Jumat, Maret 29, 2024

Black Mirror, Satire dan Ramalan Sistem Kehidupan

sintajkartika
sintajkartika
Sinta Johan Kartika. Lahir 21 Mei 1997. Alamat Jalan Prisma, Pojok, Tiyasan, Condongcatur, Yogyakarta. Saat ini menjadi mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta

Kemajuan teknologi dan modernisasi adalah sebuah keniscayaan. Ia muncul tidak bisa di-kendalikan, namun me-ngendalikan. Dua kalimat tersebut seolah mendukung bagaimana serial Netflix “Black Mirror”, merepresentasikan dan meramal kehidupan kaum urban di tengah kecanggihan teknologi.

Serial ini pertama kali dirilis pada tahun 2011. Berkat ide ceritanya yang unik dan penuh satire, Black Mirror mendapat perhatian besar dari khalayak, khususnya kaum urban modern. Kaum-kaum yang melek teknologi dan menjadikan Netflix sebagai pilihan terbaik untuk mengisi waktu luang.

Sang kreator, Charlie Brooker, mengaku menciptakan karya ini terinspirasi dari layar kaca pada ponsel yang berwarna hitam. Ada sesuatu yang dingin dan menakutkan dari cermin tersebut. Setiap episode Black Mirror mengusung tema teknologi terbarukan, kebanyakan diakhiri dengan plot twist. Kisah tentang bagaimana teknologi menjadi senjata makan tuan bagi para penggunanya.

Ada yang mengatakan bahwa sinetron atau cerita yang dikonsumsi masyarakat adalah gambaran dari kehidupan masyarakat itu sendiri. Nyatanya, anggapan tersebut benar berlaku untuk Black Mirror. Di luar ide ceritanya yang liar, serial ini seolah meramal sekaligus memberi peringatan pada kita semua.

Episode pertama pada season 3 (2016) dengan judul “Nosedive”,sepertinya perlu kita tengok dan perhatikan bersama. Ide serta problematika yang disuguhkan seakan menyindir kondisi masyarakat urban saat ini. Ketika kita menyaksikan bagaimana kisah Lacely pada film tersebut, kita akan melihat bagaimana nasib masa depan dari sistem kehidupan, karena teknologi.

Episode “Nosedive” menceritakan kondisi ketika kehidupan manusia diikat oleh adanya sebuah rating. Rating seperti yang kita kenal di AppStore atau PlayStore. Kualitas hidup masyarakat di lingkungannya diukur dengan seberapa tinggi peringkat yang mereka miliki. Semakin tinggi peringkat seseorang semakin banyak pula kemudahan hidup yang ia dapat. Pada serial ini, rating ditampilkan melalui sebuah teknologi sejenis smartphone.

Fenomena nilai manusia yang digambarkan pada “Nosedive” perlu kita sadari adalah gambaran dari bagaimana saat ini kaum urban menilai individu satu sama lain. Sebagai masyarakat modern, kita telah memasuki fase di mana masing-masing memiliki kemampuan, kebebasan, serta indikator yang tak sengaja tercipta untuk menghakimi orang lain. Memang tidak terlepas dari dampak teknlogi, media sosial, dan segala konten serta fiturnya.

Jika pada serial tersebut rating manusia disampaikan langsung dengan aplikasi khusus, di kehidupan nyata, kita memiliki teknologi dan media sosial seperti Instagram, Facebook, dan lain sebagainya. Hasil dari kecerdasan manusia telah membentuk kaum-kaum urban mudah memberikan penilain secara bebas dan hanya berdasar dari aspek-aspek terentu. Misalnya, kita menilai orang lain dari jumlah pengikut akun pribadinya di Instagram. Kita menilai dari kualitas konten yang mereka unggah di jejaring sosial.

Tidak bisa kita pungkiri, hal yang berkaitan dengan teknologi dan media sosial menjadi salah satu faktor masyarakat urban memutuskan dengan siapa mereka bergaul dan menjalin relasi. Faktor sederhana seperti jumlah like konten seseorang, seberapa mahal dan presitise barang yang mereka perlihatkan, sampai setinggi apa level teknologi yang dimiliki. Mereka yang tidak sesuai akan dianggap memiliki rating rendah, atau lebih mudahnya sebagai kelompok tertinggal.

