Sabtu, April 20, 2024

BPJS Kesehatan Pasca Perpres Pemanfaatan Cukai Rokok

Gerry Katon Mahendra
Gerry Katon Mahendra
Dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta

Selamat, BPJS Kesehatan saat ini akhirnya dapat sedikit bernafas lega (kembali). Perlu diketahui, selama tiga tahun terakhir neraca keuangan BPJS selalu negatif. Pada tahun 2014 defisit anggaran BPJS Kesehatan mencapai Rp. 3,3 triliun. Pada tahun 2015 defisit anggaran BPJS Kesehatan mencapai Rp. 5.7 triliun.

Pada tahun 2016 defisit anggaran BPJS Kesehatan mencapai Rp. 9,7 triliun. Hingga menjelang akhir tahun2018, BPJS Kesehatan diperkirakan mengalami defisit anggaran sebesar Rp. 16 triliun. Tren defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan yang semakin mengkhawatirkkan akhirnya direspon oleh pemerintah.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan telah melakukan upaya untuk mengendalikan defisit keuangan BPJS Kesehatan. Kebijakan yang ditempuh dengan meningkatkan peran Pemerintah Daerah (Pemda). Langkah operasionalnya ditempuh dengan menerbitkan PMK 183/2017  tentang Tata Cara Penyelesaian Tunggakan Iuran Jaminan Kesehatan Pemerintah Daerah Melalui Pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil.

Selanjutnya, Kementrian Keuangan juga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 222/2017  tentang Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (penggunaan dana bagi hasil cukai tembakau sebesar Rp 1,48 triliun dengan cara supply side).

Saat ini, Pemerintah pusat melalui Presiden juga menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) yang bertujuan untuk menyelamatkan kondisi keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Dalam Perpres tersebut, setidaknya ada beberapa poin yang menjadi perhatian bersama.

Poin pertama, dalam Undang-Undang Cukai Rokok, disebutkan bahwa 50% hasil penerimaan cukai rokok harus digunakan untuk memperkuat layanan kesehatan. Poin kedua, keadaan keuangan BPJS Kesehatan yang masih dan terus saja mengalami defisit, harus segera direspon oleh pemerintah agar pelayanan kepada masyarakat tetap dapat dijalankan secara maksimal.

Poin Ketiga, Presiden meminta jajaran direksi BPJS Kesehatan untuk memperbaiki sistem, baik sistem administrasi, verifikasi, dan keuangan. Namun, pemanfaatan cukai rokok guna “menambal” defisit keuangan BPJS ternyata menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Pihak pro cenderung berfikir pragmatis.

Asumsinya, asalkan keuangan BPJS Kesehatan dapat terselamatkan dan tetap mampu melayani jaminan kesehatan masyarakat, mengapa tidak? Lagi pula, anggaran yang digunakan (pajak cukai rokok) juga berasal dari penerimaan resmi negara.

Hal lain yang menjadi dasar pihak pro adalah, BPJS Kesehatan merupakan bagian dari kewajiban pemerintah dalam memberikan layanan publik bidang kesehatan kepada masyarakat, sehingga tidak perlu memikirkan untung rugi dalam pelaksanaannya. Sehingga, dari manapun sumber pendanaannya, selama masih sah dan resmi menurut Undang-Undang yang belaku, maka sah-sah saja dipergunakan.

Sedangkan disisi lain, pihak kontra menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh pemerintah yang “menambal” defisit keuangan BPJS Kesehatan dengan memanfaatkan pajak cukai rokok merupakan langkah yang sangat kontra produktif dalam upaya menjadikan Indonesia sehat tanpa rokok.

Kontraproduktif tersebut dijabarkan bahwa seharusnya keuntungan cukai rokok digunakan untuk menekan peredaran tembakau, produksi rokok dan konsumsi rokok secara bertahap melalui kebijakan dan program kegiatan yang relevan. Namun, dengan adanya Perpres tersebut, justru pajak tersebut kini dialokasikan untuk pembiayaan penyakit yang sebagian penyakit yang ditangai juga disebabkan oleh peredaran dan konsumsi rokok.

Asumsi kontra lainnya adalah, kebijakan penanggulangan defisit keuangan BPJS Kesehatan dengan menggunakan keuntungan pajak rokok dianggap hanya merupakan solusi jangka pendek yang tidak efektif. Mengapa disebut jangka pendek dan tidak efektif ? Jika hulu sistem BPJS Kesehatan tidak diperbaiki dan disesuaikan, maka capaian di hilir dapat dipastikan akan defisit dan merugi. Perbaikan sistem hulu sistem BPJS Kesehatan seharusnya tidak hanya diorientasikan kepada masyarakat peserta BPJS Kesehatan.

Selama ini, jika BPJS Kesehatan mengalami defisit, dalih yang digunakan adalah nominal iuran peserta BPJS yang terlalu kecil dan tidak berbanding lurus dengan intensitas berobat yang semakin tinggi.

Alasan tersebut yang akhirnya membuat iuran peserta BPJS Kesehatan selalu naik secara berkala dan beberapa layanan kesehatan juga dipangkas secara kuantitas. Namun lucunya, meskipun upaya tersebut sudah ditempuh tetap saja laporan keuangan BPJS Kesehatan selalu berada dalam posisi merugi.

Ada baiknya bila evaluasi defisit neraca keuangan tidak hanya diambil dari aspek peserta BPJS Kesehatan saja. Aspek internal BPJS Kesehatan juga selayaknya mendapatkan perhatian dalam upaya menyeimbangkan neraca keuangan BPJS Kesehatan. Ya, hal ini yang selama ini tidak terlalu banyak disorot. Sebagai lembaga milik pemerintah, tentu operasional BPJS Kesehatan selama ini ditanggung oleh pemerintah, termasuk gaji dan tunjangan pengelola BPJS Kesehatan.

Sebagai gambaran umum saja, meskipun tidak menyebutkan secara spesifik, muncul pemberitaan diberbagai media nasional beberapa waktu yang lalu menyebutkan bahwa pendapatan dari jabatan direktur BPJS bahkan melebihi gaji presiden.

Hal yang menarik adalah, dalam upaya pencarian data tersebut tidak banyak informasi resmi dan transparan terkait dengan besaran gaji di BPJS Kesehatan. Hal ini yang juga seharusnya menjadi perhatian agar publik tidak semakin bertanya-tanya. Selama ini publik selalu bertanya, adilkah sistem remunerasi yang diterapkan di BPJS Kesehatan bila melihat situasi keuangan mereka yang selalu defisit dan pelayanan kesehatan yang masil belum maksimal?

Hal tersebut yang seharusnya juga mendapat perhatian dari pemerintah. Artinya defisit keuangan yang dialami oleh BPJS harus dibedah melalui sudut pandang yang luas dan komprehensif serta tidak mengambil jalan pintas dengan cara tambal sulam kebijakan dengan memanfaatkan pajak cukai rokok.

Namun, ketika memang Perpres tentang pemanfaatan pajak cukai rokok untuk menangani defisit BPJS Kesehatan sudah disahkan, maka masyarakat peserta BPJS Kesehatan sejatinya hanya bisa berharap kualitas dan kuantitas layanan jaminan kesehatan dapat tetap terlaksana konsisten, sehingga aspek kesehatan masyarakat Indonesia dapat tetap terjamin dan terjaga dengan baik. Semoga!

Gerry Katon Mahendra
Gerry Katon Mahendra
Dosen Administrasi Publik Universitas 'Aisyiyah Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.