“We face big challenges to help the world’s poorest people and ensure that everyone sees benefits from economic growth. Data and research help us understand these challenges and set priorities, share knowledge of what works, and measure progress”.
Kutipan diatas merupakan tagline dari World Bank tentang bagaimana kita memahami kemiskinan. Filosofi “tak kenal maka tak sayang” akan ekuivalen dengan “tak kenal maka tak mengerti”, sebab untuk mengerti tidak cukup dengan tahu saja, tapi juga harus kenal.
Data dapat membantu kita untuk dapat mengenal kemiskinan secara mendalam. Dengan data, orang-orang akan lebih paham bagaimana karakteristik dari kemiskinan secara menyeluruh. Sehingga ouput yang dihasilkan dapat berupa solusi yang terbaik dalam pengentasan kemiskinan itu sendiri. Jadi, mari berkenalan dengan kemiskinan!.
“As long as poverty, injustice and gross inequality exist in our world, none of us can truly rest”. Nelson Mandela menegaskan kepada kita bahwa kemiskinan merupakan sesuatu hal yang harus kita perangi bersama. Sampai di era 60-an, jumlah penduduk miskin dunia masih pada kondisi yang ekstrim. Presentase jumlah penduduk miskin dunia pada saat itu berada di atas 50%.
Seiring dengan pembangunan ekonomi secara modern yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, presentase jumlah penduduk miskin secara global pada akhirnya mengalami penurunan. Presentase kemiskinan turun dengan cepat dari yang semula di kisaran 50% menjadi kurang dari 10%.
Walaupun cenderung menurun, kemiskinan masih tetap menjadi permasalahan utama di hampir semua negara. ILO mencatat bahwa kemiskinan di negara maju terus mengalami peningkatan. Fakta yang ditemukan di negara maju bahwa yang masuk kategori penduduk miskin, sebagiannya justru merupakan kelompok penduduk yang berpenghasilan. Masalah yang sama juga dihadapi oleh negara-negara berkembang.
Menurut Bank Dunia, dari total angka kemiskinan global, 40% berada di negara-negara berkembang. Ketergantungan negara-negara berkembang terhadap pertumbuhan ekonomi, membuat upaya pengentasan kemiskinan menjadi terhambat seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi global.
Bagaimana dengan Indonesia
Sebagai negara berkembang, Indonesia juga mengalami permasalahan yang sama terkait kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) pada maret 2018, mencatat presentase jumlah penduduk miskin secara nasional sebesar 9,82% yang artinya sekitar 25,95 juta orang dari total penduduk Indonesia berada pada kategori miskin.
Jumlah ini mengalami penurunan sebesar 633,2 ribu orang jika dibandingkan dengan September 2017 yang sebesar 26,58 juta orang (10,12%). Secara wilayah, perdesaan pada Maret 2018 masih menjadi penyumbang terbesar jumlah penduduk miskin yaitu sebesar 15,81 juta orang. Jumlah ini menurun 505 ribu orang dibandingkan periode September 2017.
Data kemiskinan oleh BPS berasal dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan tiap semester pada bulan Maret dan September. Secara konsep, untuk mengukur kemiskinan, penghitungan BPS didasarkan pada kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach) yang diukur dari sisi pengeluaran. Metode ini digunakan untuk menghitung jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan (GK).
Secara umum garis kemiskinan merupakan representasi rupiah minimum yang dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan dasar baik makanan (diukur berdasarkan 2100 kalori per kapita, per hari), maupun non makanan. Penduduk dengan rata-rata pengeluaran konsumsi per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Garis kemiskinan dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan pergerakan inflasi. Secara nasional, rata-rata garis kemiskinan total pada Maret 2018 yaitu sebesar Rp. 401.220, meningkat sebesar 3,63% dari periode September 2017 yang sebesar Rp.387.160. Jadi secara nasional, orang akan dianggap miskin apabila memiliki pendapatan kurang dari Rp. 401.220.
Karakteristik tiap wilayah yang berbeda membuat garis kemiskinan juga dibagi menurut kondisi geografis, baik secara administratif maupun menurut jenis wilayah. Secara administratif, garis kemiskinan di tiap daerah sebenarnya berbeda, disesuaikan dengan karakteristik daerah tersebut.
Daerah dengan garis kemiskinan tertinggi yaitu Kep. Bangka Belitung sebesar Rp. 631.467 dan yang terendah yaitu Sulawesi Tenggara sebesar Rp. 303.618. Selain itu garis kemiskinan juga dapat dibagi menurut jenis wilayah, yaitu wilayah perdesaan dan perkotaan.
Pada periode Maret 2018, garis kemiskinan di wilayah perkotaan lebih tinggi dibanding wilayah perdesaan. Pengukuran garis kemiskinan di Indonesia juga berbeda dengan yang digunakan oleh Bank Dunia. Standar garis kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia yaitu sebesar $1,90 PPP (Purchasing Power Parity). Apabila standar ini dipakai di Indonesia, maka presentase angka kemiskinan akan sedikit lebih rendah, yaitu berada pada kisaran 6-7%.
Kemiskinan juga dapat dilihat secara geografis. Pulau Jawa merupakan pulau dengan jumlah penduduk miskin terbesar yaitu sebesar 13.34 juta orang. Sedangkan pulau dengan jumlah penduduk miskin paling sedikit yaitu pulau Kalimantan yaitu sebanyak 982 ribu orang.
Walaupun secara nominal jumlah penduduk miskin terbanyak berada di pulau Jawa, tetapi secara presentase, Maluku & Papua merupakan yang tertinggi, dimana 21,20% dari penduduk Maluku & Papua termasuk dalam kategori miskin. Disini dapat terlihat bahwa permasalahan kemiskinan di wilayah timur Indonesia masih menjadi sebuah persoalan yang harus lebih diperhatikan.
Hal menarik lainnya yang bisa dilihat dari data kemiskinan Indonesia yaitu share komoditi terhadap garis kemiskinan. Secara nasional, garis kemiskinan makanan (GKM) memberikan kontribusi paling besar tehadap total garis kemiskinan yaitu sebesar 73,48%. Untuk garis kemiskinan makanan baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan, beras dan rokok masih menjadi penyumbang terbesar terhadap garis kemiskinan.
Pengaruh kenaikan harga beras terhadap pergerakan angka kemiskinan akan lebih besar dibandingkan rokok. Hal ini disebabkan karena beras merupakan kebutuhan pokok. Kenaikan harga rokok juga turut serta mempengaruhi pola kosnsumsi, karena notabennya rokok bukan merupakan kebutuhan yang mendesak.
Share komoditi beras terhadap garis kemiskinan di wilayah perdesaan lebih tinggi dibanding wilayah perkotaan yaitu masing-masing sebesar 26,79% dan 20,95%. Hal ini berbanding terbalik dengan share komoditi rokok, dimana kontribusi rokok terhadap garis kemiskinan di wilayah perdesaan lebih rendah dibanding wilayah perkotaan. Sedangkan untuk garis kemiskinan non makanan, perumahan masih menjadi komoditi dengan kotribusi terbesar terhadap garis kemiskinan.
Masalah kemiskinan melibatkan banyak hal, sehingga butuh berbagai sisi untuk dapat melihat kemiskinan secara lebih mendalam. Memahami data secara utuh dapat menghasilkan interpretasi yang akurat, sehingga solusi atas permasalahan yang didapatkan bisa efektif. Karena ibarat koki, kita harus paham komposisi dari kue yang dibuat, agar kue yang dihasilkan sesuai dengan apa yang diharapkan(*).