Sudah sejak lama saya bermimpi untuk diajar langsung oleh pemikir besar Mesir yang satu ini. Sejak duduk di bangku strata satu, saya termasuk penikmat tulisan-tulisannya yang segar dan mencerahkan itu.
Kendati bercorak filosofis, tulisan-tulisan beliau masih tergolong mudah untuk dikunyah oleh orang-orang yang kemampuan linguistiknya rendah. Gaya tulisannya terstruktur rapi, bahasanya mudah, racikan argumen yang disajikan pun terasa renyah.
Zaqzuq termasuk salah satu sarjana Mesir yang layak diperhitungkan. Menurut Musthafa Labib, pakar filsafat terkemuka Mesir, Zaqzuq termasuk salah satu tokoh kontemporer Mesir yang mampu menerjamahkan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dengan baik.
Tak hanya berbekal penguasan turats keislaman yang memadai, tokoh yang pernah menjadi Menteri Wakaf Mesir ini juga memiliki wawasan yang luas mengenai korpus kesarjanaan Barat.
Nama lengkapnya Mahmud Hamdi Zaqzuq. Lahir pada tanggal 28 Desember 1933 di Provinsi Daqahliyah. Pendidikan S1 sampai S3-nya ia selesaikan di Fakultas Bahasa Arab, Dept. Ilmu-ilmu Filsafat, Universitas al-Azhar.
Setelah lulus beliau mengajar di Universitas yang sama. Lalu, selang beberapa tahun kemudian, ia dan empat mahasiswa al-Azhar lainnya ketika itu mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi post-doctoral ke negeri Jerman.
Tahun 1968 ia meraih gelar doktor dari Universitas Munchen dalam bidang Filsafat Barat. Disertasinya yang mengulas tentang metode Filsafat al-Ghazali dan Rene Descartes mendapat sambutan hangat dari sejumlah sarjana terkemuka Eropa pada waktu itu.
Sepulang dari Jerman, Zaqzuq aktif mengajar dan menempati sejumlah posisi sentral di al-Azhar. Ia pernah menjadi Dekan Fakultas, Rektor, Anggota Dewan Ulama Senior, Ketua Majlis ‘Ala, Anggota Majma Buhuts al-Islamiyyah, Ketua Jam’iyyah Falsafiyyah Mishriyyah, Ketua Bait al-‘Ailah, Ketua Pusat Dialog Antar Agama, Menteri Wakaf Mesir (selama 15 tahun) dan sejumlah jabatan penting lainnya.
Beliau juga pernah diundang ke Berlin, Stuttgart, Koln, Hannover, Sorbonne, Napoli, Viena, Zurich, Barcelona dan kota-kota lainnya untuk mengisi seminar seputar isu-isu keislaman dan dialog antar peradaban.
Kiprah intelektualnya mengingatkan kita pada sosok Cak Nur dan Gus Dur yang concern memperjuangkan nilai-nilai pluralisme, toleransi, kebebasan berpikir dan isu-isu sejenisnya.
Setumpuk jabatan yang diembannya tak menghalangi beliau untuk terus berkarya dan mendidik generasi muda. Tak kurang dari 25 buku sudah ia tulis, di samping puluhan makalah yang beliau sampaikan di berbagai seminar. Di antara karya-karyanya:
[1] Al-Istisyraq wa al-Khalfiyyah al-Fikriyyah li al-Shira’ al-Hadhariy. [2] al-Manhaj al-Falsafiy baina al-Ghazali wa Dekart. [3] al-Din wa al-Falsafah wa al-Tanwir. [4] Tamhid li al-Falsafah. [4] Al-Din wa al-Hadharah. [5] Haqaiq Islamiyyah fi Muwajahat Hamalat al-Tasykik. [6] Dirasat fi al-Falsafah al-Haditsah. [7] Muqaddimah fi ‘ilm al-Akhlaq.
