Senin, April 29, 2024

Biosentrisme Sebagai Konsep Filosofis, Bukan Sains

Fadlan Adlan
Fadlan Adlan
Freelance Writer

Biosentrisme adalah konsep yang pertamakali diajukan pada tahun 2007 oleh Robert Lanza, seorang ahli di bidang kedokteran regeneratif dan biologi. Biosentrisme menyatakan bahwa kehidupan dan kesadaran merupakan hal yang paling fundamental di alam semesta – kehidupan lah yang menciptakan alam semesta dan bukan sebaliknya.

Dari sudut pandang biosentrisme, ilmu biologi lebih unggul daripada ilmu lainnya karena menurut Lanza, disiplin ilmu lain tidak akan dapat dimengerti tanpa pemahaman yang dalam tentang hakikat kehidupan dan kesadaran. Dalam fisika, misalnya, Lanza menegaskan bahwa Theory of Everything hanya bisa dicapai jika unsur dasar alam – materi, ruang dan waktu – dilihat melalui lensa biosentris.

Lanza awalnya menerbitkan gagasannya ini dalam sebuah artikel di The American Scholar pada tahun 2007. Kemudian pada 2009, Lanza dan astronom Bob Berman menerbitkan buku pertama mereka yang berjudul “Biocentrism: How Life and Consciousness Are the Keys to Understanding the True Nature of the Universe”. (Mengenai ringkasan buku ini,  bisa dilihat di majalah Discover)

Lanza mengklaim bahwa waktu dan ruang pada dasarnya itu tidak ada. Dalam wawancaranya bersama Wired, dia berkata:

“Ada sesuatu yang sangat tidak biasa tentang ruang dan waktu. Kita tidak bisa memasukkannya ke dalam toples selai jeruk dan membawanya kembali ke laboratorium untuk dianalisis. Ruang dan waktu bukan lah objek atau benda — melainkan persepsi.”

Ini adalah konsep yang sangat menantang bagi para fisikawan karena ini bertentangan dengan Relativitas Umum Einstein, yang menyatakan bahwa waktu merupakan salah satu bagian dalam struktur kosmos.

Mayoritas saintis meyakini objektivitas ruang dan waktu yang mereka sebut dengan ruang-waktu. Oleh karena itu gagasan bahwa ruang dan waktu bersifat subjektif sangat tidak biasa. Bahkan bagi orang awam seperti saya pun akan menganggapnya aneh jika berpikir bahwa ruang dan waktu sebagai konstruksi mental yang tidak bereksistensi secara independen.

Namun Lanza, untuk menguatkan pandangannya, merujuk pada filsuf seperti Descartes, Kant, Berkeley, dan Schopenhauer yang menekankan pentingnya kesadaran dalam memahami realitas. Kant, misalnya, berpendapat bahwa waktu adalah sebuah konstruksi mental – dia menggambarkannya sebagai “indra batin” dan berargumen bahwa waktu bersifat apriori (naluri dan bagian dari cara kerja pikiran). Bagi Kant, waktu ada di dalam kepala kita, bukan di luar. Waktu tidak berada di dunia fisik karena waktu tidak memiliki atribut fisik seperti bentuk, ukuran, posisi, kecepatan, dll:

“Pikiran akan menipu dirinya sendiri dengan berpikir bahwa benda-benda di sekitarnya berada dalam waktu. Kita berpikir bahwa karena kita mempunyai kata untuk waktu, maka waktu ada di sekitar kita. Sejatinya waktu tidak berada di sekitar kita, kita hanya melihat segala sesuatu di sekitar kita dalam bentuk waktu. Waktu adalah sebuah pemikiran.”

Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa biosentrisme Lanza lebih mirip seperti sebuah konsep filosofis alih-alih hipotesis ilmiah. Di sisi lain, fakta bahwa pengalaman subjektif kita terhadap waktu sangat  bervariasi menunjukkan bahwa waktu, dalam arti tertentu, subjektif dan bergantung pada kesadaran kita, misalnya tentang distorsi waktu.

