Setelah runtuhnya rezim orde baru, masyarakat Indonesia mendapatkan angin segar dengan memulai kehidupan berdemokrasi yang bebas aktif. Kebebasan berbicara atau mengutarakan pendapat di ruang publik selalu dilindungi oleh negara berdasarkan amanat UUD 1945 dalam pasal 28E, serta UU dalam Pasal 23 Ayat 2 No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 1 Angka 1 UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Depan Umum.
Dengan mendapatkan hak sebagai warga negara dalam berekspresi, berbicara, kritik dan saran yang sering terjadi dalam kelompok masyarakat melebihi kapasitas yang disampaikan, baik dalam skala kecil (masyarakat desa) maupun besar (masyarakat kota)
Penyamapaian pesan dalam bentuk lisan, tertulis, atau gerakan tubuh merupakan bahasa interaktif yang digunakan dalam hubungan sosial kemasyarakatan, baik secara undividu maupun kelompok yang tidak memikirkan perasaan penerima pasan, dalam pengiklanan produk yang berlebihan untuk kepentingan bisnis, kampanye politik yang berwajah identitas dan janji-janji politik yang sering tidak terealisasi. Itu adalah suatu bentuk komunikasi yang tidak berdasar dengan keadilan. Bukankah salah satu cita-cita kemerdekaan Indonesia ialah “Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia?”
Jika kita telusuri hakikat dari “komunikasi” itu sendiri yaitu terjadinya interaksi (dialog) antara dua belah pihak dengan prinsip kebaikan dan keadilan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Komunikasi diartikan sebagai suatu pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Olehnya itu, adalah suatu kekeliruan besar dalam berkomunikasi jika masyarakat umum, para pemuda, pelajar dan mahasiwa, pelaku usaha, atau pejabat tidak menyampaikan pesannya untuk dapat dimengerti.
Komunikasi yang tidak tepat sasaran
Adanya Gerakan Julid fisabilillah yang dipelopori para netizen Indonesia meruntuhkan semangat, mentalitas, moralitas, dan pendirian tentara Zionis Israel dengan mengganggu psikoligis via Gerakan digital media sosial. Istilah “Julid fisabilillah” merupakan pelesetan dari istilah Jihad Fisabilillah yaitu istilah yang diambil dari bahasa arab, jihad yang berarti berjuang, sedang fisabilillah yaitu dijalan Allah. Sedangkan istilah julid sendiri merupakan ide kreatifitas netizen Indonesia.
Aksi tersebuat adalah salah satu inisiatif perjuangan bangsa Indonesia, bela Palestina. Demikian pernyataan Erlangga Greschinov selaku Komandan Satuan Operasi Khusus Netizen Julid Fisabilillah, “ingat! Kita memerangi Zionis dan Israel, bukan orang Yahudi. Kalau ada orang Yahudi pro-Palestina yang tidak salah apa-apa kamu serang, kamu bukan bagian dari Julid Fisabilillah” (kumparan.com/amp/2023)
Hal tersebut mendapat apresiasi positif oleh masyarakat luas, bukan hanya di Indonesia tetapi sampai tingkat global. Sebagaimana disampaikan Ustadz Anshari Taslim bahwa Gerakan Julid Fisabilillah itu menyerang medsos para tentara Israel dan menghina mereka lalu meruntuhkan semangat mereka (menjulidkan mereka) insya Allah termasuk Jihad bi lisan dan boleh dinamakan Brigade Hassan bin Tsabit.
Itulah pandangan salah satu tokoh ulama yang dirilis di Suara.com pada November 2023. Bukan hanya itu, akan tetapi mendapat respon baik dari juru bicara tentara Hamas-Palestina, terkenal dengan sebutan Abu Ubaidah, bahwa Gerakan tersebut membentu semangat pejuang Hamas dan kemerdekaan rakyat Palestina.
Sekilas fenomena tersebut, mereka (Julid Fisabilillah) sangat komunikatif dengan menjunjung tinggi etika sosial, adab berbicara yang baik, dan menjaga nilai-nilai kemanusiaan. Hanya saja feedback-nya (tentara atau warga Israel) tidak mencerminkan etika yang baik, misalnya dengan mengeluarkan kata-kata kotor, menggunakan bahasa tubuh dengan mengancungkan jari tengan, dan hal-hal tak terpuji lainnya.