[8] al-Islam fi Mirat al-Fikr al-Gharbiy. [9] al-Islam fi Ashr al-‘Aulamah. [10] al-Hadharah Faridhah Islamiyyah. [11] al-Islam wa Qadhaya al-Hiwar. [12] al-Islam wa al-Gharb. [13] Humum al-Ummah al-Islamiyyah. [14] al-Insan wa al-Qiyam fi al-Tashawwur al-Islamiy. [15] al-Islam fi Tashawwurat al-Gharb. [16] al-Islam wa Musykilat al-Muslimin fi almaniya. [17] al-Islam wa Qadhaya al-‘Ashr. [18] al-Islam wa Qadhaya al-Insan.
[19] Maqashid al-Syariah al-Islamiyyah wa Dharurat al-Tajdid. [20] Mafatih al-Hadharah wa Tahaddiyyat al-‘Ashr. [21] al-Fikr al-Diniy wa Qadhaya al-Ummah al-Islamiyyah. [22] al-Muslimun fi Muftaraq al-Thuruq. [23] al-Fikr al-Diniy wa Qadhaya al-‘Ashr. [24] Al-Din li al-Hayah. [25] Hawamisy ‘ala Azmat al-Fikr al-Islamiy al-Mu’ashir, dan buku-buku lainnya.
Tidak Memperjualbelikan Ilmu
Banyak hal yang saya pelajari dari sosok yang satu ini. Dari mulai kedisiplinan, ketekunan, keikhlasan, dan yang paling mengesankan ialah dedikasinya yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan.
Dalam buku biografinya, Rihlat Hayah, ia bercerita bahwa selama keliling dunia Arab dan Eropa beliau tak pernah sekalipun menerima uang honor dari ceramah-ceramah yang beliau sampaikan. Apapun dan bagaimanapun kondisinya beliau tidak mau menerima. “Itu sudah menjadi prinsip hidup saya.” Tegasnya.
Ada satu kisah menarik yang pernah beliau ceritakan ketika mengisi seminar di Malaysa. Beliau diundang ke sana bersama para sarjana yang lain. Singkat cerita, setelah acara selesai, seorang Menteri Agama di negara di sana mendatangi beliau untuk menyerahkan amplop yang isinya berupa uang tunai sebesar 1000 USD.
Tapi uang sebesar itu beliau tolak. Dan itu bukan penolakan yang pertama. Karena ditolak, pihak panitia seminar mungkin merasa tidak nyaman dengan beliau. Mereka mengira kalau uang itu terlalu kecil untuk sekelas Zaqzuq. Akhirnya nominal uangnya ditambah.
Tapi apa yang terjadi? Alih-alih menerima, beliau malah menjawab: “Nggak, saya bukannya tidak mau menerima. Ini sudah menjadi prinsip hidup saya. Bagi saya, ilmu tidak layak diperjualbelikan (la yuba’ wa la yusytara). Meskipun saya sangat menghormati orang-orang yang mencari rizki melalui ilmunya.”
Saya tersentuh sekaligus malu dengan jawaban beliau ini. Hampir jarang rasanya kita menemui orang-orang seperti itu di zaman sekarang. Orang-orang yang mewakafkan dirinya untuk Agama, bukan mewakafkan Agama untuk dirinya.
Sebetulnya Agama sendiri tidak melarang kita untuk mencari nafkah melalui ilmu yang kita miliki. Tapi, di dunia ini, kita melihat orang-orang tertentu yang memandang ilmu sebagai barang mahal yang tak bisa dibayar dengan uang.
Meneladani orang-orang seperti itu jelas bukan perkara mudah. Saya sendiri tidak tahu, apakah saya bisa menjadi orang seperti itu atau tidak. Yang jelas, orang seperti beliau adalah orang teladan, sekalipun keteladanan itu sangat sulit untuk kita amalkan.
Kairo, Kampus al-Azhar, 11 November 2017.