Sabtu, Desember 21, 2024

Berlindung di Balik Topeng Kaca, Public Figure juga Manusia

Karina Rahma
Karina Rahma
Mahasiswa jurnalistik yang senang musik kpop. Belakangan ini sedang memberanikan diri untuk beropini
- Advertisement -

Ketika Candil lewat Grup Band Seurieus, salah satu Band Rock Kenamaan tahun 2000-an awal ini menyuarakan pendapatnya lewat lagu Rocker juga Manusia, saya seratus persen setuju dengan seluruh lirik di dalamnya. Nyatanya, tak hanya rocker yang harus bergulat dengan ‘kesempurnaan’ karena hal ini berlaku pula untuk public figure lainnya.

Beberapa waktu yang lalu, saya melihat salah satu akun di media sosial Twitter membuat sebuah utas mengenai kelakuan para artis Indonesia di balik layar kaca. Hal ini langsung menjadi sebuah teh panas yang tentu saja disukai oleh masyarakat kita.

Animo masyarakat dalam rangka spill the tea (bergosip) yang saya lihat dari utas tersebut sangatlah besar. Pada kali terakhir saya lihat utas tersebut mendapatkan ribuan komentar, like, juga retweet.Hal ini tentu saja menjadi lebih besar menjangkau massa karena mutual atau teman dalam media sosial Twitter milik akun yang melakukan komentar, like, dan retweet dapat melihat utas tersebut sebelum dihapus atau Si Empunya memprivasikan akunnya.

Public Figure dan Topeng Kaca

Berkaca dari fenomena tersebut, bukan rahasia umum lagi bilamana selama ini para public figure menjaga citranya di depan layar. Kepribadian yang berbeda dengan perilaku ‘asli’-nya di dalam realitas sosial.

Saya menganalogikan kasus ini dengan sebutan ‘topeng kaca’. Hal ini dikarenakan ketika topeng tersebut jatuh dan pecah, maka seluruh citra yang telah mereka buat dapat jatuh dan hancur begitu saja. Lalu, apa sebenarnya citra diri dan apakah hal tersebut harus dilakukan oleh para public figure yang kerap kali lalu lalang di berbagai platform media?

Menurut Joseph A. Bailey dalam jurnalnya yang bertajuk “Self-Image, Self-Concept, and Self Identity Revisited” mengatakan bahwa citra diri seseorang dapat dikatakan sebagai representasi mental seseorang, tampilan fisik seseorang, dan integrasi dari pengalaman, harapan, dan perasaan seseorang. Dengan kata lain, citra diri adalah gambaran apa yang ingin ditujukan oleh seseorang dihadapan khalayak.

Citra diri atau image bagi seorang pengisi panggung media tentulah sangat penting. Tidak lain dan tidak bukan ialah sebagai gerbang untuk menuju popularitas yang menjadi dambaan banyak orang. Ketika seseorang memiliki popularitas yang positif, maka masyarakat akan senang dengannya (belum lagi jika ditambah dengan fisik yang rupawan). Namun, popularitas yang negatif dan mengundang sensasi kerap kali hanya menjadi cemoohan masyarakat.

Mereka yang Dituntut untuk Sempurna

Popularitas yang dibuat oleh masyarakat sebagai tolak ukur baik dan tidak tersebut tentunya menghantarkan para public figure kepada pekerjaan, kemakmuran, juga rezeki. Ketika seorang public figure dianggap baik oleh kalangan masyarakat, dia akan disenangi dan orang-orang akan merekomendasikannya kepada kalangan lain begitu pula sebaliknya. Sungguh ironis bukan, mengingat yang selama ini dielu-elukan mayoritas hanya sekadar topeng kaca?

Saat seorang public figure telah memasuki tahapan ini jelas berat aral melintang yang akan mereka hadapi. Bagaimana tidak, secara tidak langsung mereka harus sempurna tanpa cela. Tak boleh ini, tak boleh itu. Kehidupan mereka bagaikan distandardisasi oleh masyarakat yang menuntut ini itu.

Jae, gitaris Band kenamaan Korea Selatan yakni Day6 kerap kali mengungkapkan kekesalannya dalam bentuk perkataan satir karena ia terlalu lelah mendapat orang-orang yang memang bukan seperti dirinya.

