Senin, Juli 7, 2025

Bisakah Literasi Indonesia Bersaing dengan Negeri Tirai Bambu?

Muhammad Farhan
Muhammad Farhan
Mahasiswa komunikasi penyiaran Islam Surabaya
- Advertisement -

Ketika membuka media sosial, saya tidak sengaja melihat reels yang memperlihatkan anak-anak sekolah yang di atas mejanya penuh dengan tumpukan buku. Ketika saya mencoba menelusuri ternyata video itu berasal dari salah satu sekolah negeri tirai bambu yaitu negara China. Mendekati momen ujian sekolah, tumpukkan buku diatas meja itu seperti sudah menjadi tradisi di sekolah China ketika mendekati ujian. Tumpukkan buku itu bukanlah sebuah pajangan, melainkan memang benar-benar dibaca secara keseluruhan.

Lalu muncul pertanyaan di benak pikiran kita, itu kan banyak baca bukunya ketika menjelang ujian sekolah. Memang kalau diluar momen ujian, anak-anak muda di negeri China banyak baca buku? Ternyata pas diteluri diluar momen ujian, anak-anak muda China memiliki minat yang tinggi dalam membaca buku.

Dilansir dari Bank Dunia dipaparkan data bahwa tingkat literasi orang dewasa di China mencapai 97% pada tahun 2020. Sedangkan literasi pada kelompok usia 15-24 tahun mencapai 100% sejak tahun 2010 menurut Bank Dunia. Lalu bagaimana dengan survei UNESCO? Menurut UNESCO, tingkat literasi orang dewasa di China mencapai 96,74%. Sementara tingkat literasi pria 98,38%, wanita 95,05%. Sungguh angka yang tinggi bukan?

Kalau mencoba melihat literasi Indonesia. Rasanya angka sampai 90% keatas masih jauh. Sebab berdasarkan data UNESCO sendiri, minat baca Indonesia sangat memprihatinkan yaitu hanya 0,001%. Artinya dari 1.000 orang, hanya 1 orang saja yang rajin membaca. Miris sekali bukan? Melihat literasi Indonesia yang jauh dari negeri tirai bambu tentu hal ini menjadi pertanyaan besar. Bisakah Indonesia bersaing dengan negeri tirai bambu tersebut dalam hal literasi?

Untuk bersaing dalam hal literasi, Indonesia sebenarnya bisa-bisa aja bersaing dengan China. Sebab berdasarkan sumber dari Association for Asian, dahulu China pada masa Dinasti Qing banyak masyarakatnya tidak bisa membaca atau menulis. Beberapa cendekiawan menyebutkan bahwa tingkat literasi mungkin hanya sekitar 30% atau kurang. Faktor-faktor rendahnya literasi pada masa itu sebabkan oleh sistem pendidikan yang terbatas, fokus pada hafalan daripada pemahaman, dan struktur sosial yang hierarkis turut berkontribusi pada rendahnya tingkat literasi negeri tirai bambu tersebut. Lalu apa yang membuat negeri tersebut bisa bangkit dan meningkat literasinya?

Salah satu faktor China bisa bangkit dan meningkat literasinya karena kesadaran akan pentingnya sebuah literasi dalam membangun negeri. Kesadaran itu menciptakan reformasi pendidikan yang dilakukan besar-besaran oleh pemerintah. Akses buku diperluas, sistem pengajaran diperbaiki. Sekolah dan universitas tidak lagi hanya menekankan hafalan, tetapi juga membentuk nalar kritis dan daya riset. Literasi tidak lagi berhenti di permukaan saja, dalam hal ini sekedar membaca. Tetapi literasi digunakan sebagai alat membangun fondasi sains, teknologi, dan penelitian.

Inilah titik baliknya. China tidak hanya mengajarkan rakyatnya untuk membaca, tetapi juga melakukan riset terhadap apa yang dibaca. Makanya tidak heran di era modern ini, kita melihat China sekarang sudah sangat jauh dari Indonesia. China sekarang sudah menghasilkan berbagai macam teknologi canggih seperti mobil terbang, robot berbasis AI dan lain-lain. Hal itu bisa China lakukan karena mereka membaca bukan hanya sekedar membaca, tetapi juga melakukan riset mengenai apa yang dibaca.