Hal inilah yang sering kita temukan di Indonesia khususnya pada generasi Milenial dan generasi Z dalam meniru budaya-budaya israeliyah (kebarat-baratan), dari pakaian, perbuatan, hingga tutur kata yang bertabrakan dengan nilai-nilai budaya bangsa, norma adat, kebiasaan, tata kelakuan, dan hukum Negara Indonesia.
Seperti contoh, mencampuradukkan bahasa (kompilasi bahasa) gaul dan bahasa daerah, bicara to the poin tanpa pandang bulu terhadap siapa yang mereka ajak bicara, menyingkat-nyingkat bahasa sehingga membuat generasi Baby Boomers atau generasi-X kebingungan, memilih kosa kata yang tidak tepat, mengeluarkan kata-kata yang tidak baik dan minimnya dalam mempraktekan bahasa indonesia yang baku.
Secara umum, pembagian generasi diukur berdasarkan rentang tahun kelahiaran. Terdapat enam generasi (https://gaya.tempo.co/read/1741267) yaitu yang dikenal dengan istilah: pertama, Pre-Boomer (generasi sebelum kemerdekaaan Indonesia); kedua, Baby Boomers (1946-1964); ketiga, Generasi X (1965-1980); kempat, Generasi Y atau Milenial (1981-1996); kelima, Generasi Z (1997-2012); dan keenam, Generasi Alpha (2013-2025).
Dalam dunia marketing bisnis sering menjadi tranding topik utama terkait penipuan produk, investasi bodong, iklan online berbasis Al, modus penipuan lowongan kerja dan lain sebagainya. Sebagaimana yang terjadi baru-baru ini di Kota Metro, seorang wanita pemilik toko online Klik Shop Boutiqui dan Beauty tertangkap menjual prodak kosmetik illegal (https://matarajawali.id/2023/12/29).
Pemilihan umum 2024 menjadi ajang kontestasi politik bagi para politisi, tim kampanye, dan keterlibatan langsung Capres-Cawapres. Janji-janji politik dari masing-masing kandidat semakin kuat untuk meyakinkan, menarik perhatian, dan merebut suara masyarakat.
Mulai dari makan siang gratis, biaya pesantren gratis, membangun 40 kota yang setara Jakarta, menghapus pajak penghasilan dan pajak tabungan masyarakat, satu keluarga satu sarjana, dan masih banyak lagi. Dengan tujuan yang sama yaitu, keadilan dan kemakmuran. Hanya saja sampai sekarang terkait isu politik menjadi issu yang seksi untuk dibahas. Dan sampai saat ini masyarakat Indonesia belum mendapatkan hak keadilannya secara penuh oleh negara, khususnya adil dalam komunikasi.
Keadilan untuk semua
Kebanyakan orang melekatkan kata “adil” hanya sekedar mendapatkan perlakuan sama di mata hukum dan sejahtera dalam kebutuhan ekonomi. Tetapi ada hal yang paling mendasar tentang keadilan tersebut, yaitu mendapat perlakuan yang sama dalam interaksi sosial (komunikasi yang tepat sasaran).
Sebagaimana ada tiga hal yang perlu diperhatikan. Pertama, Mengenal Jati Diri. Seseorang yang mengenal hakikat dirinya, mengetahui sejarah bangsanya, tujuan hidupnya, maka akan mampu memposisikan dirinya kepada siapa dia berinteraksi, entah itu orang tua, guru, teman, adik, orang yang baru dikenal, dan masyarakat secara umum; Kedua, Selalu Berkata Jujur. Menanamkan nilai-niali religious (keislaman) berupa akidah-akhlak yang kuat kepada Allah, Tuhan Yang Maha Adil. Sehingga kata-kata yang keluar dari lisan tidak lain melainkan kebenaran; dan Ketiga, Menepati Janji. Bertanggungjawab Ketika diberikan amanah.
Sang Khaliq telah menerangkan lewat firman-Nya ”Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertawkalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Maidah: 8)