Saat ini, era digital hampir membuat kebiasaan masyarakat kita sedikit bergeser dari yang semestinya. Budaya saling sapa penuh perhatian ala bangsa indonesia yang kental pada sesama, sedikit banyak beralih pada perhatian layar yang isinya interaksi semu semata.
Tak terkecuali tua maupun muda, bahkan anak-anak pun banyak yang menjadi kecanduan beraktifitas di dalamnya. Tak sedikit pula mereka yang niatnya berkumpul bersama teman maupun sanak family menjadikan ajang pertemuan silaturrahmi, sebagai ladang adu “Pamer” gadget baru, pekerjaan mapan, hingga gebetan om yang sudah punya istri, kali aje.
Pertemuan yang seharusnya menjadi media untuk temu kangen, justru malah menjadi ajang seolah sibuk sendiri-sendiri dengan pose kepala tertunduk ke layar gadget. Tak peduli di sekitarnya memandang dengan sinis, ataupun sarkatis aksi menyelesaikan “war” dalam permainan perang adu strategi pun tetap kudu di selesaikan.
Realita tersebut menjadikan kita mulai mafhum manakala masyarakat zaman now lebih asik memegang gadget dibandingkan pacul, panci, buku, hingga, tasbih. Jika dahulu kita akan bisa melihat para anak kampung antusias berbondong-bondong sholat tarawih sebagai momentum merekatkan silaturrahmi di samping melirik kembang RT yang jarang muncul, sekarang lain lagi ceritanya.
Minimal dengan selesai sholat tarawih seseorang dapat memiliki momentum untuk mengetikan status terbaru, “Alhamdulillah bisa sholat tarawih”, “Alhamdulillah bisa tarawih bareng doi”, “Nikmatnya bisa sedekah lagi, walapun cuma sedikit (1 juta)”.
Di tengah masyarakat kita yang katanya menjadi masyarakat revolusi digital 4.0, media online khususnya media sosial memang salah satu alasan orang untuk melakukan “sesuatu”. Yah minimal dengan melakukan sesuatu ada hal yang bisa dijadikan sebagai bahan posting untuk memperlihatkan eksistensi diri, hingga menambah followers.
Aktifitas Berdoa Modern
Kita tentu memahami bahwasanya doa adalah sebuah aktifitas yang dikerjakan, diucapkan, dirapalkan, dan di harapkan untuk sebuah keinginan. Aktifitas berdoa tersebut termaktub dalam ibadah-ibadah, maupun momentum pengharapan dimana hasilnya nanti adalah apa yang diinginkan, diharapkan, dan diimpikan menjadi sebuah kenyataan.
Berdoa sendiri berdasarkan ajaran-ajaran yang di berikan oleh para pemuka agama akan selalu mengedepankan nilai-nilai keikhlasan hati, pikiran, dan perlakuan. Dengan mengedepankan keikhlasan maka seorang individu yang berdoa dididik untuk tetap sabar dan tak kenal lelah hingga apa yang ia panjatkan dapat dikabulkan.
Rumus keikhlasan tersebut adakalanya menjadi sesuatu yang kontradiksi manakala doa itu hanya menjadi penghias beranda status facebook, cuitan twitter, instastory instagram, hingga celotehan wadpad yang di share ke media sosial miliknya. Keikhlasan pada akhirnya menjadi dobel fungsi, antara sebuah sindiran dan kapitalisasi personal untuk mencari eksistensi.
Like, dan komentar yang ada muncul di status ataupun postingan menjadi pemanis untuk memperlihatkan bahwasanya ia seseorang artis yang populis di kalangan netizen maupun followers setia. Tak sedikit pula postingan dalam bentuk doa pada akhirnya dijadikan sebagai mekanisme unjuk kebolehan maupun prestasi yang dapat ia capai.
“semoga perjalanan ke paris hari ini dapat memberikan manfaat”, “bismillah otw”. Yah begitulah selentingan status yang kadangkala menghiasi beranda media sosial kita hari ini.
Cukup ketik amin maka anda akan masuk surga, cukup ketik amin maka rezeki kan mendatangi anda. Selentingan tersebut mungkin teringat di benak kita, sebuah selentingan yang pada akhirnya membuat media sosial facebook terkenal dengan fasilitas doanya.
Bahkan ada candaan yang mengatakan bahwasanya eksistensi twitter kalah dengan facebook akibat di twitter tidak ada fasilitas doa. Mungkin karena masyarakat indonesia dikenal dengan nilai religious yang kental, pada akhirnya cap-cap fasilitas peribadatan di media sosial membuatnya makin eksis dan kuat.
Mengembalikan fitrah doa
Seyogyanya berdoa adalah aktivitas yang dilakukan dengan mengharap pada yang maha kuasa. Oleh karenanya, segala aktivitas ibadah terlebih lagi doa, jika disandarkan pada manusia yang memberikan like maupun komentar tentu saja justru membuat rusaknya niatan doa kita. Jika sudah rusak niat kita, masihkah kita yakin ganjaran harapan dalam doa tersebut akan di kabulkan?
Tentu saja kita menginginkan doa yang kita panjatkan menjadi sebuah kebaikan bagi diri kita. Kebaikan akan optimisme sebuah cita-cita dan harapan yang terkandung di dalam sebuah doa. Memaknai bulan suci ramadhan kali ini ada baiknya kita sama-sama melakukan introspeksi diri, apakah selama ini doa yang kita panjatkan sudah benar atau tepat bentuk penyampaian dan niatnya.
Atau jangan-jangan doa yang selama ini kita panjatkan tidak di kabulkan, diakibatkan rasa ria yang masih bersarang di dalam niat kita. Periksa kembali niat kita untuk memposting sebuah doa, memang sih postingan doa di media sosial tidak ada masalah. Bahkan hal tersebut juga tidak membuat sesuatu kerusakan yang signifikan terhadap arah kehidupan orang lain.
Namun lebih daripada itu akan lebih baik merapalkan doa penuh harap dalam ketenangan dan kekhusyukan. Bukan di media sosial yang penuh ramai hingga para netizen yang maha benar. Atau jangan-jangan doa yang kita ucapkan hanya sebatas seremonial untuk berebut perhatian netizen.
Meyakini bahwasanya simbol keikhlasan hanya bisa dirasakan dalam hati. Sebuah ketulusan mungkin sulit terlihat di zaman yang serba butuh PAP hingga no picture seringkali dianggap hoax. Namun setiap ketulusan yang dimiliki seseorang cepat atau lambat pada akhirnya akan berdampak dan dirasakan bagi orang di sekitar. Wallahu’alambishoab.