Kamis, April 18, 2024

Bibit dan Ladang Rasisme Kita

Lulukchoi
Lulukchoi
Ibu rumah tangga yang suka menulis tentang psikologi dan pengasuhan anak

“Cari suami orang Jawa ya, nduk. Agar hidupmu mudah,” kata Bapak kepada saya.

“Lho kenapa begitu, pak?” Tanya saya gak mudeng.

“Hampir semua orang Jawa itu masih keturunan keraton. Lagipula mereka itu tekun, ulet, rajin dan nrimo.”

“Terus gimana kalau jodohku bukan orang Jawa? Kan Tuhan yang mengatur jodoh, pak.”

“Usahakan dapat jodoh orang Jawa dulu. Kalau gak dapat, ya udah.”

Gara-gara kehebohan rasisme yang terjadi di Amerika sekarang ini, saya jadi ingat obrolan itu. Obrolan yang terjadi ketika saya masih remaja, puluhan tahun lalu. Waktu itu saya terima saja kata-kata Bapak itu tanpa protes bahwa itu rasisme atau apalah.

Pikiran saya masih sederhana sekali, belum kenal apa itu rasisme. Lagipula, kemungkinan saya dapat suami orang di luar suku Jawa juga kecil, wong lingkungan saya waktu itu hanya ada orang Jawa, Madura dan China. Entah kenapa Bapak gak menyuruh saya mencari suami orang Madura atau China, padahal nenek saya dari Madura dan kakek saya dari Lasem yang hampir 100% ada darah Chinanya.

Akhir-akhir ini, dunia memang sedang dihebohkan dengan demo-demo tentang rasisme yang dipicu oleh kematian George Floyd, seorang warga negara Amerika keturunan Afrika yang berkulit hitam, dimana kematiannya diduga dilakukan oleh polisi berkulit putih. Kekerasan yang sempat terekam video itu seolah menguak lagi luka lama tentang rasisme di Amerika, yang telah memicu perang saudara di tahun 1861-1865.

Tapi kita gak usah jauh-jauh ke amrik sono deh, kita ini pun rasis lho. Ngaku aja lah. Orang dari suku Jawa pasti lebih pilih bergaul dan menikah dengan sesama suku Jawa, orang Sunda dengan orang Sunda, orang China dengan orang China, dst. Percakapan saya dengan Bapak di atas sudah memperlihatkan dengan konkrit bagaimana rasisme dibangun sejak kecil di seluruh sendi kehidupan kita.

Kenapa begitu? Menurut saya karena generalisasi stereotipe. Beberapa orang dari suku tertentu pelit, maka seluruh anggota suku itu pun dianggap pelit. Beberapa orang dari suku tertentu itu kasar, maka seluruh anggota suku itu pun dianggap kasar.

Generalisasi stereotipe ini sudah diwariskan turun temurun dari nenek moyang kita sehingga menjadi ‘kitab’ kehidupan yang dipakai oleh anak keturunannya.

Padahal namanya pelit atau kasar itu gak ada hubungannya dengan suku. Ini berhubungan dengan perilaku yang dicontohkan di masa kecil, baik dari orangtua maupun lingkungan, dan diterima oleh anak-anak sebagai sebuah kebenaran. Hampir setiap anggota suku akan membentuk perilaku yang sama dengan perilaku masyarakat di sekitarnya karena pengkondisian dan tekanan sosial dari lingkungannya.

Contoh: Anak kecil belum paham akan kalimat kasar. Mereka menganggap semua kalimat adalah netral, gak ada yang kasar atau halus. Maka ketika semua orang di sekitarnya berperilaku dengan kalimat kasar, dia pun akan menganggap kalimat kasar adalah hal yang wajar dan berperilaku sama. Kalau perilakunya berbeda, dia akan dianggap aneh dan tekanan sosial pun akan menghampirinya, membuat dia terpaksa berperilaku seperti lingkungannya.

Tapi sebenarnya saklar masalah mendasar yang sangat berpengaruh dalam hal ini adalah masalah ekonomi. Perbedaan kelas ekonomi melahirkan banyak konflik yang pada akhirnya jadi merembet ke masalah rasisme dan agama. Lihat saja bagaimana perbedaan ekonomi dan pendidikan antara masyarakat kulit putih dan kulit hitam di Amerika atau China dan non China di negara kita.