- Advertisement -

Salah satu contohnya ketika ia melakukan kegiatan live streaming game Among Us pada platform Twitch @eaJParkOfficial. Saat di tengah permainan ia sendawa (hal yang sangat lumrah dialami oleh manusia), lalu temannya bertanya “Jae, apakah itu kamu?.” Sontak Jae menjawab dengan satir “Nggak, aku artis masa aku sendawa?.” Lalu disambung oleh gelak tawa khasnya.

Fenomena ini seolah menampar oknum-oknum yang mengatakan bahwa mereka adalah fans (yang ingin membuat idolanya lebih baik dari berbagai sisi), namun pada kenyataannya mereka hanyalah masyarakat yang ingin membentuk idoalanya sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Bukan apa yang sebenarnya terjadi pada kehidupan sang idola.

Apa yang dilakukan Jae mungkin seperti sebuah candaan, namun jelas tersirat makna di dalamnya. “Apakah artis juga tak boleh bersendawa? Padahal kan itu wajar dilakukan oleh manusia. Apakah artis bukan bagian dari manusia?”

Di Korea Selatan sendiri, tuntutan ini itu dari berbagai kalangan jelas memberikan tekanan yang sangat keras bagi para kaum idola. Bayangkan saja, banyak jam yang telah dilalui untuk bekerja, berlatih, menyapa penggemar, melakukan promosi, dan berbagai kegiatan lainnya diiringi oleh tatapan netizen dari atas kepala hingga ke kaki. Termasuk gerak gerik hingga ekspresi mikro yang dihasilkan oleh raut wajah.

Setelah memasang senyum menawan tiap saatnya, masih saja ada masyarakat yang mengeluhkan ini itu tentangnya. Komentar tak bermoral, kritikan yang lebih tajam dari sembilu, caci dan maki dari sana sini selalu singgah di laman media sosial mereka. Berasal dari jari-jari tak beradab.

Mungkin mereka selalu terlihat kuat, selalu terlihat tegar, selalu menarik bibirnya dengan cantik di balik topeng kaca. Namun, manusia memiliki batas kesabarannya sendiri bukan?

Ketika telah habis kesabaran dan cobaan datang bertubi-tubi, membuat mereka bagaikan dirajam oleh batu berapi. Mereka mulai memasuki tahapan depresi. Saya sendiri tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi mereka. Karena sebuah komentar jahat di media sosial saya saja dapat membuat saya menangis berhari-hari, lalu bagaimana dengan mereka? Tak hanya satu komentar yang mereka terima, namun ratusan bahkan ribuan.

Sehingga ketika kesabaran mereka habis, hidup mereka bagaikan sebuah terowongan gelap yang ujung-ujugnya telah ditutup rapat. Gelap. Tak ada lagi tempat untuk membenamkan seluruh luka dan derita yang telah mereka bawa kesana kemari sembari tetap menjaga agar topeng kacanya tidak jatuh. Ketika hal tersebut telah terjadi, mengakhiri hidup mereka pikir sebagai sebuah solusi.

Sebut saja nama Sulli, dara cantik yang menerima berbagai komentar dan kritik pedas atas hal-hal yang ia lakukan. Beberapa saat sebelum mengakhiri hidupnya, ia bahkan melakukan siaran langsung dan menangis sembari bertanya mengenai kesalahan apa yang telah ia lakukan sehingga terus menerus menjadi sasaran empuk para jari biadab.

Di Indonesia sendiri, kasus cyber bullying kepada para pelakon panggung hiburan bukan sebuah hal yang sulit ditemui. Tengoklah laman media sosial milik para artis tanah air. Komentar jahat bisa kita temukan tak hanya satu, namun banyak sekali. Lalu apakah dengan memberikan komentar-komentar tak berakal tersebut dapat mengubah para public figure menjadi lebih baik? tentu tidak.

Tak usahlah menuntut a b c hingga z kepada para punggawa panggung hiburan. Tak usah pula merasa kaget dan kecewa ketika topeng kaca mereka jatuh dan luluh lantah. Karena sejatinya, mereka, saya, kita, dan kalian adalah manusia juga. Kesalahan-kesalahan dapat terjadi karena kita bukanlah makhluk yang sempurna tanpa cela.

As much as magic and mirrors do in the entertainment industry, they’re just as human as you are. -Jae Day6.

Karina Rahma
Karina Rahma
Mahasiswa jurnalistik yang senang musik kpop. Belakangan ini sedang memberanikan diri untuk beropini
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.