Disadari atau tidak, perselingkuhan antara kapitalisme, teknologi, politik dalam demokrasi liberal, dan logika mekanisme pasar telah menghasilkan perang cyber yang tidak kunjung usai. Semua ini berada pada tataran berebut wacana untuk menggiring orang-orang pada satu opini yang menjadi kepentingan kontestan politik dan para kapital.
Tak dapat dipungkiri, media sosial telah menjadi kekuatan baru dalam pengaruh politik. Di seluruh dunia, berbagai peristiwa politik kontemporer melibatkan adanya peran media sosial yang terbukti memiliki pengaruh yang signifikan. Di Indonesia, gerakan 212 dan isu keummatan dapat menjadi saksi sejarah bagaimana massa dapat diorganisir secara sukses melalui media sosial.
Suwanto (2018) mencatat, fenomena semacam ini telah dibayangkan oleh teoritikus Marshall McLuhan sejak 1960-an dengan mewacanakan gagasan “desa global”. Berkat penemuan Internet dan kemajuan teknologi komunikasi terbarukan seperti Web 4.0, sekat-sekat ruang dan waktu dalam pertukaran informasi di seluruh dunia dapat dipangkas.
Sebagai penemuan tercanggih, kecerdasan Web 4.0 dapat menghubungkan manusia dengan mesin secara simbiosis. Dengan web ini, mesin bisa lebih pintar dalam membaca konten dan memutuskan sendiri apa yang akan muncul lebih dulu untuk tampil di situs web secara cepat dengan kualitas dan kinerja yang super canggih. Web ini dapat menjadi paralel dengan otak manusia dan meningkatkan interaksi kecerdasan (Choudhury, 2014).
Jika kecerdasan Web 4.0 ini digunakan dalam menyebarkan ide-ide politik, maka jelas pasukan cyber tak lagi dibutuhkan. Artinya, sebuah wacana tidak lagi perlu dilakukan oleh subjek-subjek manusia secara langsung, tetapi cukup mesin saja yang melakukannya. Akibatnya, mesin-mesin itulah yang akan menjadi pengontrol sekaligus membentuk kesadaran.
Kita pun tak dapat membayangkan bagaimana bila suatu isu dan penyebaran gagasan politik dapat begitu mudahnya dikerjakan oleh perangkat mesin. Di mana mesin-mesin itu, dapat diatur sedemikian rupa dalam memanipulasi data-data dan menjadi mesin propaganda yang bekerja secara otomatis.
Perang Tiada Akhir
Selama ini, wacana tentang isu keummatan yang dimainkan oleh kubu politik tertentu di media sosial, lebih tampak sebagai bentuk propaganda yang menyuarakan perang terhadap kubu rivalnya. Hal ini kemudian mendapat respon dari kubu rivalnya, yang akhirnya antarkubu saling perang dengan mengandalkan cyber army.
Di tengah-tengah perang dalam berebut wacana inilah, pola pikir propaganda bekerja secara produktif yang berakibat pada adanya keterbelahan masyarakat. Kita pun dapat menyimpulkan bahwa agenda politik pecah belah ini bukan ada secara kebetulan di mana masyarakat saling merespon isu-isu politik yang ada, tetapi memang benar-benar diciptakan oleh antarkubu agar suara masyarakat terbelah.
Jika ini diterus-teruskan, maka tidak ada seorang pun yang dapat memastikan kapan fenomena memilukan ini akan berakhir. Dalam buku War in 140 Characters; How Social Media Has Transformed the Nature of Conflict yang dikutip oleh Suwanto (2018), David Patrikaratos mengatakan bahwa kemampuan media sosial dapat menjadikan orang-orang memiliki kekuatan untuk mengubah arah dari medan perang fisik ke medan perang daring.
Paling tidak, media sosial telah memberi dua kemampuan penting; memproduksi konten dan membentuk suatu jaringan. Sekarang ini, banyak bermunculan agen politik baru yang memiliki kekuatan pengaruh hampir setara dengan media arus utama. Adanya kesamaan kepentingan dari para penggunanya, juga dapat membuat suatu konten yang berserakan berubah menjadi suatu gerakan kolektif.
Cara kerja media sosial, melalui penggunanya, pada akhirnya tak sekedar memperebutkan suatu wacana tertentu. Lebih dari itu, ia akan menjadi semacam medan perang baru di mana setiap wacana apapun, dapat dimanipulasi dan dikontrol sedemikian rupa tanpa mempertimbangkan kebenaran yang dikandungnya. Orang menjadi tidak mampu berpikir secara logis dan dialogis. Argumentasi, dengan demikian, tidak lagi penting.
Gejala-gejala seperti ini dengan mudahnya kita temukan di setiap komentar-komentar di media sosial. Ketika muncul status atau tautan baru, yang membahas isu tertentu, banyak memantik warganet untuk saling adu komentar tanpa mempertimbangkan rasionalitas dalam berargumen. Perebutan wacana pada gilirannya tidak mampu dilakukan secara sehat dan berimbang.
Banyak orang telah kehilangan cara berpikir logis dengan mengabaikan antara data-data dan argumentasi yang memadai. Akhirnya, yang tersisa hanyalah sekedar suka atau tidak, menarik atau tidak, penting bagi dirinya atau tidak, sesuai dengan selera politiknya atau tidak, dan seterusnya. Semua ini, akan berujung pada kedunguan-kedunungan dan perang pun tidak dapat dihindari.
Apa Solusinya?
Berebut wacana dalam perseteruan politik yang mengakibatkan perang, tampaknya tidak dapat dihentikan dalam waktu dekat. Bahkan, akan terus menguat hingga menjelang Pemilihan Umum 2019 mendatang. Lalu, apakah fenomena ini dapat diredam melalui pendaftaran akun resmi? Sebagaimana ketika menggunakan sim card baru, tampaknya masih banyak yang pesimistik.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah berfatwa tentang larangan penyebaran berita-berita bohong, tapi hasilnya sangat nihil. Artinya, seruan moral pun tak dapat meredam tragedi perang di media sosial. Wacana publik di media sosial, dengan kata lain, belum benar-benar bisa disterilkan dari berbagai fitnah dan ujaran kebencian. Sebab, banyak orang cenderung mengedepankan emosi daripada akal sehatnya.
Lalu, solusi macam apa yang dapat dilakukan? Jika solusi jangka pendek hampir sulit dilakukan, maka pertimbangannya adalah solusi jangka panjang, yakni melalui cara-cara yang mengedukasi. Daripada harus mengecam keadaan secara mati-matian, lebih baik kita dapat memulai dari diri kita sendiri untuk berbuat atau bertindak.
Membangun sportivitas yang bersifat integral juga sangat diperlukan, yakni melalui penyeruan moral secara terus-menerus, regulasi, pendidikan, budaya, dan tentu saja harus ada dorongan dari setiap penggunanya untuk tetap bisa saling menghormati di atas segala macam perbedaan. Kita semua harus memandang politik sebagai arena bermain yang strategis untuk menentukan masa depan yang lebih baik.
Ruang publik media sosial harus menjadi tempat berkumpul yang sehat untuk membangun sebuah wacana yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Perebutan wacana harus dilakukan melalu cara-cara yang argumentatif, agar setiap aspirasi kolektif dapat menjadi prioritas utama dalam menjembatani kesenjangan-kesenjangan yang ada.