Ketika kebutuhan ekonomi ini jomplang, ada si kaya banget dan si miskin banget, dalam benak si miskin akan timbul ketidakpuasan yang mendorong munculnya kekecewaan kepada si kaya.  Hal kedua yang muncul dalam benak si miskin setelah kekecewaan adalah ciri fisik si kaya itu, karena ciri fisik inilah yang paling mudah dikenali oleh mata.

Maka terbentuklah stereotipe baru di pikiran si miskin bahwa orang dengan ciri fisik tertentu semuanya kaya dan pasti jahat. Ketika dia bertemu orang dengan ciri fisik yang sama tapi gak kaya, masih ada sisa penghakimannya yaitu jahat. Maka, meski orang dengan ciri fisik yang sama itu gak kaya, dia tetap menganggap orang itu jahat.

Benarkah mereka jahat?

Adalah hal yang wajar kalau seseorang ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, bukan? Dan kita gak bisa bilang itu egois karena semua orang, termasuk anda dan saya, begitu, bukan? Kita hanya merasa gak puas karena melihat orang lain kaya sedangkan kita miskin. Karena gak puas, lalu timbullah kecewa.

Ketidakpuasan dan kekecewaan ini sebenarnya bukan tidak puas dan kecewa kepada si kaya, tapi tidak puas dan kecewa kepada diri sendiri. Kok aku miskin sih, gak seperti dia yang kaya? Nah, ini artinya masalahnya bukan di orang lain, tapi di diri kita sendiri.

Akan tetapi, alih-alih menyadari masalahnya ada di diri kita sendiri, kita malah menuding orang lain yang salah dan menujukan ketidakpuasan dan kekecewaan kita itu ke orang lain.

Mbelgedhes banget ya.

Tenang, saudara-saudara. Masih ada yang bisa kita lakukan, kok.

Rasa tidak puas dan kecewa kita ini energinya kuat sekali. Lihat saja bagaimana ekspresi pendukung tim sepak bola yang kalah. Seringkali kursi-kursi stadion hancur hanya karena para pendukungnya meluapkan ketidakpuasan dan kekecewaan, bukan? Bahkan sudah berkali-kali terjadi pertandingan tanpa penonton untuk mencegah keributan antar pendukung.

Kalau arahnya positif, rasa tidak puas dan kecewa akan membuat kita terpacu semangat ingin kaya dan berusaha menjadi kaya juga. Tapi kalau arahnya ke negatif, rasa yang muncul adalah rasa iri, yang bila makin kuat berubah menjadi dengki dan akhirnya menjadi benci.

Maka semua tergantung kita. Kalau kita bisa mengarahkan energi ketidakpuasan dan kekecewaan itu menjadi energi untuk mengubah diri kita menjadi lebih baik, hasilnya akan positif-positif saja. Tentu saja ini gak mudah, butuh keberanian besar, kerja keras dan tekad kuat, tetapi bukan gak mungkin, kan? Lain cerita kalau kita hanya berani menjadi pengiri dan pembenci.

Kita sudah sering melihat artis-artis kulit hitam yang sukses menjadi penyanyi, pembawa acara, model dan banyak lagi, bukan? Bahkan di dunia yang sepertinya sangat mementingkan penampilan, orang-orang kulit hitam juga bisa berjaya. Saya yakin di hati mereka juga ada ketidakpuasan dan kekecewaan, tetapi mereka menanggapinya dengan cara positif, bukan malah menjadi pengiri dan pembenci.

Ini artinya, menjadi rasis itu sebenarnya gak apa-apa kalau arahnya positif. Kalau kita bisa menjadikan bibit rasisme yang subur ini menjadi pemacu untuk kita menjadi lebih baik dari kita sekarang. Kalau kita bisa menyemai bibit rasisme itu di ladang harapan untuk mengubah nasib kita sendiri.

Lulukchoi
Lulukchoi
Ibu rumah tangga yang suka menulis tentang psikologi dan pengasuhan anak
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.