Belakangan ini banyak ajakan hijrah, dari terbuka menuju tertutup, baik itu pakaian maupun pikiran. Doktrin-doktrin yang tak mampu membedakan antara agama dan budaya berkeliaran, mencari mangsa atau sekedar hinggap di kepala orang-orang yang belum cukup paham agama.
Saat ini banyak orang kesulitan membedakan antara agama dan budaya, sering sekali ditemui budaya yang dianggap atribut agama, fenomena ini yang kemudian menjadi keriteria orang yang belum sepenuhnya memahami agama secara sempurna. Ironisnya, religiusitas keagamaan diukur dari budaya yang dianggap atribut agama itu, hal ini yang kemudian mengikis kebudayaan Nusantara, karena tidak ada agama-agama besar yang turun atau lahir di Nusantara.
Dengan masalah yang demikian, menjadi sangat perlu memvitalkan kembali pemahaman agama dan budaya. Agama sangat jarang berbenturan dengan budaya, sedangkan budaya yang disakralkan atau budaya yang dianggap atribut agama sangat sensitif dengan budaya lain.
Tentu pemahaman yang baik bukan yang hanya mencari perbedaan atau persamaan belaka, tetapi keduanya adalah unsur pemahaman yang sempurna, oleh karena itu antara agama dan budaya harus jelas perbedaan dan persamaannya untuk melahirkan pemahaman agama secara sempurna.
Jika memang berbeda tidak perlu dipaksa sama, sebab selain berbeda tidak selalu bertentangan, juga bangsa yang dewasa bukan yang memaksakan persamaan, tapi menghargai perbedaan.
Agama dan Budaya untuk Manusia
Di hadapan Tuhan manusia tidak bisa apa-apa, tapi di dunia, yang khas dari manusia adalah wataknya yang tidak mungkin bisa diam di tempat, ia selalu mencari kehidupan yang lebih layak untuk dirinya.
Untuk menemukan kehidupan yang lebih layak manusia mengerahkan segala kemampuannya, dari pikiran hingga tenaganya. Manusia selalu bergerak untuk memanusiakan dirinya, di dalam agama selalu diajarkan untuk memanusiakan sesamanya. Sebuah agama bukanlah agama jika tidak mampu memanusiakan manusia, kualitas agama paling tidak dapat diukur dari seberapa besar manfaatnya terhadap manusia.
Manusia sebagai ciptaan Tuhan mendapatkan tugas untuk mengurus dunia, untuk tugasnya itu ia dibekali sebuah agama sebagai sebuah pedoman. Dalam hal ini, agama merupakan salah satu bentuk keber-tanggungjawab-an Tuhan tentang tindakan-Nya menciptakan manusia sebagai wakil-Nya di muka bumi. Agama diciptakan Tuhan untuk manusia dan kemanusiaan.
Agama dan manusia tidak dapat dipisahkan, sebab agama (samawi) adalah aturan yang diciptakan Tuhan untuk peradaban manusia di dunia. Jika agama menjauhkan manusia dari urusan dunia bahkan dengan manusia itu sendiri, maka agama tersebut tidak layak disebut agama.
Agama bukan sekedar urusan hidup setelah mati, tapi juga dan terutama adalah sebuah pedoman bagi kehidupan manusia di dunia. Agama yang hanya sekedar mengurus halal dan haram, dosa dan pahala, lalu surga dan neraka, dan tak mampu atau tidak mau mengimbangi perdaban kehidupan manusia, maka penganutnya hanya tinggal menunggu waktu kepunahan agamanya di muka bumi, lantaran sifat dunia yang keras dan tak selembut agama.
Tujuan lahirnya budaya dan penciptaan agama sangat jelas, yaitu kemanusiaan. Ini salah satu persamaan antara agama dan budaya, adapun perbedaannya adalah budaya lahir dari pengaruh watak masyarakat tertentu.
Karena pengaruh itu, maka terkadang suatu budaya tak sesuai dengan masyarakat yang tidak ikut mempengaruhi dalam melahirkan budaya tersebut. Setiap kelompok manusia memiliki budayanya sendiri. Sedangkan agama diciptakan Tuhan untuk bekal hidup manusia, murni untuk manusia, Tuhan tidak akan diuntungkan atau dirugikan dalam menciptakan agama. Karena ciptaan Tuhan, yang setiap manusia mengakui Kemaha Besaran-Nya, maka agama akan selalu sesuai dengan kehidupan setiap manusia.
Kesempurnaan Agama
Sebelum datangnya agama-agama yang lahir di luar Nusantara, Nusantara telah lama memiliki budaya yang hingga saat ini terlestarikan. Sebagai salah satu misal, Islam yang lahir di Arab dibawa oleh Wali Songo adalah Islam yang benar-benar murni, yang tidak bercampur dengan budaya Arab, sebab mereka paham bahwa budaya Arab tidak sesuai dengan masyarakat Nusantara.
Bahkan Wali Songo tidak mempermasalahkan sebutan syahadatain yang sering dilafalkan dengan sebutan sekaten, sebab apa guna sebuah bahasa jika tak mampu menyampaikan pesan, nyatanya sekaten lebih mampu menyampaikan pesan daripada syahadatain. Dengan ini, dapat dilihat bahwa pemahaman Wali Songo tentang budaya dan agama begitu dalam.
Di samping itu, sejarah telah mencatat bahwa pada masa pengusiran penjajah di bumi Nusantara Ulama’ belakangan memakai budaya-budaya Arab yang sangat dekat dengan Islam, sorban dan jubah contohnya, namun hal ini tidak bisa diartikan sebagai sebuah tindakan yang bertujuan untuk melestarikan budaya Arab di Nusantara, melainkan untuk menunjukkan bahwa Muhammad SAW sebagai pembawa Islam yang berkebangsaan Arab mengajarkan komitmen kebangsaan yang sangat kuat, mencintai kemanusiaan, dan membenci seluruh penindasan.
Perbedaan yang ada antara agama dan budaya selayaknya tidak dijadikan sebuah pertentangan, melainkan didialogkan demi menciptakan peradaban yang lebih tinggi. Budaya untuk menunjukkan sebuah eksistensi bangsa, bukan simbol dari sebuah agama. Budaya Arab bukan simbol Islam, begitu pula budaya-budaya lain bagi agama yang lahir di dalamnya.
Oleh karena itu, tolak ukur ketaatan umat beragama bukan dengan cara menunjukkan budaya tertentu, tapi tolak ukur seorang dalam memahami agama dapat dilihat dari bagaimana agama dijadikan bukan sekedar mengatur hubungannya dengan Tuhan, tapi juga hubungannya dengan sesama. Jadi, kesempurnaan agama adalah memanusiakan manusia melalui nilai-nilai ketuhanan.