Rabu, Juli 9, 2025

Budaya Hustle Vs Keseimbangan Hidup: Masih Perlukah Etika Kerja

Sevenita Oktaviani Sipahutar
Sevenita Oktaviani Sipahutar
Seorang mahasiswa ekonomi dan bisnis, Prodi manajemen di universitas Katolik santo tomas
- Advertisement -

Di tengah hiruk-pikuk dunia kerja modern, sebuah pertanyaan besar mulai bergema: apakah etika kerja klasi yang menjunjung tinggi disiplin, loyalitas, kerja keras, dan ketekunan tanpa henti masih relevan di zaman sekarang? Generasi baru tenaga kerja, terutama milenial dan Gen Z, membawa nilai-nilai baru yang menantang warisan lama. Mereka bukan hanya menuntut pengakuan atas hasil, tapi juga kebebasan, keseimbangan hidup, dan kesehatan mental. Di sinilah tarik-ulur antara budaya hustle dan keseimbangan hidup menjadi sorotan.

Budaya hustle atau hustle culture bisa didefinisikan sebagai pola pikir yang mengagungkan produktivitas tiada henti. Kalimat seperti “sleep is for the weak” atau “you can rest when you’re dead” mencerminkan glorifikasi terhadap kerja keras ekstrem. Mereka yang menganut budaya ini merasa bangga jika bekerja lembur, menjawab email larut malam, atau tidak pernah mengambil cuti.

Selama beberapa dekade, budaya hustle menjadi standar emas, terutama dalam korporasi besar atau industri kompetitif seperti teknologi dan keuangan. Orang yang ambisius dan workaholic dianggap punya “etika kerja yang baik.” Namun, benarkah itu esensi dari etika kerja?

Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat pergeseran besar. Pandemi COVID-19 menjadi katalis perubahan. Ketika pekerjaan berpindah ke rumah, batas antara kerja dan kehidupan pribadi kabur. Banyak yang menyadari bahwa mereka terlalu lelah untuk merasa puas, terlalu sibuk untuk hidup.

Generasi muda mulai mempertanyakan: mengapa kita harus mengorbankan hidup demi pekerjaan? Muncul istilah work-life balance, lalu berkembang menjadi work-life integration. Bahkan, muncul gerakan seperti quiet quitting bukan benar-benar berhenti, tetapi membatasi usaha sebatas deskripsi kerja. Bagi sebagian kalangan lama, ini dianggap sebagai kemunduran etika kerja. Tapi benarkah demikian?

Etika Kerja Klasik: Antara Nilai dan Tekanan

Etika kerja klasik yang diwariskan oleh generasi sebelumnya tak bisa dilepaskan dari konteks sosial-ekonomi mereka. Pada masa pascaperang atau Orde Baru, pekerjaan adalah sumber utama stabilitas dan kebanggaan. Loyalitas pada atasan dan perusahaan adalah bentuk kesetiaan. Disiplin waktu dan pengorbanan pribadi merupakan cermin integritas.

Namun, dalam praktiknya, etika kerja klasik sering disalahartikan menjadi pengabdian tanpa batas. Lembur menjadi norma, bukan pengecualian. Karyawan yang mengambil cuti dianggap kurang berdedikasi. Tekanan bekerja sekuat tenaga seringkali tanpa imbalan yang layak menjadi standar tak tertulis.

Ironisnya, banyak yang burnout dan kehilangan makna kerja itu sendiri. Etika kerja semacam ini kemudian terlihat usang, bahkan toksik, bagi generasi baru yang lebih sadar akan batas personal dan kesehatan mental.

Namun bukan berarti etika kerja klasik harus dibuang seluruhnya. Di dalamnya terdapat nilai-nilai yang tetap penting: tanggung jawab, integritas, ketekunan, dan komitmen. Yang perlu ditinggalkan adalah glorifikasi pengorbanan diri tanpa batas dan anggapan bahwa produktivitas adalah ukuran utama nilai seseorang.

Generasi baru justru menuntut makna. Mereka ingin bekerja di tempat yang menghargai mereka sebagai manusia, bukan sekadar mesin pencetak hasil. Mereka ingin otonomi, kesempatan berkembang, dan yang paling penting: ruang untuk hidup.

