Pada tanggal 12 Februari lalu, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa mereka tidak akan memulangkan eks-kombatan ISIS di Suriah yang berjumlah lebih dari 660 orang. Keputusan tersebut diambil dengan argumen untuk menciptakan rasa aman bagi 260 juta rakyat Indonesia.
Namun begitu, apakah keputusan yang pemerintah ambil sudah tepat? Apakah solusi itu akan memastikan Indonesia mencegah terorisme oleh ISIS atau dari organisasi serupa?
Para anggota ISIS dari awal sudah menyadari bahwa senjata utama mereka bukanlah senjata api, bom, ataupun tank. Senjata utama mereka adalah ideologi. Sehingga memahami bagaimana melawan dan bagaimana mencegah semakin radikalnya ideologi tersebut haruslah menjadi agenda semua negara dalam memerangi terorisme sejenis ISIS.
Namun begitu, saya melihat hampir semua negara tidak mau mengambil pusing dalam masalah ideologi dari ISIS ini dan seolah-olah menganggap bahwa menahan ISIS di luar batas negara mereka adalah solusi terbaik. Untuk itu saya berargumen bahwa keyakinan tersebut tidak hanya ceroboh, tetapi juga berbahaya.
Karena pertama kita harus mempertimbangan masa depan para eks-kombatan ISIS ini. Masa depan mereka akan menyangkut masa depan bagi banyak orang. Kini mayoritas dari eks-kombatan ISIS berada di beberapa penjara milik SDF (Syrian Democratif Forces).
Mereka ditahan disana tanpa ada kejelasan sampai kapan dan apakah suatu saat mereka akan bebas. Menurut pendapat pribadi saya, itu bukan hal yang buruk untuk mereka dikurung di penjara tersebut selamanya, terlepas dari bagaimana hukum internasionalnya melihatnya.
Tapi, kita juga harus mempertimbangkan semua kemungkinan. Jika kita melihat biografi dari Abu Musab Al-Zarqawi sebagai pendiri Al-Qaeda di Iraq(AQI) dan Abu Bakr Al-Baghdadi sebagai penerusnya dan orang yang mengganti nama AQI menjadi ISIS, mereka berdua memiliki kesamaan, yaitu mereka pernah dipenjara diantara orang-orang radikal lainnya.
Di penjara itulah ideologi mereka saling menguatkan antara satu tahanan dengan lainnya. Dan di sanalah mereka dibentuk menjadi seorang ekstrimis dengan penuh dendam dan visi untuk menghancurkan negara-negara yang menurut mereka tidak sejalan dengan Islam.
Dengan kata lain, di penjara itulah mereka dibentuk menjadi bom waktu, yang tinggal menunggu kesempatan untuk meledak. Dan ini kini sedang terjadi lagi kepada para eks-kombatan ISIS.
Kita harus selalu ingat bahwa musuh utama kita bukanlah ISIS tapi ideologi ISIS. Dan membiarkan para eks-kombatan ISIS ini terkonsentrasi di satu tempat hanya akan memperkuat ideologi mereka.
Yang kedua yang harus kita pertimbangkan adalah masa depan dari sistem yang mengurung para eks-kombatan ISIS. Untuk menjaga kedaulatan Turki dari pemberontakan yang mungkin terjadi oleh kaum Kurds di perbatasan Turki, Turki sejak 2019 lalu menggempur wilayah-wilayah SDF.
Bahkan untuk menyelamatkan diri merekapun, SDF sempat mempertimbangkan untuk menjalin koalisi dengan pemerintahan Bashar Al-Ashad dan Russia. Hal ini menunjukan seberapa tidak bisa ditebaknya masa depan dari SDF, organisasi yang menangani sistem yang menjadi tembok satu-satunya dalam menahan anggota ISIS untuk tidak kembali mengotori dunia. Dan kita tidak bisa mengharapkan situasi yang terkendali dari sistem yang tidak bisa diprediksi.
Yang ketiga adalah kita harus mempertimbangkan apa yang akan terjadi jika suatu saat SDF tidak bisa menahan mereka lagi. Mungkin, jika para eks-kombatan ISIS ini berhasil kabur mereka tidak akan bisa masuk ke negara asal mereka seperti Indonesia. Tapi itu tidak berarti mereka tidak bisa melakukan kerusakan.
Mereka akan tetap melakukan kerusakan dimanapun mereka berada. Baik itu di Suriah, Irak, ataupun Yordania. Dan ketika itu sudah terjadi, siapa yang harus bertanggungjawab? SDF kah karena mereka gagal mengurung kombatan ISIS atau negara-negara lain yang menolak untuk mengambil andil dalam melawan terorisme ini?
Para eks-kombatan ISIS adalah bom waktu bagi dunia yang menunggu kesempatan untuk meledak. Dan kita tidak bisa mengambil keputusan secara egois hanya dengan berlandasan keyakinan bahwa kesempatan itu tidak akan pernah datang. Kita tahu seberapa bahayanya mengumpulkan orang-orang radikal di satu tempat.
Untuk itu, kita harus benar-benar mempertimbangkan mana keputusan yang terbaik: apakah dengan menolak mereka dan berharap kesempatan untuk bom itu meledak tidak akan pernah terjadi atau dengan mencoba menjinakan bom itu dengan mengambil andil dalam menentukan masa depan mereka oleh dan di tangan kita?