Minggu, Oktober 19, 2025

Brave Pink dan Ketahanan Nasional: Kritik atau Ancaman Sosial?

Nazwa Nawa Zahra
Nazwa Nawa Zahra
Mahasiswa Semester 5 Ilmu Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email : nazwanawa09@gmail.com Instagram : @nazwazraa
- Advertisement -

Gerakan warna yang lahir dari aksi 28 Agustus 2025 kini ramai di dunia maya. Apakah Brave Pink sekadar simbol solidaritas, atau justru ancaman nyata bagi keamanan nasional Indonesia?

Dari Simbol ke Gerakan

Foto seorang ibu berjilbab pink yang berani berdiri di depan aparat dalam demo 28 Agustus 2025 menjadi ikon viral. Dari situlah lahir istilah Brave Pink. Bersama Hero Green simbol pengemudi ojek online yang tewas saat aksi dan Resistance Blue, warna-warna ini melebur dalam gerakan solidaritas 17+8 Tuntutan Warga. Warna yang semula tampak sederhana kini berubah menjadi bahasa politik. Di media sosial, ribuan orang mengganti foto profil dengan Brave Pink atau Hero Green. Dari jalanan hingga ruang digital, simbol ini menyatukan keresahan rakyat menjadi narasi bersama.

Ancaman dalam Perspektif Keamanan Nasional

Untuk menilai apakah Brave Pink ancaman atau tidak, kita perlu memahami konsep keamanan nasional. Dalam definisi klasik, ancaman berarti serangan militer atau invasi asing. Barry Buzan dalam People, States, and Fear (1991) menulis bahwa keamanan tradisional “terlalu sempit jika hanya dipahami sebagai militer, karena kerentanan negara juga muncul dari sektor politik, ekonomi, dan sosial.” Dengan definisi sempit ini, jelas Brave Pink bukan ancaman: tidak ada peluru, tank, atau rudal yang diluncurkan.

Namun, keamanan nasional hari ini tidak lagi sesempit itu. PBB melalui UNDP Human Development Report 1994 menekankan bahwa ancaman bisa muncul dari dalam, misalnya ketidakadilan sosial, represi politik, atau hilangnya kepercayaan publik pada negara. Dalam kerangka inilah Brave Pink relevan: ia mencerminkan keresahan warga yang tidak menemukan saluran aspirasi formal.

Dengan kata lain, Brave Pink bukan ancaman militer, tetapi bisa menjadi ancaman politik sosial:

  • Menggerus legitimasi negara jika aspirasi diabaikan.
  • Memicu polarisasi sosial jika simbol ditafsirkan secara biner (pro-rakyat vs pro-negara).
  • Menjadi titik eskalasi baru jika respons aparat terlalu represif.

Antara Kritik dan Destabilisasi

Tidak semua kritik adalah ancaman. Justru, demokrasi sehat membutuhkan kritik agar negara tidak kehilangan arah. Brave Pink bisa dipahami sebagai peringatan dini: ada jurang kepercayaan yang semakin lebar antara pemerintah dan rakyat. Tetapi ancaman bisa muncul jika gerakan ini dijawab dengan kekerasan. Polarisasi digital yang terus diperkuat algoritma media sosial dapat mempercepat fragmentasi politik. Jika narasi “rakyat melawan negara” menguat, Brave Pink bisa berubah dari simbol solidaritas menjadi simbol delegitimasi.

Ken Booth, tokoh critical security studies, menegaskan bahwa keamanan harus dilihat sebagai “emansipasi, bukan sekadar pertahanan negara.” Artinya, gerakan seperti Brave Pink justru bisa menjadi jalan menuju keamanan yang lebih substantif, sejauh negara tidak menanggapinya dengan represif.

Jawaban yang Tepat untuk Negara

Apakah negara harus melihat Brave Pink sebagai musuh? Tidak. Menganggap gerakan ini sebagai ancaman tunggal justru akan kontraproduktif. Yang lebih mendesak adalah bagaimana negara mengelola keresahan ini:

  • Memberi ruang dialog, bukan represi.
  • Menyerap tuntutan yang rasional, bukan menstigmatisasi simbol.
  • Menunjukkan transparansi agar publik merasa suaranya dihargai.

Jika dikelola dengan pendekatan represif, Brave Pink bisa menjadi bumerang yang memperbesar krisis kepercayaan. Tetapi jika ditanggapi dengan bijak, ia bisa menjadi pintu masuk bagi konsolidasi demokrasi yang lebih sehat.

Ancaman atau Alarm?

Maka, apakah Brave Pink mengancam keamanan nasional Indonesia? Jawabannya: tidak dalam arti militer, tetapi iya dalam arti politik dan sosial jika diabaikan. Brave Pink lebih tepat dipahami sebagai alarm, bukan ancaman. Alarm yang mengingatkan negara bahwa ada keresahan yang harus dijawab, ada luka yang harus diobati, dan ada warga yang ingin didengar.

- Advertisement -

Keamanan nasional sejati tidak hanya diukur dari ketiadaan perang, tetapi dari kokohnya kepercayaan antara negara dan rakyat. Seperti diingatkan Buzan, keamanan adalah “pencarian untuk kebebasan dari ancaman.” Dan hari ini, warna pink yang berani itu adalah cermin: apakah negara memilih mendengar, atau justru menutup mata.

Nazwa Nawa Zahra
Nazwa Nawa Zahra
Mahasiswa Semester 5 Ilmu Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Email : nazwanawa09@gmail.com Instagram : @nazwazraa
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.