri yang dimadu oleh suaminya, barang tentu meronta dengan lantang terhadap keputusan tersebut. Namun apalah daya, “doktrin sunnah” dan janji-janji surgawi itu terlanjur menyelubungi kebebasan berpikirnya dan memaksa banyak wanita untuk menerima kenyataan yang begitu pahit itu.

 

 Allah dengan bahasa yang mesra mengamsalkan isteri sebagai pakaian bagi suami dan sebaliknya (Lihat Surat Al-Baqarah: 127). Artinya, kesetiaan pada satu pasangan adalah keindahan yang dapat membawa sebuah hubungan suami-isteri pada tujuan pernikahan yakni kesakinahan. Untuk itu, layaklah bagi seorang suami untuk berpakaian dengan rapi dan tidak berlapis-lapis. Kecuali memang, secara darurat, keadaan memaksa untuk mempertebal pakaian dengan pakaian yang lain. Meskipun demikian, terdapat pilihan bijaksana bagi seorang suami untuk bertahan dengan seorang wanita bagaimanapun keadaannya. Tanpa pernah berfikir untuk memadu kasih sebagaimana janji setia yang dahulu terucapkan.

 

  

 

[1] Amiur Nuruddin & Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Media, 2014), h. 46.

 

 

 

Farhan Aji Dharma
Farhan Aji Dharma
Penulis adalah Mahasiswa Aktif di Jurusan Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.