(Lanjutan dari tulisan sebelumnya.)
Istilah Hindu sendiri tidak ada di dalam kitab-kitab Veda, nama itu diberikan oleh orang-orang Persia untuk menyebut orang-orang dan tradisi masyarakat yang hidup di sekitar Sungai Sindhu (kini di Pakistan dan India) hingga ke Asia Tenggara, termasuk kepulauan Nusantara. Nama Sindhu kemudian terdistorsi menjadi Hindu, Indus, Indo, Hindia, Intu, dan seterusnya. Umat Hindu sendiri menyebut agama dan jalan hidupnya Sanātana Dharma dharma yang abadi, atau Vaidika Dharma dharma yang bersumber dari Veda, atau Nūtana Dharma dharma yang selalu segar, membaru, dan masih banyak lagi nama-nama lainnya. Ada pula yang menjalaninya tanpa merasa perlu menamai.
Agama Hindu telah hidup selama ribuan tahun, dan dipraktikkan oleh orang-orang di dalam cakupan wilayah yang sangat luas dengan budaya yang bermacam ragam. Kitab tertua umat manusia yang masih digunakan terus-menerus hingga saat ini adalah Rig Veda, yang diperkirakan sudah ada sebelum 3.000 SM. Perbedaan bahasa dan latar belakang para pencari Kebenaran di sepanjang sejarahnya tidak pernah memunculkan masalah. Salah satu larik di dalam Rig Veda (1.164.46) memberikan simpulan:
Ekam sad viprā bahudhā vadanti — Kebenaran (Sat) itu tunggal adanya, walaupun para bijak (vipra) menyebut-Nya dengan berbagai nama.
Ketunggalan yang dideklarasikan di dalam Rig Veda di atas bukan pernyataan yang bisa memunculkan dualitas: “Tuhan-ku yang paling benar, dan tuhanmu palsu.” Dualitas seperti itu—di dalam agama Hindu—lahir dari ego (ahaṃkāra atau keakuan, kata ini diserap ke dalam bahasa Indonesia sebagai ‘angkara’), yang merupakan bagian dari ilusi (māyā) yang berupaya dilepas umat Hindu agar bisa menggapai moksha, atau kebebasan yang sejati.
Lalu, bagaimana dengan dewa-dewi? Ada Trimurti: dewa pencipta (Brahmā), dewa pemelihara (Vishṇu), dan dewa pendaur ulang (Mahādeva). Ada pula dewa api (Agni), dewa angin (Vāyu), dewa hujan dan petir (Indra), dan ratusan yang lain. Apakah semua itu bertentangan dengan ketunggalan-Nya? Jawabannya tegas: Tidak! Walaupun untuk memahaminya, lagi-lagi, cangkir kita harus dikosongkan terlebih dahulu.
Di dalam ajaran agama-agama Samawi, menyekutukan Tuhan dan memuja selain-Nya termasuk dosa besar. Ke-eka-an Tuhan atau tauhid merupakan salah satu corner stone ajaran agamanya. “Tidak ada tuhan selain Allah”. Sedangkan Veda mengatakan,
Īśāvāsyam idaṃ sarvaṃ, yat kiñca jagatyām jagat (Yajurveda 40.1) — Segala sesuatu di alam semesta yang selalu berubah ini diliputi (berada di dalam) Gusti Hyang Mahakuasa.
Artinya, tidak ada sesuatu pun yang berada di luar-Nya: saya, Anda, gadget di hadapan Anda, binatang, tumbuhan, planet bumi, bintang, galaksi, dan semua di alam semesta ini—yang bisa dideteksi atau yang tidak—ada di dalam-Nya, dan merupakan bukti ke-Mahakuasa-an-Nya. Ia juga:
Acintyo nishkalaḥ śāntaḥ, dhruvam abyayam īśvaraḥ, asau sūkshmaḥ paraḥ śāntaḥ, śivaḥ sakalanishkalaḥ. (Dharma Pātañjala)— Tidak terjangkau pikiran, tanpa bentuk, tidak memerlukan sesuatu apapun, kokoh, tidak berubah, mulia, halus, yang tertinggi, Ia lah segala yang berwujud (sakala) dan yang tak berwujud (nishkalaḥ).
