Kabinet jilid II Presiden Joko Widodo baru saja diumumkan. Konsisten dengan tema kampanye dalam pemilu 2019 lalu, kabinet ini diberi nama Indonesia Maju. Untuk menyongsong visi dari kabinet ini, Nadiem Makarim ditunjuk sebagai menteri pendidikan dan kebudayaan.
Sosoknya yang merupakan generasi milenial, lekat dengan dunia teknologi dan inovasi barangkali menjadi alasan mengapa figurnya dibutuhkan di sektor pendidikan agar dapat mengantisipasi dan menyiapkan keahlian-keahlian yang akan sangat dibutuhkan di masa depan 5.0.
Respon publik pun bermunculan dengan cepat di jagad maya, terutama di media sosial Twitter. Nama Nadiem bertengger menempati daftar topik teratas yang ngetren diperbincangkan (trending topic) — sesaat setelah pengumuman kabinet dilakukan oleh presiden Jokowi. Dari apa yang dicuitkan oleh warganet di Twitter, kita akan banyak mendapati reaksi warganet yang menghibur tentang bagaimana mereka membayangkan perubahan yang akan terjadi dalam dunia pendidikan di tangan Nadiem.
Beberapa di antaranya menulis status jenaka terkait gebrakan-gebrakan yang akan dibuat, seperti pembayaran biaya pendidikan melalui dompet digital, pengembalian uang SPP (cashback), layanan transportasi yang aman untuk anak-anak sekolah, hingga sistem penilaian guru atau dosen oleh peserta didik pasca pengajar memberikan pengajaran di kelas.
Kendati terdengar seperti candaan belaka, ungkapan-ungkapan spontan, jujur dan santai ini sesungguhnya menunjukkan bagaimana publik memiliki kesadaran yang besar akan lanskap pendidikan yang berubah karena derasnya arus perkembangan teknologi dan informasi.
Kesadaran semacam ini yang mendasari mengapa harapan publik meningkat terhadap pengelolaan pendidikan di zaman yang serba terotomatisasi. Mengutip Sperber (1996), status, meme dan berbagai konten multimedia yang terkesan banal (recehan) justru merepresentasikan aspirasi terdalam dari pikiran seseorang.
Begitu pun dengan harapan dan antusiasme yang mencuat ke linimasa —secara implisit— terbaca sebagai proyeksi kolektif dari masyarakat yang menginginkan proses pembelajaran yang lebih adaptif pada perubahan zaman, serta konstruktif dalam memperkuat kecakapan seseorang.
Contoh lainnya seperti pembicaraan bernada gurauan tentang “go-class atau go-teacher” yang sebetulnya menggambarkan ekspektasi masyarakat akan pendidikan yang inklusif. Terdapat semacam uneg-uneg yang hendak disampaikan ke permukaan bahwa pendidikan yang bermutu —bisa diwujudkan dengan bantuan teknologi— berhak untuk dinikmati oleh seluruh anak bangsa.
Sehingga, tidak mengherankan jika berbagai frase yang terkandung dalam postingan di Twitter itu bisa dirangkum dalam dua isu penting yang membutuhkan perhatian kita semua: bagaimana pendidikan menyiapkan manusia menghadapi otomatisasi serta pengintegrasian dan pemosisian teknologi dalam pembelajaran.
Otomatisasi dan Filosofi Pendidikan
Di tataran filosofis, otomatisasi sendiri pada akhirnya akan mendudukkan kita kembali pada pertanyaan tentang hakikat manusia dan teknologi sebagai hasil kreasi manusia. Tatkala semua pekerjaan seperti menghitung, menerjemah dan mengumpulkan informasi bisa diselesaikan oleh mesin, lantas untuk apa belajar berhitung atau mengenal tata bahasa? Lalu, apa fungsi tersisa yang diperankan oleh pendidikan?
Pertama, tentang seni, estetika dan menghargai proses berpikir. Misalnya, metode penghitungan data dalam jumlah yang besar telah dimudahkan oleh kode pemrograman. Namun, ini bukan berarti tidak penting untuk mempelajari ilmu dasarnya.
