Dalam pewayangan tentu kita tak asing dengan tokoh punakawan “Semar”. Karena merupakan tokoh asli ciptaan pujangga Jawa, maka nama Semar tidak akan ditemukan dalam naskah asli Mahabharata dan Ramayana berbahasa Sanskerta. Semar bukanlah seorang tokoh yang secara historis pernah hadir di bumi Indonesia.
Semar adalah semacam representasi dari the sense of fullness dalam konteks budaya Timur dan religiusitas manusia Jawa. Semar menguraikan keseluruhan dari kodrat filosofis manusia Indonesia. Ahli antropologi dari Belanda tiada kesangsian tentang orisinalitas Semar sebagai “Indonesian”, dan bukan impor dari India.
Lebih dari sebuah tambahan dalam kisah wayang, Semar adalah figur yang misterius di satu pihak dan schari-hari di lain pihak. Ia diatribusikan sebagai dewa, bathara dan begawan, tetapi Semar juga seorang pelayan, lurah, petani, penjaga dan penghibur. la hadir dalam kisah pewayangan, tetapi memiliki “roh” yang diyakini hidup dalam tatanan kehidupan manusia. Ia mengurai keruwetan dengan simplisitas dan gelak tawa, ia sakti dan disegani oleh kalangan para dewa dan manusia.
Dalam kitab Sudamala, Semar adalah sosok pendamping bagi Sadewa, sang tokoh utama dalam kisah panglukatan (ruwatan) Dewi Uma yang mendapat hukuman di hutan. Tetapi, dalam kisah lain, Semar adalah Ismaya kakak tertua dari Tejamaya (Togog) dan Bathara Guru (Manikmaya).
Sesungguhnya mereka berasal dari satu telur (yang satu dari kulitnya, yang kedua dari putihnya, dan yang lain dari kuning telurnya), sehingga menentukan siapa lebih tua atau muda menjadi tidak mudah. Berbeda dengan Togog yang mengabdi para raksasa dan Bathara Guru yang memerintah Suralaya (wilayah para dewa), Semar berbakti kepada keluarga Pandawa.
Semar tampil sebagai abdi, penasihat, dan penghibur sekaligus. Unik, betapapun Semar seorang abdi para kesatria, para dewa bila berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa kromo inggil. Konteks relasi semacam ini membawa pemahaman filosofis kehadiran dewa dalam sosok tubuh seorang Semar. Ia bukan dewa yang disembah. Tidak ada sejarah penyembahan kepada Semar. Semar adalah narasi kehidupan sehari-hari, sebuah prototipe ideal manusia Jawa, tetapi dalam makna filosofis-kultural bukan metaforis.
Dalam filosofi Jawa, Semar disebut Badranaya. Berasal dari kata bebadra, artinya membangun sarana dari dasar dan naya atau nayaka berarti utusan. Maksudnya mengemban sifat membangun dan melaksanakan perintah Tuhan demi kesejahteraan manusia.
Secara Javanologi, Semar berarti haseming samar-samar, dan secara harafiah, ia berarti sang penuntun makna kehidupan. Secara fisik, Semar tidak laki-laki dan perempuan. Ia berkelamin laki-laki, tetapi memiliki payudara seperti perempuan, ini simbol dari pria dan wanita. Tangan kanan ke atas, artinya sebagai individu, ia hendak mengatakan simbol Sang Maha Tunggal.
Tangan kiri ke belakang, bermakna berserah total dan mutlak, sekaligus simbol keilmuan yang netral namun simpatik. Semar berambut kuncung seperti anak-anak. Artinya bahwa akuning sang kuncung, yaitu sebagai kepribadian pelayan. Semar sebagai pelayan melayani umat tanpa pamrih untuk melaksanakan ibadah sesuai perintah Tuhan. Ketika berjalan, Semar selalu menghadap ke atas.
Artinya adalah dalam perjalanan anak manusia, ia memberikan teladan agar selalu memandang ke atas, yaitu Tuhan Yang Maha Pengasih. Selain itu ia juga selalu mengenakan kain jarik motif Parangkusumorojo, yang merupakan perwujudan Dewonggowantah atau menuntun manusia agar memayuhayuning bawono, yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran di bumi.