Jika demikian, maka tidak ada tempat untuk yang selain-Nya, yang ada hanya Dia. Jika penglihatan kita berbeda dari apa yang diungkapkan para rishi di atas, maka itu akibat pengaruh māyā, ilusi. Jika aku melihat Tuhan-ku dan tuhan-mu berbeda, itu adalah māyā. Jika aku tidak bisa melihat ke-Tuhan-an di sekitarku, di dalam alam raya ini, maka itu adalah māyā. Jika aku tidak melihat ke-Tuhan-an di dalam diriku, sebagaimana di dalam dirimu, dan di dalam diri orang lain, maka itu adalah māyā. “Itu” lah kesejatian dirimu, “Tat tvam asi” (Chāndogya Upanishad).
Menyadari ini, umat Hindu tidak-bisa-tidak melihat ke-Tuhan-an di mana-mana: di api yang sedang berkobar, di angin yang berembus, hujan yang turun, di air dan lautan, di gunung-gunung, di dalam tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang, dan di dalam berbagai macam simbol-simbol yang disucikan—abstrak maupun berwujud. Sehingga, melakukan puja dan sembahyang dengan menggunakan sarana-sarana tersebut diperbolehkan di dalam ajaran agama Hindu.
Setiap orang diperkenankan memilih ishṭa devatā atau sarana/simbol suci yang paling dekat di hati masing-masing. Sarana-sarana atau simbol-simbol suci yang digunakan di dalam tradisi Hindu jumlahnya sangat banyak; tidak hanya berupa benda: kaligrafi, berbagai mūrti (alat visualisasi-Nya dalam bentuk dua maupun tiga dimensi, seperti gambar dan patung), kitab suci, bangunan suci, dan sebagainya, namun juga yang tidak kasat mata: mantra, nama-nama-Nya, cerita, hari-hari raya, dan sebaginya. Semua sarana dan simbol tadi dibuat oleh para bijak (rishi, vipra, guru) untuk memudahkan para pejalan-spiritual atau sādhaka.
Anda tidak harus menggunakan sarana dan simbol yang sama dengan saya, demikian juga sebaliknya. Sarana dan simbol ini persis seperti jari telunjuk yang menunjuk pada Kebenaran yang sama. Anak-anak kecil bisa saja saling berkelahi, menyombong bahwa mainannya adalah yang paling keren, tapi semakin ia dewasa, semakin ia menyadari bahwa tak semua orang menyukai mainannya. Ada yang menyukai boneka, ada yang suka mobil-mobilan, ada yang gemar robot dan superheroes, dan ada juga yang bermain masak-masakan, bola, sepatu roda, dan sebagainya. Ada yang bermain-main dengan benda, ada yang bermain-main dengan ide. Pada saatnya nanti ketika “kedewasaan” spiritual tecapai, semua itu pun akan tanggal dengan sendirinya.
Silakan jika ada yang ingin “mendekati”-Nya sebagai Brahman yang tak berwujud, atau dewa-dewi. Perwujudan dan cerita masing-masing dewa atau dewi tidak dibuat sembarangan, tapi mengikuti kaidah-kaidah yang digariskan para bijak; setiap simbolnya sarat dengan makna untuk direnungkan, pesan visual yang bisa di-dekode dari zaman ke zaman. Di saat yang sama, umat Hindu menyadari bahwa sarana dan simbol yang dibuat dari logam, kayu, batu, atau cat di atas kanvas juga akan lapuk/rusak. Namun, tidak berarti bahwa Tuhan—yang disimbolkannya—ikut lapuk/rusak.
Gambar dan patung dihindari di dalam tradisi agama-agama Samawi karena kejadian-kejadian di masa lalunya, yang mana beberapa kaum membuat tuhan-tuhan tandingan, atau “membatasi” Tuhan dalam satu benda fisik (sehingga bisa dimonopoli), sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama Hindu yang memang memiliki model/maket, dasar filosofi, dan sejarah yang berbeda. Ide membuat Tuhan tandingan—bagi agama Hindu—sangat konyol, dan membatasi Yang Tak Terbatas di dalam satu benda saja menunjukkan kebodohan diri.
Sebaliknya, menurut agama Hindu, ketidakterbatasan Tuhan juga berarti ketidakterbatasan “wujud”-Nya. Tidak seorang pun berhak dan bisa memonopoli-Nya: dengan atau tanpa wujud. Setiap bhakta, pengabdi-Nya, diperkenankan memilih sarananya masing-masing untuk digunakan di dalam perjalanan spiritualnya. Jika dalam perjalanannya itu, ego muncul—bahwa jalanku lah yang terbaik—maka ia sedang salah jalan. Tapi jika ia mulai bisa menghargai perbedaan, melihat Yang Tak Terbatas di balik setiap makhluk yang terbatas ini—sehingga Kasih dalam hatinya berkembang—maka ia sedang menapaki jalan Kebenaran. Sekian. Rahayu.