Jumat, Desember 6, 2024

Berakhirnya Politik Hoaks

Raylis Sumitra
Raylis Sumitra
Presedium PENA 98 (Perhimpunan Nasional Aktivitis 98) Jawa Timur Mantan Jurnalis pengemar kopi
- Advertisement -

Politik dengan menyebarkan sentimen-sentimen permusuhan yang tujuannya meningkatkan ekskalasi ketakutan. Mengalami ‘anti klimaks

Ya, kasus Ratna Sarumpet pekan lalu. Seakan membuka tabir kesadaraan kita. Bahwa hoaks bukanlah sesuatu yang paradoks dalam politik tanah air terakhir ini.

Istilah hoaks sendiri mulai ramai diperbincangkan Jakarta 2017 silam. Antara pro dan kontra Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Saking kerasnya, pertarungan itu sehingga tidak hanya di dunia maya. Tapi sampai dalam kehidupan nyata, di sendi kehidupan sosial masyarakat. Hoaks sendiri mempunyai definisi, kabar atau informasi yang tidak benar alias bohong.

Dalam konteks politik, para pelaku politik hoaks digunakan untuk menyakinkan persepsi publik terhadap kandidat. Efeknya, bagi pembuat akan meningkatkan elektoral kandidat yang didukungnya. Dan tentu saja meruntuhkan lawan yang jadi saingan.

Ya, sebenarnya politik hoaks sudah berlangsung sejak era reformasi. Setelah dibukanya keran informasi. Awalnya, media yang digunakan adalah media sosial. Siapa yang mempunyai akses dan didukung media, mereka yang akan menguasai medan pertarungan opini.

Tapi di era media massa, ekskalasinya bisa dikontrol.  Sehingga efeknya tidak seberapa besar dalam kehidupan di masyarakat. Media massa dibatasi dengan kode etik dalam memproduksi informasi.

Kondisi ini mengalami perubahaan. Seiring dengan berubahnya tren masyarakat yang semakin cepat. Dengan banjirnya teknologi gawai kisaran 5 tahun lalu. Teknologi informasi pun berubah. Termasuk dengan kebutuhan masyarakat terhadap informasi.

Medsos menjadi ‘Tuhan Baru’ masyakat dalam memperoleh informasi. Informasi yang akan jadi rujukan diukur dengan istilah baru. Yaitu viral. Kalau viral di medsos, informasi itu dianggap benar. Setiap individu pun akan terdorong menyebarkannya.

Pilgub DKI Hingga Ratna Sarumpaet

Begitulah, tidak terkontrolnya informasi di era digital. Individu merasa punya hak untuk menyebarkan informasi.

- Advertisement -

Euforia politik hoaks yang paling kita rasakan di Pilgub DKI Jakarta. Medsos menjadi sampah informasi yang di luar kontrol. Caci-maki di luar kepatutan berseliweran di medsos. Baik kubu pro dan kontra meluapkan emosinya. Dari satu teks informasi.

Batasan norma sosial pun tidak dihiraukan. Sensitifitas Suku, Agama dan Golongan di ekplorasi habis-habisan.  Bahkan tidak hanya itu saja, hal yang privasi hingga fisik menjadi alat untuk menghujat.

Tidak terbatasnya materi informasi tersebut, efeknya pada kehidupan nyata. Bentrok antar kelompok pendukung nyaris tidak bisa dibendung. Pilkada Jakarta memanas. Gesekan Kubu pro dan kontra dibeberapa tempat tidak dihindarkan. Baik show of force maupun adu mulut.

Selain tidak terbatas materi informasinya, media sosial yang jadi alat politik hoaks tersebut. Tidak memiliki batas ruang geografis. Pilgub DKI tidak hanya berimbas di wilayah DKI.  Netizen di luar DKI pun terimbas. Mereka terlibat aktif memberi konstribusi hoaks yang terjadi di DKI Jakarta.

Sehingga Pilkada serentak yang berlangsung setahun setelah Pilgub DKI. Sedikit terimbas. Namun perbedaannya, polarisasi tidak sekuat Pilgub DKI.  Kalaupun terjadi hanya kewaspadaan. Disini memang diperlukan kedewasaan kandidat untuk menciptakan suasana kompetisi yang sehat.  Sehingga tidak memancing netizen memberikan tanggapan negatif di medsos.

Hoaks Ratna

Menuju ke Pilihan Presiden 2019, nitizen pun tersentak. Paradoks hoaks dalam konstelasi pemilu tanah air. Ternyata benar adanya.

Pengakuan Ratna kalau dianiaya, hanya kebohongan belaka. Aktivis perempuan ini, mengaku kalau dirinya bukan korban penganiyaan. Melainkan efek dari operasi plastik. Berbeda dengan pengakuan awalnya, kalau mukanya lebam karena korban penganiayaan.

Seperti diketahui, Ratna adalah juru bicara Tim Sukses Pasangan Capres dan Cawapres Prabowo-Sandiago Uno. Kabar ini ditanggapi kubu Prabowo. Sehingga memunculkan banyak spekulasi. Yang paling mendekati spekulasi tersebut. Upaya penganiyaan tersebut untuk melemahkan Ratna yang terkenal kritis.

Informasi tersebut menjadi trending topic mengalahkan berita Tsunami di Palu dan Donggala, saat Ratna mengakui dirinya berbohong. Seketika itu medsos penuh dengan hujatan kepada Ratna.  Kebohongan itu juga ditangapi kubu Prabowo dengan meminta maaf atas pernyataan sebelumnya.

Kebohongan ini, titik kulminasi tentang politik hoaks. Netizen mulai sadar. Ada sebuah kebohongan yang sengaja dibuat dalam konstelasi politik.

Kebohongan Ratna sebuah marga kejut netizen. Bagaimana ramah ber-media sosial. Cara menerima informasi yang sebelumnya spontan. Sekarang harus diketahui kebenarannya. Yang selama ini sporadis membagikan informasi, saat ini lebih berhati-hati. Karena ada efek hukum apabila yang disebarkan adalah informasi hoaks.

Raylis Sumitra
Raylis Sumitra
Presedium PENA 98 (Perhimpunan Nasional Aktivitis 98) Jawa Timur Mantan Jurnalis pengemar kopi
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.