Bagaimana Anda memaknai literasi? Apakah hanya sebatas pada buku cetak? Mengapa Anda mempermasalahkan anak-anak zaman sekarang yang lebih suka bermain smartphone daripada membaca buku di perpustakaan? Kehancuran seperti apa yang Anda maksud akibat rendahnya literasi di Indonesia? Serta pertanyaan yang paling penting, langkah nyata apa yang Anda tawarkan untuk meningkatkan budaya literasi di Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul setelah saya membaca artikel berjudul Literasi Rendah, Indonesia Hancur, yang ditulis oleh Cosmas Gun. Dalam pandangan saya, artikel tersebut sangat klise, minim data, serta menggunakan cara berpikir kuno dan kolot. Setelah melakukan pencarian di Google, beberapa berita dan artikel yang menyebutkan rendahnya literasi di Indonesia didasarkan pada hasil penelitian dari Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2012 lalu.
Hasil penelitian tersebut menyebutkan, budaya literasi Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara responden. Indikator dalam penelitian ini berupa kemampuan seseorang dalam memahami, menggunakan, dan merefleksikan bacaan yang telah ia baca. Saya menyimpulkan, pemaknaan literasi dalam penelitian tersebut hanya terbatas pada buku cetak.
Pemaknaan semacam itu rasanya terlalu naif di tengah semakin pesatnya perkembangan teknologi. Faktanya perpustakaan online terbesar di dunia, archieve.org, telah memindai 12 juta eksemplar buku dalam bentuk digital dan bebas diakses oleh siapapun. literasi Indonesia tidaklah rendah hanya saja bermetamorfosis dalam bentuk digital.
Banyak pula isi buku yang diterjemahkan ke dalam bentuk gambar maupun video yang lebih mudah dipahami dalam proses pembelajaran siswa di sekolah. Kita pun bisa mengakses jutaan jurnal ilmiah yang kaya akan referensi buku hanya dengan satu kali klik di internet. Apakah semua kecanggihan dalam mendapatkan pengetahuan tersebut tidak bisa dimaknai sebagai literasi? Literasi bukan sekadar buku cetak, melainkan media apapun yang memberikan pengetahuan baik berupa teks, audio, visual, maupun perpaduan di antara ketiganya.
Pahami Pola Pikir Generasi Z
Jangan menyalahkan anak-anak zaman sekarang yang lebih suka mengakses internet daripada membaca buku di perpustakaan. Walau bagaimanapun mereka adalah anak zaman, mereka lahir, tumbuh, dan berkembang di tengah kecanggihan teknologi. Guru dan orangtua tidak bisa sama sekali melarang mereka mengakses internet dan memaksa mereka untuk berdiam diri membaca buku di perpustakaan.
Hasil penelitian tirto.id menyebutkan di antara ciri generasi Z ialah menyukai kampanye yang kekinian dan asyik dengan teknologi. Generasi Z akan lebih tertarik mempelajari sesuatu melalui Youtube, daripada harus membaca buku tebal yang menghabiskan banyak waktu. Mereka lebih menyukai sesuatu yang praktis dan konkret, tidak sekadar berupa teori yang menggurui.
Sayangnya banyak generasi tua yang tidak memahami perubahan pola pikir generasi Z semacam ini. Generasi tua masih menggunakan “cara-cara lama” dalam mendidik generasi Z, seperti melarang mereka mengakses internet, mengharuskan mereka membaca buku di perpustakaan, belajar harus di depan papan tulis, dan masih banyak lagi. Sehingga ketika generasi Z tidak suka membaca buku cetak, mereka akan dicap sebagai generasi yang tak acuh terhadap literasi. Padahal generasi Z bisa dikatakan sebagai generasi yang paling banyak mengkonsumsi literasi, hanya saja dalam bentuk yang berbeda.
Generasi tua perlu memahami bahwa mereka hidup di tahun 2017, akses informasi sangat terbuka luas dan teknologi semakin berkembang pesat. Mereka tidak lagi hidup di tahun 1980-an, ketika akses informasi dibatasi oleh pemerintah dan teknologi belum secanggih sekarang. Jadi kurang tepat jika generasi tua menerapkan pola pendidikan seperti yang mereka dapatkan dahulu. Generasi tua harus membuka diri dan melakukan inovasi pengajaran mengikuti perkembangan zaman.
Jangan Sekadar Kritik, Tawarkanlah Solusi
Sub judul ini menjadi bagian paling penting dalam tulisan ini. Jangan sekadar mengkritik rendahnya literasi di Indonesia tanpa menawarkan solusi konkret untuk memperbaikinya. Kritik tanpa solusi sama halnya dengan omong kosong.
Dalam memperbaiki literasi Indonesia yang dibilang rendah, membutuhkan dukungan dari banyak elemen masyarakat terutama lembaga pendidikan. Sebab anak usia sekolah dituntut untuk lebih banyak membaca literasi meskipun terbatas pada materi pelajaran di kelas.
Guru tidak harus melarang akses internet di sekolah, melainkan mengarahkan siswa untuk mengakses konten positif. Dewan guru bisa membuat kurikulum digital berupa pembahasan pelajaran di Youtube yang disampaikan dengan audio dan visual yang unik serta mudah dipahami.
Apabila sekolah ingin perpustakaan tetap ramai dikunjungi, ubah desain interiornya terlebih dahulu. Konsep perpustakaan yang banyak dijumpai di sekolah terasa membosankan bagi generasi Z. Perpustakaan bisa dipadukan dengan kafe atau tempat nongkrong anak muda. Jadi siswa bisa membaca buku, berdiskusi, sambil mendengarkan lantunan musik klasik.
Guru juga perlu memberikan arahan kepada siswa untuk bijak dalam membaca literasi digital yang beredar di internet. Mengajarkan cara menganalisis validitas literasi digital dari judul, foto, dan sumber di dalamnya. Dengan demikian generasi muda tidak akan begitu memperburuk keadaan yang sudah kalut dengan maraknya berita hoax. Mereka akan menjadi generasi yang bijak membaca literasi digital, tidak mudah menekan tombol share pada konten tertentu yang tidak jelas sumbernya.
Tawaran solusi di atas hanya dilihat dari satu elemen masyarakat, yaitu lembaga pendidikan. Sementara masih banyak tawaran solusi lain yang bisa dilakukan oleh elemen masyarakat lain seperti keluarga, lembaga keagamaan, hingga pemerintah untuk meningkatkan budaya literasi di Indonesia. Jadi, masihkah Anda menilai budaya literasi di Indonesia rendah?