- Advertisement -

Etika kerja masa kini tidak lagi soal berapa lama kamu bekerja, tapi bagaimana kamu bekerja. Apakah kamu memberi hasil yang berdampak? Apakah kamu jujur dan bertanggung jawab? Apakah kamu bisa bekerja dalam tim, menghargai waktu orang lain, dan menjaga komunikasi yang sehat? Ini bukan pelemahan etika kerja, melainkan pembaruan.

Dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah dunia dilanda pandemi, banyak orang mulai melakukan refleksi besar-besaran. Ketika kantor berpindah ke ruang tamu, dan rapat bisa dilakukan dari tempat tidur, batas antara hidup dan kerja menjadi kabur. Namun, dari kekaburan itu, lahirlah kesadaran akan pentingnya ruang personal, waktu istirahat, dan kesehatan jiwa.

Konsep work-life balance menjadi semakin populer. Para profesional muda mulai menyuarakan bahwa mereka tidak hanya ingin bekerja untuk hidup, tetapi juga hidup dengan layak di luar pekerjaan. Muncul pula praktik quiet quitting, yaitu kecenderungan untuk tidak memberikan energi lebih dari apa yang dituntut oleh kontrak kerja. Bukan karena malas, tapi karena kelelahan menjadi norma yang tak masuk akal.

Fenomena ini menandai pergeseran besar. Generasi muda tidak melihat loyalitas sebagai tunduk buta kepada perusahaan, tetapi sebagai relasi yang saling menghargai. Mereka tidak takut mengundurkan diri dari tempat kerja yang toksik, dan bahkan mulai menuntut hak atas cuti, jam kerja fleksibel, hingga dukungan psikologis.

Apakah Kita Sedang Kehilangan Etika Kerja?

Sebagian kalangan merasa khawatir bahwa pergeseran ini adalah tanda melemahnya etika kerja. Mereka menganggap generasi muda terlalu manja, tidak tahan tekanan, dan terlalu fokus pada diri sendiri. Namun, benarkah demikian?

Perlu dipahami, yang sedang berubah bukanlah komitmen terhadap pekerjaan, tetapi cara kita memaknai kerja itu sendiri. Etika kerja tidak sama dengan pengorbanan tanpa batas. Etika kerja adalah tentang tanggung jawab, integritas, profesionalisme, dan kemampuan menjaga komitmen dalam batasan yang sehat.

Generasi baru tidak kehilangan etika kerja. Mereka sedang menciptakan versi baru yang lebih berpusat pada manusia. Mereka masih bekerja keras, tetapi menolak dieksploitasi. Mereka masih ingin sukses, tetapi tidak mau kehilangan hidupnya di tengah jalan.

Pertanyaan “Masih perlukah etika kerja klasik?” tidak bisa dijawab dengan ya atau tidak. Jawaban terbaik adalah: perlu, tapi dengan transformasi. Dunia telah berubah, dan dunia kerja pun harus ikut berubah. Kita tidak bisa lagi mengukur dedikasi hanya dari lamanya seseorang berada di kantor, atau seberapa sering ia menunda cuti. Kita harus melihat nilai kerja dari dampak yang dihasilkan, kemampuan berkolaborasi, serta bagaimana seseorang menjaga keseimbangan antara performa dan kehidupan pribadi.

Etika kerja bukan soal tunduk pada sistem, tetapi bagaimana kita bekerja dengan niat baik, bertanggung jawab, dan tetap waras. Budaya hustle mungkin cocok untuk sebagian orang, tetapi keseimbangan hidup adalah kebutuhan semua orang.

Kini saatnya kita membentuk budaya kerja baru: bukan yang menuntut pengorbanan tanpa batas, tapi yang memberdayakan manusia sebagai pekerja sekaligus individu utuh. Karena pada akhirnya, bekerja bukan hanya tentang mengejar target, tetapi juga tentang menjalani hidup yang bermakna.

Tulisan ini hasil kolaborasi Sevenita Oktaviani Sipahutar Mahasiswi Universitas Katolik Santo Thomas Dan Helena Sihotang, S.E., M.M. Dosen Fakultas ekonomi dan bisnis.

 

Sevenita Oktaviani Sipahutar
Sevenita Oktaviani Sipahutar
Seorang mahasiswa ekonomi dan bisnis, Prodi manajemen di universitas Katolik santo tomas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.