Ciri fisik Semar yang sangat unik lainnya adalah bentuk tubuhnya yang bulat. Ini merupakan simbol dari bumi atau jagad raya, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar juga tampak selalu tersenyum, tapi matanya sembab. Ini menggambarkan simbol suka dan duka. Wajahnya tampak tua, tapi rambutnya berkuncung seperti anak kecil. Ini merupakan simbol tua dan muda.
Ia merupakan penjelmaan dewa, tetapi hidup sebagai rakyat jelata. Ini merupakan simbol dari atasan dan bawahan. Bagi saya Semar mempunyai banyak keistimewaan. Selain ciri-ciri fisik, keistimewaan Semar yang lain adalah tentang statusnya. Meskipun statusnya hanya sebagai abdi, namun keluhurannya disejajarkan dengan Prabu Kresna dalam kisah Mahabharata. Menurut versi aslinya, penasehat pihak Pandawa dalam perang Baratayuda adalah Kresna. Akan tetapi dalam pewayangan, penasehat Pandawa menjadi dua yaitu Kresna dan Semar.
Sering dikisahkan bahwa senjata Semar adalah kentut. Konon kentut Semar ini bisa membuat pusing para punggawa keraton yang tidak menjalankan tugasnya sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan kata lain ada saja pejabat keraton yang melakukan tindakan melawan hukum yang merugikan masyarakat.
Sebagai penjelmaan dewa, Semar dikenal juga sangat arif dan bijaksana. Bisa bergaul dengan siapa saja, baik dengan kalangan atas maupun kalangan bawah. Selain itu juga tanggap terhadap perubahan jaman. Akan tetapi jika menemukan ketidakadilan dan tindakan sewenang-wenang, maka Semar akan dengan tegas melakukan tindakan preventif, persuasif dan represif. Bisa dikatakan kalau Semar ini rela mempertaruhkan segalanya demi amanat yang diterimanya dari Sang Maha Kuasa.
Bila kita cermati ucapan Semar setiap kali mengawali dialog : “mbergegeg, ugeg-ugeg, hmel-hmel, sak dulito, langgeng…” Yang artinya diam, bergerak atau berusaha, makan, walaupun sedikit, abadi.
Maksudnya dari ucapan Semar itu kira-kira begini, daripada diam (mbergegeg) lebih baik berusaha untuk lepas (ugeg-ugeg) dan mencari makan (hmel-hmel) walaupun hasilnya sedikit (sak ndulit) tapi akan terasa abadi (langgeng). Benar-benar sebuah pesan moral yang sangat dalam agar kita selalu bekerja keras untuk mencari nafkah, walaupun hasilnya hanya cukup untuk makan, namun kepuasan yang didapat karena berusaha tersebut akan abadi.
Semar seolah-olah tidak pernah mengenal kata sedih. Bila berbicaranya selalu spontan, tetapi mengandung kebenaran. Setiap bertutur selalu menghibur, sehingga orang yang sedih menjadi gembira. Orang yang sedang susah bisa tertawa. Itulah sosok Semar yang selalu tumakninah, mengawal kebenaran dan hati nurani para Pandawa sebagai representasi tokoh dunia putih.
Semar merupakan gambaran perpaduan rakyat kecil sekaligus dewa kahyangan. Jadi, apabila para pemerintah, yang disimbolkan sebagai kaum kesatria asuhan Semar, mendengarkan suara rakyat kecil yang bagaikan suara Tuhan, maka bisa dipastikan negara yang dipimpinnya akan menjadi nagara yang unggul dan sentosa. Sekarang coba kita perhatikan para pejabat di negara kita.
Apakah mereka sudah benar-benar mengemban amanat rakyat? Apakah mereka berani mempertaruhkan segalanya demi kebenaran? Ah, sepertinya masih sangat jauh dari angan-angan ya. Mungkin para pejabat di negara kita ini perlu belajar dari sosok Semar. Karena dengan memahami falsafah Jawa dan perilaku Semar tadi pasti akan diperoleh banyak manfaat bagi kehidupan di dunia ini. Dan yang pasti jika semua pejabat kita bisa mencontoh sosok Semar, niscaya negara kita akan menjadi negara yang makmur, gemah ripah loh jinawi.
Insha Allah!
Referensi :
Prof. Dr. E. Armada Riyanto, CM. 2011. Berfilsafat Politik. Yogyakarta : Penerbit PT Kanisius