Menjawab amanat Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 maka Indonesia merupakan negara yang berdiri sebagai negara hukum, sehingga hukum menjadi poin mendasar yang harus dipenuhi sebagai landasan berbagai aspek kehidupan bernegara, mulai dari aspek ekonomi, budaya, lingkungan, politik, hingga kehidupan masyarakat sehari hari.
Hukum menjadi sebuah pagar yang melindungi setiap orang dan menjaga nilai nilai bangsa. Hukum pidana menjadi hukum yang hidup berdekatan dengan masyarakat, sebab setiap orang dapat menjadi pelaku kejahatan ataupun menjadi korban kejahatan. Tugas hukum menjadi begitu penting untuk menjamin adanya keadilan, kebermanfaat, kepastian, dan kesetaraan.
Kerap kali penyandang disabilitas memperoleh perlakukan diskriminatif yang menjadikannya terkucilkan dari masyarakat. Melihat kasus yang sering terjadi di masyarakat seperti pembunuhan, perkosaan, pencurian, penipuan, hingga kekerasan dapat terjadi kepada siapapun dan dimanapun.
Hal ini merupakan momok yang mengerikan apabila terjadi kepada penyandang disabilitas terutama tuna wicara atau bisu sebab gangguan dalam berbicara akan mengakibatkan kendala komunikasi yang menjadikan penyandang disabilitas ini tidak memperoleh perlindungan hukum apabila menjadi korban kejahatan. Kesulitan komunikasi ini pula yang menjadikan seorang tuna wicara yang menjadi saksi diragukan keterangannya. Sehingga muncul sebuah pertanyaan, apakah tuna wicara dapat menjadi saksi dalam persidangan?
Peran negara dalam menjamin adanya perlindungan hukum bagi siapa saja menjadi sebuah kewajiban yang harus dipenuhi. Mendapatkan perlakuan yang sama dan mendapatkan pengakuan adalah bagian dari hak asasi manusia. Dalam hal ini Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) layaknya sebuah mata angin yang memberikan arahan perbuatan apa saja yang memenuhi unsur pidana sehingga akan memberikan kepastian hukum bagi korban dan pelaku.
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan peraturan pelaksana dari KUHP sehingga kehadiran KUHAP menjadi instrument penegakan hukum yang menerangkan mekanisme peradilan mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, persidangan, hingga putusan hakim.
Dalam menjatuhkan putusan hakim haruslah memenuhi Pasal 183 KUHAP yang menyatakan bahwa Putusan Hakim harus sekurang kurangnya memiliki dua alat bukti yang sah dengan diikuti keyakinan hakim, secara lebih lanjut dalam ketentuan pasal 184 telah disebutkan apa saja yang menjadi alat bukti.
Alat bukti yang sah ialah
- keterangan saksi;
- keterangan ahli;
- surat;
- petunjuk;
- keterangan terdakwa.
Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi, dalam ketentuannya yang tercantum dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP telah menjelaskan secara terang mengenai pengertian saksi. Keberadaan saksi menjadi salah satu aspek krusial dan penting sebab saksi akan memberikan keterangan yang akan digunakan sebagai pembuktian suatu tindak pidana selama peradilan sehingga keterangan saksi akan dinilai sebagai bukti.
Saksi korban adalah salah satu saksi yang wajib untuk memberika kesaksian sebab korban merupakan saksi yang akan pertama kali didengar. Hal ini dapat diketahui melalui Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP sehingga keterangan korban sebagai saksi adalah alat bukti yang sah dan diakui.
Negara telah mengakui keberadaan seorang difabel dalam ketentuan KUHAP sehingga keterangan saksi bisu telah dianggap sebagai alat bukti yang sah. Hal yang tercantum dalam Pasal 178 KUHAP yang menerangkan bahwa hakim ketua akan menunjuk penerjemah apabila seorang saksi bisu tidak dapat menulis, dan apabila saksi bisu dapat menulis maka pertannyaan akan diberikan secara tertulis dan dijawab oleh saksi bisu secara tertulis.
Pasal 178 KUHAP berbunyi
- Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penterjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu.
- Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan
Pasal ini menjadi landasan kuat bagi pengadilan untuk dapat memberikan kesempatan bagi saksi bisu untuk memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri. Tak terkecuali apabila saksi korban merupakan seorang difabel, sebab keterangan saksi korban merupakan alat bukti yang diakui. Pasal 178 merupakan pasal yang menjadi jaminan bahwa seorang tuna wicara dapat menjadi seorang saksi, sehingga perlindungan dan keadilan dapat dirasakan oleh semua kalangan tanpa memandang keterbatasan.
Sudah sepatutnya perlindungan hukum bagi semua kalangan menjadi kewajiban untuk dipenuhi bagi instrument penegak hukum. Meskipun negara telah menjamin keadilan dan kesetaraan, apabila dalam praktiknya masih terjadi diskriminasi maka hal ini merupakan PR utama untuk dapat dibenahi.