Distorsi waktu merupakan pengalaman umum yang kita rasakan seolah-olah kita berada di bawah pengaruh obat-obatan psikedelik; beberapa momen terasa cepat, namun di momen lainnya terasa seperti sangat lama, dan setiap menitnya terasa seperti berbulan-bulan. Meskipun Einstein menetapkan bahwa ruang dan waktu adalah relatif dan tidak absolut (seperti yang diusulkan Newton), hal ini tidak berarti bahwa keduanya tidak berdiri sendiri. Di sini Lanza terkesan menyamakan relativitas dengan subjektivitas.

Lanza yakin bahwa biosentrisme dapat menawarkan sudut pandang yang tepat ke dalam banyak fenomena-fenomena misterius dalam fisika, seperti ‘Uncertainty Principle’ atau Prinsip Ketidakpastian Heisenberg, yang menyatakan bahwa semakin akurat kita mengukur kecepatan suatu partikel, semakin meleset pula prediksi kita akan posisi partikelnya, begitu pula sebaliknya.

Lebih jauh, Lanza juga mengklaim bahwa biosentrisme dapat memberikan jawaban terhadap ‘efek pengamat’ dalam fisika kuantum seperti yang dibuktikan dalam ‘double-split experiment’ atau eksperimen celah ganda, di mana pengamat yang mengamati lintasan elektron melalui celah ganda dapat mempengaruhi posisi dan sifat partikel.

Teka-teki ketiga yang menurut Lanza bisa dijelaskan dari sudut pandang biosentrisme adalah apa yang disebut dengan ‘fine-tuning problem’ atau masalah kesesuaian, yang mana kita menemukan bahwa gaya, konstanta, dan hukum alam semesta tampak seolah menyesuaikan dirinya demi mendukung keberlangsungan kehidupan biologis.

Buku Lanza dan Bermann yang saya sebutkan di atas setidaknya memuat tujuh prinsip yang menjadi pokok atau inti biosentrisme, salah satunya premis bahwa persepsi eksternal dan internal saling terhubung dan bahwa persepsi kita tentang realitas adalah “sebuah proses yang melibatkan kesadaran kita.” Namun ada pula beberapa hal yang cukup kontroversial, salah satunya adalah premis bahwa kesadaran harus ada dan bahwa tanpa kesadaran, “materi berada dalam keadaan kemungkinan yang tidak dapat ditentukan”.

Berkenaan dengan premis pertama, satu permasalahannya adalah asumsi bahwa kesadaran merupakan unsur fundamental dari realitas. Ini adalah asumsi yang sangat antroposentris. Alam semesta akan tetap ada meskipun tidak ada makhluk sadar yang berevolusi di salah satu planetnya. Masalah lain dari prinsip ini adalah bahwa materi akan berada dalam keadaan yang tidak dapat ditentukan, dalam wilayah kemungkinan, kecuali jika ada kesadaran yang mengamatinya. Jika hal ini benar, berarti sebelum kehidupan biologis dan kesadaran berevolusi di alam semesta, semua materi berinteraksi secara probabilistik.

Kemudian Lanza berpendapat bahwa alam tidak mungkin berjalan tanpa adanya kesadaran. Pandangan Lanza di sini mirip dengan idealisme radikal Berkeley atau yang dikenal dengan idealisme subjektif, yang mengatakan bahwa realitas tanpa adanya pikiran itu tidak ada, sebaliknya realitas bergantung pada eksistensi kesadaran yang mempersepsikannya (esse est pircipi). Seperti yang dikatakan Lanza dalam sebuah wawancara, “Jika kita memisahkan kesadaran dari alam semesta, tidak akan ada kenyataan.”

Lanza memberikan contoh bahwa jika tidak ada pengamat yang melihat pohon, maka pohon tersebut tidak akan memiliki sifat yang pasti; atau dalam kata-katanya sendiri: “Pohon tersebut terjebak dalam samudera kemungkinan-kemungkinan”. Pandangan ini jelas bertumpu pada mekanika kuantum. Memang benar bahwa di dunia sub-atomik, partikel berperilaku secara probabilistik, namun, perlu dicatat, ketika kita (sebagai pengamat) melihat sesuatu dalam skala yang besar (seperti ukuran pohon tadi), materi pohon mematuhi hukum deterministik.