Lalu kembali lagi pada pertanyaan sebelumnya. Bisakah Indonesia bersaing dengan negeri tirai bambu dalam hal literasi? jawabanya bisa. Namun masalah literasi kita pada hari ini sebabnya adalah kurangnya kesadaran bersama akan pentingnya literasi sebagai alat pembangunan bangsa. Masalah inilah yang perlu diatasi. Dengan cara mengubah mindset kita bahwa literasi itu sangat penting untuk memajukan bangsa.

Kita terlalu lama memandang membaca hanya sebagai syarat akademik, bukan sebagai kekuatan untuk menciptakan pengetahuan. Sekolah masih banyak yang menjadikan membaca sekadar tugas, bukan kebutuhan. Padahal jika kita mencontoh semangat China, membaca itu bukan hanya sekedar membaca, tetapi mereka juga sudah melakukan riset terhadap apa yang mereka baca.

Di sinilah perbedaan terbesar antara literasi China dan Indonesia. Mereka menjadikan literasi sebagai jalan untuk mengembangkan riset dalam hal teknologi. Sedangkan kita masih menjadikan literasi sebagai sekadar budaya kampanye. Negeri tirai bambu tidak berhenti di angka literasi tinggi. Mereka mengarahkan literasi itu ke arah riset untuk bisa menghasilkan berbagai inovasi.

- Advertisement -

Bukti literasi China dikembangkan ke arah riset, kini kita bisa lihat China menjadi negara dengan jumlah publikasi ilmiah terbanyak di dunia, bahkan sekarang sudah melampaui Amerika Serikat. Berdasarkan laporan Institute of Scientific and Technical Information of China (ISTIC), China berhasil mempertahankan posisinya sebagai negara dengan jumlah publikasi ilmiah berkualitas tinggi, bahkan tertinggi di dunia, yaitu mencapai 48,4% dari total publikasi global. China berhasil mempublikasikan 2.071 hot paper hingga Juli 2024, sementara AS berada di posisi kedua dengan 1.625 publikasi.

Artinya, literasi yang tidak ditransformasikan menjadi riset akan berhenti sebagai hiasan statistik. Di sinilah Indonesia harus berbenah. Meningkatkan literasi bukan hanya untuk sekedar tahu, tapi agar bisa menghasilkan ilmu, menjawab tantangan zaman, dan menciptakan solusi-solusi untuk membangun bangsa.

Melihat kondisi Indonesia yang ketertinggalan bukan berarti kita harus rendah diri. Sebaliknya, kita harus sadar bahwa kita juga punya kekuatan. Berdasarkan Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah penduduk kita mencapai 284 juta jiwa. Jika sebagian besar dari mereka terlatih dalam membaca, menulis, dan melakukan riset dari apa yang mereka baca, maka kita bisa menjadi negara yang unggul dalam banyak hal. Seperti pendidikan, teknologi, hingga ekonomi kreatif.

Tinggal hal yang paling utama dibutuhkan adalah kesadaran akan pentingnya sebuah literasi dalam membangun negeri. Saat ini kita hidup di era global yang sangat kompetitif. Negara yang unggul bukan lagi negara yang sekedar punya sumber daya alam melimpah, tetapi negara yang memiliki semangat riset dari apa yang mereka baca. China sadar betul akan pentingnya literasi bagi bangsanya. Mereka tidak hanya mendorong rakyatnya untuk membaca, tapi juga untuk menulis, berpikir, dan menemukan hal-hal baru dari apa yang mereka baca.

Jika hari ini kita sebagai bangsa Indonesia tidak segera mengejar, maka jurang ketertinggalan akan makin lebar. Tapi jika kita mulai hari ini dengan membangun budaya baca, mendorong literasi kritis, dan menanamkan semangat riset dalam membaca, maka kita pasti bisa menyusul, bahkan bersaing dengan bangsa besar tersebut. Namun itu kembali kepada keputusan kita, apakah kita ingin membangun negeri ini dengan meningkat literasi atau tidak.  Sebagaimana Allah sampaikan dalam QS. Ar-Ra’d ayat 11, yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”

Muhammad Farhan
Muhammad Farhan
Mahasiswa komunikasi penyiaran Islam Surabaya
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.