Rabu, April 24, 2024

Berebut Paling Saleh

Yogi Febriandi
Yogi Febriandi
Penulis adalah Dosen di Jurusan Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhoksemawe dan Alumni SPK CRCS UGM

Kesalehan saat-saat ini menjadi obrolan rutin politik di Indonesia. Terlebih sejak pemilihan Gubernur Jakarta 2017 lalu. Aksi-aksi politik teaterikal jalanan 212 sukses membingkai politik religius melawan politik setan yang terus dimainkan oleh oposisi.

Maka tidak mengherankan munculnya figur dari kalangan Islam sebagai Cawapres yang mendampingi Jokowi pada 2019 nanti sudah diprediksi sebelumnya. Meski begitu perhatian publik terhadap sosok KH Ma’ruf Amin tidak diduga sebelumnya. Bukan hanya karena usia yang sudah sepuh, melainkan sosok “M” yang selama ini diduga akan bersanding dengan Jokowi ialah Mahfud MD.

Tak pelak, maka publik mengamini langkah ini sebagai strategi politik Jokowi dalam mengamankan suara NU (Nahdlatul Ulama) dan menepis kampanye anti-Islam yang kian santer ditujukan kepadanya.

Kampanye Jokowi sebagai sosok anti-Islam memang menjadi senjata oposisi melawan pemerintahan Jokowi. Beragam tuduhan terus-menerus dikeluarkan untuk memupus tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pribadi Jokowi dan arah pemerintahan yang ia pimpin.

Sembari pihak oposisi yang terus menerus membangun persepsi sebagai kelompok Islam dengan mendekat ke kelompok Islamis seperti FPI, FUI, dan beberapa tokoh Islam seperti Bachtiar Nasir. Puncaknya ialah ijtima’ ulama dan tokoh nasional beberapa waktu lalu yang diadakan oleh kelompok oposisi

Meski lembaga survei menunjukkan elektabilitas Jokowi yang kuat, namun resiko kekalahan tetap membuat koalisi Indonesia Kerja khawatir. Maka perlu strategi yang dapat memperbaiki citra pemerintahan Jokowi dikalangan pemilih Islam. Pada posisi demikian memilih tokoh dari kalangan Islam menjadi penting, terlebih sosok ulama besar.

Bukan Strategi Baru

Dilihat dari sejarah politik di Indonesia upaya merangkul ulama dalam politik elektoral bukan baru terjadi kali ini saja. Terlebih bagi PDI P yang memang memiliki sejarah koalisi yang erat dengan NU.

Terhitung sejak pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1999 hingga 2001, hubungan mesra antara Nu dan PDI P mulai terjalin. Saat itu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjadi Presiden dan Megawati Wakil Presiden. Saat pemerintahan Abdurrahman Wahid dijatuhkan dan kursi Presiden menjadi milik Megawati, hubungan antara PDI P dan NU masih terjalin dengan dipilihnya Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden.

Koalisi antara PDI P dan Nu tidak hanya terjadi saat menjalankan roda pemerintahan. Pada Pilpres 2004 PDI P mengusung  Megawati sebagai Calon Presiden dan Hasyim Muzadi sebagai Calon Wakil Presiden.

Konteks yang melatari pilihan pasangan Megawati dan Hasim Muzadi pun tidak berbeda dengan yang dialami Jokowi dan Ma’ruf Amin saat ini. Sentimen agama yang digunakan oleh pihak lawan politik untuk menjatuhkan citra dihadapan pemilih Islam.

Seperti yang diketahui jalan PDI P mengusung Megawati sebagai Calon Presiden tidaklah mudah, lantaran isu persoalan perempuan menjadi pemimpin dalam Islam menggema luas. Untuk membendung isu tersebut serta mendapat dukungan dari kalangan Islam, maka PDI P meminta Hasyim Muzadi yang seorang Kyiai besar Nu sebagai Cawapres.

Kali ini strategi yang sama dipakai koalisi Jokowi untuk mendapatkan dukungan kalangan Islam. Padahal bila merujuk hasil pemilihan presiden 2004,  hasil yang didapatkan dari strategi ini tidak efektif. Megawati dan Hasyim Muzadi dikalahkan oleh pasangan SBY dan Jusuf Kala. Namun, masifnya serangan opisisi yang menggunakan isu-isu kesholehan, membuat koalisi Jokowi memerlukan sosok yang dapat menampilkan kesholehan.

Perlunya Ideologi Alternatif

Respon demikian sungguh sangat disayangkan. Hal ini karena melahirkan preseden buruk bagi demokrasi elektoral kedepannya. Terlebih melihat peta politik Indonesia yang belum mengalami perubahan sejak 2014. Hanya ada dua kubu yang bertarung. Jokowi dengan mesin politik PDI P dan Prabowo dengan mesin politik Gerindra.

Sejatinya, kedua partai politik tersebut lebih ke arah ideologi nasionalis, daripada religius. Namun, seringnya Prabowo menggunakan wacana Islam dalam kampanye oposisinya, menggambarkan sebuah pertarungan ilusif antara nasionalisme dan Islamisme. Yang secara faktanya justru kian mesra dan semakin senyawa.

Menyatunya ideologi nasionalisme dan Islamisme mulai masif terjadi sesaat era reformasi dimulai. Kelompok nasionalis dan kelompok religius yang seharusnya pada oposisi biner, nampak mulai mesra. Buehler (2016) bahkan menunjukkan di level daerah, penetrasi kebijakan yang dihasilkan oleh partai-partai berideologi nasionalis tidak dapat dibedakan dengan partai Islamis. Ditingkat nasional pun, kini partai berideologi nasionalis dan partai berideologi Islamis semakin sering berebut wacana keagamaan.

Dalam situasi saat ini, banyak pihak menilai kebutuhan akan calon presiden alternatif begitu penting. Melihat dari peta politik belakangan, pilihan calon presiden memang mengerucut pada dua nama saja, Jokowi atau Prabowo. Maka adanya wacana untuk melahirkan poros ketiga dengan memunculkan calon presiden alternatif dianggap menjadi solusi atas mundurnya demokrasi elektoral di Indonesia.

Namun, patut diperhatikan kondisi demokrasi elektoral seperti saat ini bukan disebabkan oleh tidak adanya calon presiden alternatif. Kondisi yang kini dialami oleh politik Indonesia lebih dikarenakan tidak adanya poros ideologi alternatif yang dapat bersaing dengan ideologi nasionalisme dan Islamisme.

Ketidakhadiran ideologi politik alternatif selain nasionalisme dan Islamisme di Indonesia menghancurkan kekayaan diskursus politik republik ini. Praktis peta ideologi politik di Indonesia tidak berubah sama sekali sejak 1965. Nuansa nasionalis dan religius masih menyelimuti langit politik Indonesia. Keduanya pun menjadi petarung reguler dalam setiap perhelatan politik. Meski Indonesia menerapkan demokrasi sistem multipartai, namun republik ini masih miskin ideologi.

Politik tidak lagi menjadi ajang pertarungan ideologi, melainkan ajang konsensus ideologi. Hal ini kemudian menghadirkan situasi ketidakpercayaan partai politik terhadap ideologi yang harus diperjuangkan. Maka tidak mengherankan politik di Indonesia menuju kearah yang semakin mengkhawatirkan.

Yogi Febriandi
Yogi Febriandi
Penulis adalah Dosen di Jurusan Antropologi FISIP Universitas Malikussaleh, Lhoksemawe dan Alumni SPK CRCS UGM
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.