Bulan Karunia Rudianti, bocah 10 tahun dari Pekanbaru, terlahir untuk berlari dengan kata-kata, tidak dengan kedua kaki. Ibu Bulan terinfeksi toksoplasma saat mengandung, jadi muasal tubuh Bulan terhenti tumbuh di panggul. 16 Maret 2018, Bulan yang bersekolah di SD Negeri 088 Pekanbaru mengirim surat pada Presiden Joko Widodo. Ia minta hadiah kursi roda. Surat bertulisan tangan itu juga dipotret dan diunggah di Instagram Bulan, @bulankarn.
Surat terbaca tak cuma oleh Presiden. Surat dibaca warganet dan segera menjalar di jagat maya. Nama Bulan menjelma seterang purnama. Empat hari berlalu, sebuah kursi roda sampai pada Bulan. Ia juga beroleh satu lagi dari artis Ruben Onsu. Surat bergerak melampaui raga. Kata-kata ditulis Bulan serupa dua kaki, membawanya bertemu ribuan wajah penyayang yang tak ia kenal.
Bulan berangan ingin jadi perupa. Di kursi, bocah itu melukis. Ia menggerakkan imajinasi rupa. Lewat goresan, bidang, dan warna, Bulan berkelana ke dunia mana saja yang ia suka. Imajinasinya berkelana ke semesta. Bulan berada di keluasan galaksi, melukis apa saja yang membetik hatinya. Di akun Instagram, tercandra bocah itu mewaktu bersama kertas, pensil, dan pemulas.
Kala jemu, ia beralih bermain warna di telepon pintar. Jemarinya lincah berlari di atas layar beberapa inci. Kompas, 22 Maret 2018 mengabarkan Bulan juga jago bahasa Inggris. Ia memiliki teman bernama Alijah, bocah Inggris. Mereka berjumpa dan bercakap lewat media sosial. Di internet, Bulan menggerakkan bahasa Inggris sampai jauh. Barangkali Bulan tak pernah merasa diri berbeda dengan teman-temannya. Tapi, sejak mahajana mengerti surat Bulan memerkarakan sepasang kaki, tetap saja Bulan terasa sebagai bocah berbeda yang mesti lekas mendapat jawab.
Pada rezim masa lalu, segala yang terulur dari tangan negara pada siapa pun yang membutuhi itu terucap sebagai “bantuan”. Orang-orang bertubuh atau berindra tak lengkap dianggap bagian kecil mahajana yang mesti “dibantu” dan mengalami “bantuan” karena takdir mutlak ketaksanggupan.
Kita membuka kembali lembar-lembar buku lawas Desa, Sekolah, dan Benderaku terbitan Balai Pustaka (1984). Di Kata Pengantar, penerbit memberi keterangan. Buku memuat lima tulisan bocah-bocah pemenang “sayembara mengarang untuk anak-anak tuna netra di seluruh Indonesia”.
Lewat mata-kata, Didin Hendrasti Adhiningsih, bocah kelas D5, SLB YPAC Jakarta berkisah tentang sekolahnya. Di kalimat pertama, Didin segera mendaku, “Aku dilahirkan sebagai anak Tuna Daksa”. Kesadaran ketaksempurnaan tubuh tak membuat Didin memendam bara pada orangtua. Ia berterima pada nasib dan memberi madah pada ayah dan ibu karena tetap menginginkan anaknya sekolah. Di sekolah, Didin bergirang hati. Perkara mata pelajaran, tak ada beda dengan sekolah dasar di keluasan Indonesia. Ia juga bisa memilih ikut kepanduan dan barangkali mengalami keseruan mencari jejak. Rupa-rupa terapi pun ada di sekolah untuk menambah daya ragawi.
“Aku sangat senang dengan sekolahku itu. Karena aku dapat bergaul dengan teman-temanku yang senasib denganku. Dan aku sangat berterima kasih kepada Pemerintah yang telah mendirikan sekolah bagi anak-anak yang cacad. Sehingga anak-anak cacad dapat bersekolah seperti anak-anak yang normal,” kata-katanya berkisah.