Lebih jauh lagi, Lanza menyamakan ‘pengamat’ dengan ‘kesadaran’. Padahal dalam interaksi partikel di level kuantum, pengamat juga bisa menjadi alat yang mencatat atau mengukur partikel, yang pada akhirnya menyebabkan runtuhnya keadaan probabilistik menjadi keadaan yang dapat ditentukan. Singkat kata, kesadaran tidak diperlukan dalam mekanika kuantum – lingkungan yang tidak berkesadaran sendiri pun bisa bertindak sebagai ‘pengamat’ sehingga interaksi materi dengan materi dapat menciptakan objek dengan kualitas tertentu.

Kedua, meskipun tidak ada pengamat, pohon tetap bisa menjadi pohon. Meskipun kualitas-kualitasnya seperti warna mungkin tidak akan bertahan (karena bergantung pada persepsi indra), sifat-sifat pohon yang lebih mendasar (yang oleh John Locke sebut sebagai sifat-sifat primer) akan tetap ada. Sifat-sifat primer ini bisa berupa ukuran, posisi, dll.

Filsuf Daniel Dennett pernah mempertanyakan posisi biosentrisme – apakah ia dapat dianggap sebagai teori atau tidak, bahwa “Biosentrisme sepertinya merupakan kebalikan dari sebuah teori, karena dia sama sekali tidak menjelaskan bagaimana kesadaran terjadi.”

Saya setuju. Biosentrisme tidak menjelaskan bagaimana kesadaran menciptakan alam semesta – sehingga ini bukanlah ide yang berguna. Lanza juga tidak pernah mendefinisikan kesadaran dengan jelas – dia terkesan menggunakan kata kesadaran dalam arti yang berbeda pada saat-saat yang dianggap tepat.

Kesadaran seperti apa yang menciptakan alam semesta ini? Yang pasti itu bukan kesadaran hewan atau manusia. Jadi di manakah sebenarnya kesadaran ini berada? Dari mana asalnya? Dan bagaimana kesadaran tanpa tubuh materi dapat menciptakan alam semesta yang materi? Lanza memasuki wilayah yang semi-religius dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Terlebih lagi, pandangan Lanza juga mirip dengan filsafat idealisme monistik, yang mengatakan bahwa kesadaran adalah segalanya.

Fisikawan dan skeptis terkenal, Lawrence Krauss, pernah mengatakan: “Ini (biosentrisme) mungkin mewakili gagasan filsafat yang menarik, tetapi pada akhirnya ia tidak akan mengubah apa pun tentang sains.” Fisikawan teoretis David Lindley juga mengkritik esai Lanza di The American Scholar, berkomentar bahwa konsep Lanza adalah “metafora yang kabur dan tidak jelas”.

Lanza, menurut saya, menggunakan sains dengan cara yang dangkal untuk mempromosikan mistisisme mereka sendiri. Mereka membungkus gagasan spiritual dalam bahasa sains. The Daily Mail pada 2013 bahkan menerbitkan artikel yang sensasional tentang pandangan Lanza dengan judul “Quantum physics proves that there IS an afterlife, claims scientist”. Penulis artikel ini jelas tidak mengerti apa yang dimaksud dengan ‘bukti’, tapi begitulah, namanya juga The Daily Mail.

Pandangan biosentris Lanza tentang alam semesta tidak membenarkan atau bahkan membuktikan adanya kehidupan setelah kematian. Lanza menggunakan teori multiverse untuk menyatakan bahwa ketika kita mati, kita mungkin saja berada di tempat lain di alam semesta yang berbeda. Dia mengungkapkan pandangannya tentang biosentrisme dan kematian dalam sebuah artikel di Psychology Today. Bagi Lanza, kematian adalah sebuah ilusi. Mengacu pada gagasan multiverse dan penafsiran Many Worlds tentang mekanika kuantum (yaitu apa pun yang bisa terjadi, pasti terjadi), dia percaya bahwa kematian bukanlah akhir dari kehidupan seseorang.

Namun sekali lagi, Lanza jelas menyalahgunakan konsep ilmiah untuk mendukung pandangan filosofisnya. Dia menggambarkan kehidupan “seperti bunga abadi yang kembali mekar di alam semesta”. Pernyataan yang sangat puitis. Namun, hanya karena alam semesta ada dalam jumlah tak terhingga, bukan berarti setelah kematian, saya akan ‘terbangun’ di alam semesta lain. Kematian adalah akhir, suka ataupun tidak suka.

Fadlan Adlan
Fadlan Adlan
Freelance Writer
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.