Penting bagi pembelajar untuk mengetahui asal-muasal suatu hal. Keilmuan dasar diajarkan agar pembelajar paham jika ada proses yang tidak mudah dan menantang, seperti percobaan yang berkali-kali tidak berhasil di balik setiap penemuan formula, hingga perjalanan emosi yang melelahkan dalam setiap pengejaran akan pengetahuan (pursuit of knowledge).
Tekad yang kuat dalam belajar dari kegagalan dan persisten dalam mewujudkan imajinasi adalah seni dalam mengelola dan menjalani kehidupan itu sendiri —yang mana sangatlah manusiawi. Pemahaman akan logika yang paling dasar dari sebuah ilmu berkontribusi pada pembentukan fondasi pemahaman yang baik bagi pembelajar.
Bila akarnya kuat, seorang pembelajar menjadi tidak mudah tergoyahkan. Selain itu, penguasaan ilmu dasar yang bagus akan membekali para pembelajar untuk mempertajam insting mereka dalam melihat keterkaitan yang kuat antara apa yang terjadi di masa lalu (sejarah) dengan yang terjadi saat ini.
Kedua, mengasah empati dan cinta akan nilai-nilai kemanusiaan. Memupuk kepekaan emosional dalam bersikap ketika merespon situasi tertentu, kemampuan mengapresiasi dan mengelola perbedaan di dalam kelompok, juga memimpin penyelesaian sebuah masalah adalah tugas dari pendidikan yang dimulai dari menggerakkan rasa empati.
Peran ini tidak bisa digantikan oleh robot. Kemampuan ini hanya bisa dilatih dengan baik bilamana proses belajar melibatkan peran pendidik yang juga memberikan dorongan pada siswanya untuk menggunakan empatinya.
Ketiga, merawat sikap reflektif. Contohnya, pertanyaan seperti apa tujuan pembelajaran yang ingin dicapai dengan teknologi sebagai perantara? Mengapa benda-benda canggih diciptakan oleh manusia?— adalah sederet sikap perenungan mendalam yang diharapkan tumbuh dengan mandiri dalam diri para pembelajar.
Kemandirian dalam mencari tahu akan membawa pembelajar pada proses belajar sepanjang hayat (lifelong learning) agar terus memperbarui pengetahuan yang dimilikinya karena ketidakpuasan akan suatu hal.
Jika pemaknaan yang demikian menjadi yang utama, maka penting bila pendidikan diarahkan pada tujuan-tujuan tersebut. Filosofi ini sudah saatnya lugas mengemuka sebagai bagian yang integral dari model pendidikan bangsa kita, yang urgen untuk dipikirkan agar kita tahu di mana harus berpijak di kala serbuan teknologi informasi dan komunikasi menghampiri.
Belum terlambat bagi kita untuk mendefinisikan kembali mengenai esensi pendidikan dan cita-cita kemaslahatan bangsa. Terlebih lagi, menteri pendidikan yang baru dengan latar belakang teknologi akan dapat memahami bagaimana teknologi —baik sebagai media pembelajaran atau objek kajian— digunakan dan dieksplor dalam rangka mengejawantahkan visi besar yang ingin dicapai.
Kita sendiri lah yang memilih dan pengambil kebijakan kita yang menentukan arah yang akan dituju. Tujuan ini terbentang dari apakah pendidikan kita mengarah pada pembentukan jati diri manusia (the purpose of education is to know thyself), penekanan nilai dari generasi ke generasi (perenialisme), berjalan beriringan dengan perubahan (progresivisme), membangun peradaban (konstruktivisme), sekedar pemenuhan kebutuhan industri, atau justru kita mempunyai konsepsi hibrida dari kombinasi apik semuanya yang kita racik sendiri?
Kembali pada pertanyaan-pertanyaan ini membantu kita dalam berpegangan pada nilai yang kita jadikan pedoman agar tidak kehilangan diri ditelan gelombang disrupsi.