Seperti “Nosedive”, di kehidupan kita pun orang dengan rating atau penilain tinggi akan dipermudah dalam banyak hal. Misal, karena seseorang terkenal di Instagram, memiliki banyak followers, ia mendapat perlakuan istimewa dari lingkungan masyarakat sekitar, khususnya hal berkenaan dengan materil.

Selain rating, hal yang perlu disoroti dari pesan serial ini, dan memang terjadi di dunia nyata adalah ketulusan. Lacely si tokoh utama yang memiliki rating 4,3 melakukan berbagai cara agar dapat menaikan angka tersebut. Banyak hal ia lakukan, sayangnya tanpa ketulusan. Lacely bersikap ramah pada orang lain, ia membranding dirinya sebagai sosok yang bahagia, ia mengunggah berbagai hal di jejaring sosialnya dengan kebohongan. Bukan hanya dari dirinya saja, hampir semua yang ada di lingkungan Lacely, tidak ada yang benar-benar tulus. Semua demi rating semata.

Tidak sulit menemukan fenomena sejenis Lacely di kehidupan saat ini. Demi citra yang baik di media sosial, seseorang terpaksa melakukan kebaikan, atau hal-hal yang dapat menarik hati orang lain. Pencitraan belaka tanpa ketulusan menjamur di kehidupan masyarakat perkotaan. Banyak aspek, mulai kebaikan sampai kualitas pribadi disetting hanya di depan kamera dan di halaman media sosial.

Peringkat, ketulusan, selanjutnya adalah privasi. Sama dengan awal masalah Lacely, lambat laun orang hanya akan memikirkan bagaimana meningkatkan peringkat mereka. Tidak ada batasan yang sangat berarti lagi. Hal-hal yang seharusnya tidak perlu dipublikasikan di dunia maya, terpaksa diunggah, demi konten dan daya tarik masyarakat lain kepada kita. Privasi akan meluntur dan semua yang diperlihatkan akan dianggap lumrah.

Walaupun dalam “Nosedive”, cerita berakhir menyeramkan, hingga saat ini dapat kita amati, bahwa dunia memang sedang menuju ke arah sana. Bahkan, dilansir oleh Wired, Tiongkok akan memberlakukan sistem rating bernama Social Credit pada tahun 2020. Lewat sistem ini, pemerintah akan mendata segala aktivitas dan pertemanan dalam hidup warganya, kemudian mengelompokkannya ke penilaian negatif-positif.

Teknologi, kecerdasan, dan modernisasi memang mustahil dilepaskan dari kehidupan masyarakat urban saat ini. Mobilitas yang tinggi, perkembangan, kebudayaan, hingga nilai sosial yang terus berubah, menjadi faktor mengapa teknologi, internet, dan media sosial lebih dipilih daripada hidup yang sesungguhnya. Kita masyarakat perkotaan secara sadar atau tidak, selalu dijejali dan dituntut berbagai hal yang baru. Hal yang belum tentu semuanya baik untuk diterima dan diterapkan.

Apa yang disampaikan Black Mirror “Nosedive”, hanyalah sebagian kecil dari banyaknya perubahan hidup manusia di masa yang akan datang. Jika semua yang menjangkit sistem kehidupan saat ini terus berlanjut, jika semua ramalan terbukti satu persatu, kita tidak akan bisa membayangkan seperti apa dunia di masa depan. Apakah jika berakhir sia-sia seperti  Lacely, sekarang kita akan duduk diam sebagai penonton dan menerima semuanya? Apakah kecerdasan otak manusia justru akan memperburuk dunia?

Rasanya hal pertama yang saat ini perlu kita lakukan adalah menyadari. Menyadari segala siklus kehidupan modern ini yang terus berlari entah kemana. Perubahan hanya akan terjadi setelah timbul kesadaran.

sintajkartika
sintajkartika
Sinta Johan Kartika. Lahir 21 Mei 1997. Alamat Jalan Prisma, Pojok, Tiyasan, Condongcatur, Yogyakarta. Saat ini menjadi mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.