Di nada girang, pembaca merasa Didin memiliki kesadaran perbedaan antara dia dan teman-teman yang “senasib” dengan “anak-anak yang normal”. Ada rasa kikuk yang tercandra meski ia menulis dengan segala penerimaan. Ia sadar sedang belajar di sekolah yang berbeda dengan banyak teman-teman sebayanya.
Ucapan terima kasih pada negara pun terucap tulus dalam kerendahan diri sebagai bocah yang lebih tidak bisa banyak bermain seperti teman-teman lain. Tak ada kata “bantuan”, tapi pembaca merasakan betapa Didin merasa girangnya sebagai bocah “terbantu” oleh pemerintah dan orangtua yang sadar pendidikan tak peduli bagaimana bentuk ragawi sang anak.
Meski tak tertulis, ada sekelumit rasa bersalah secara ragawi yang memberi kesadaran ia mesti mewaktu di tempat yang bercap “Luar Biasa”. Rasanya, kepolosan Didin malah memberi kita tanya sekali lagi: mungkinkah selama ini kita begitu serius memberi watas pada raga bocah perkara ruang belajar, sedang di dalam batin, tak setitik jua mereka beda. Lalu, kala bertemu bocah-bocah dengan disabilitas berhasil melakukan sesuatu melampaui dirinya, kita lumrah memberi ribuan madah dan cap “pantang menyerah”. Batin kita tetap sulit merasai kesamaan dua bocah berbeda secara ragawi.
Puluhan tahun berlalu. “Bantuan” itu surut gemanya, berganti “hadiah”. Bulan yang memiliki kesadaran pada watas ragawi memilih meminta “hadiah” ketimbang “bantuan”. Kursi roda diterima Bulan itu “hadiah” yang dikabulkan. Kita lekas merasai beda mendengar seucap, “Terima kasih atas hadiahmu” dibanding “Terima kasih atas bantuanmu.” Hadiah lebih memberi girang hati. Penerimaan terasa bukan karena martabat lebih rendah daripada pemberi. Hadiah serupa madah berkat keberhasilan penerima melayakkan diri berolehnya.
Hadiah kursi roda buat Bulan jadi perayaan hidup bagi si bocah. Kursi roda hanya memberi tubuhnya daya buat lebih luwes berpindah. Rasanya, tak pernah terbetik sedetik pun di pikirannya, ia begitu berbeda dengan teman-teman sebayanya meski dia belajar di sekolah tanpa cap “Luar Biasa”. Teman-temannya girang mendorong kursi roda kian kemari, mengantar raga melalui halaman sekolah dan menghidu sedap perkawanan lewat sebungkus es teh yang dibagi bersama.
Kita pun mengingat Stephen Hawking, ilmuwan paling benderang abad XX yang 14 Maret silam kembali ke haribaan langit. Stephen terserang gangguan syaraf motorik yang perlahan meringkus daya gerak tubuhnya. Lewat film biografis The Theory of Everything (2014), kita mengingat Hawking sebagai lelaki yang sebagian perjalanan hidup paling menakjubkannya terjadi di atas kursi roda.
Dari atas kursi roda elektrik, Hawking menjaga laku humoris nan seru sebagai Bapak. Di ruang tamu, anak-anaknya mengejar Bapak yang “berlari” di atas kursi roda. Lalu, lahirlah buku legendaris itu: A Brief History of a Time, menyapa pembaca Indonesia dengan Riwayat Sang Kala: Dari Dentuman Besar Hingga Lubang Hitam. Kala raga mesti menyerah pada ketetapan biologis, atma terus mantap mendedah rahasia semesta pemikiran. Dari atas kursi roda, dunia dipertemukan dengan keajaiban semesta. Ah, raga, betapa terasa ia tak memiliki arti ketimbang cemerlang pemikiran.
Serupa Hawking, tak punya dua kaki tak sedetikpun menjebloskan tubuh Kirana ke penjara gerak. Bulan tetap sanggup bergerak dan menjelajah lekuk dunia dengan kelanggasan pikiran dan kata. Kita pun mengangguk dalam sahaja, bulan yang mengangkasa memberi benderang pada umat manusia, tanpa sepasang kaki.[]