Jumat, April 26, 2024

Beragama Seperti Makan Durian

Abul Muamar
Abul Muamar
Abul Muamar, penulis dan editor. Aktif dalam advokasi isu-isu pembangunan berkelanjutan.

Kita yang tinggal di Yogyakarta dan sebagian wilayah Jawa Tengah bolehlah merasa sedikit gembira saat ini. Musim buah sedang melimpah. Semuanya sedang murah. Ada mangga, manggis, rambutan, hingga durian. Yang terakhir disebut ini yang paling paten. Kalau biasanya harganya bisa sampai Rp 100 ribu per buah untuk yang ukuran sedang-sedang saja, sekarang kita bisa membelahnya dengan harga Rp 30 ribu saja.

Malah, kalau mau sedikit berjuang menempuh jarak jauh ke pelosok desa, ke Klaten atau ke Pathuk, misalnya, kita bisa mendapatkannya dengan harga yang lebih murah lagi. Pemulung pun mungkin bisa melasa gembila kalau-kalau ada orang yang tidak kuat menghabiskan duriannya, lalu berbaik hati membaginya dengan mereka. Bukan begitu, Pak Jokpin?

Musim durian ini pun cocok banget untuk ber-selfie dan memamerkannya di media sosial. Setiap hari selama musim durian yang sudah berlangsung selama kurang lebih dua bulan ini, kita bisa tahu siapa saja teman atau kenalan kita yang sedang menyantap durian. Dengan gaya macam-macam pastinya. Untung saja baunya tidak sampai menguar dari lini masa Instagram atau Facebook saat kita melihatnya.

Tapi sayang…

Musim buah yang menggembirakan itu harus tiba berbarengan dengan musim yang membuat kita gelisah: musim hakim agamais. Musim itu ditengarai oleh dua kejadian menjengkelkan dalam rentang waktu yang tak berjauhan. Pertama, penghakiman massa terhadap pasangan terduga mesum di Cikupa, Tangerang; kedua, perundungan orang-orang terhadap Rina Nose yang memutuskan melepas jilbab.

Tentu saya tahu, sudah pasti sudah terlalu ketinggalan kalau saya membahas dua hal itu lagi di sini. Lagi pula, sudah banyak ulasan dari orang-orang yang lebih cerdas dan lebih berwawasan dibanding saya. Maka, saya tegaskan bahwa saya tidak akan membahasnya.

Lantas, cuma dua peristiwa kok disebut musim? Ya, memang cuma dua, tapi akibat yang ditimbulkannya menyebabkan para hakim agamais keluar dari persembunyian mereka. Ramai-ramai. Mereka yang selama ini diam, tiba-tiba mendadak ikut bereaksi dan berkomentar.

Komentarnya menohok-nohok pula. Bukan cuma terhadap objek pemberitaan, tetapi juga teralamatkan kepada orang-orang yang membagikan pemikiran yang cenderung menghardik para pelaku, yang dalam hal ini adalah warga di Cikupa yang menganiaya dan menelanjangi pasangan malang itu, dan orang-orang yang merundung Rina Nose. Kemunculan orang-orang konservatif saklekan yang riuh dan ramai inilah yang saya sebut musim itu.

Saya termasuk salah satu orang yang kena semprot gara-gara tidak ikut menghujat Rina Nose dan malah membelanya. Juga karena saya ikut mengasihani pasangan di Cikupa itu. Tak tanggung-tanggung, dari sekian banyak pesan masuk, ada empat orang terdekat saya yang menegur. Ada sahabat saya sejak SD, ada mantan gebetan, dan ada pula mantan pacar (ups). Mereka mengira saya sudah menyimpang dari ajaran agama yang saya anut. Sekali lagi, hanya karena saya membela Rina Nose dan pasangan yang (anggaplah) mesum itu.

“Kalau perintah Tuhanmu saja kau abaikan dengan alasan kebebasan berekspresi, hak manusia, dan lain-lain, perlu dipertanyakan tauhidmu! Jangan memprovokasi muslimah berhijab!” komentar salah seorang kawan.

Sebenarnya, ada beberapa komentar lain yang senapas dengan ini, yang tak mungkin saya tuliskan satu per satu. Seperti yang saya bilang tadi, saya tidak akan membahas komentar mereka di sini. Sampai di titik ini, saya pun sebenarnya tak berniat dan berminat merespons teguran mereka itu. Sampai akhirnya ada satu teman yang berkomentar aduhai sekali. Bunyinya begini:

Sekali-sekali, upload foto hadist rasul donk. Biar tidak jauh dari Allah!

Luar biasa, bukan? Masa iya, dekat tidaknya saya dengan Tuhan ditentukan dari konten posting-an atau upload-an saya di medsos?

Seruan macam ini memang bukan hal yang baru. Seiring perkembangan teknologi, seruan-seruan, dakwah-dakwah keagamaan, bahkan fatwa baru sekalipun bisa disebarluaskan dengan serampangan melalui medsos, grup WA, dan sebagainya. Setiap hari ketika menyimak lini masa Facebook atau Instagram, pasti ada saja yang macam itu. Ada yang berbentuk foto editan, ada tulisan copas dari teman ke teman, yang ujungnya ditambahi dengan ancaman “hanya orang kafir yang tidak mau meneruskan pesan ini…”. Ngeri, bukan?

Terus terang, selama ini saya tak terlalu menanggapi orang-orang macam itu; orang-orang yang kalau mengerjakan hal-hal peribadatan, tak lupa mem-posting-nya di medsos. Ya, barangkali biar sesuai dengan azas medsos: aku adalah apa yang aku posting; aku posting sabda Rasul, maka aku dekat dengan Rasul.

Sekarang, barulah saya benar-benar paham, setelah mendapat pesan yang aduhai tadi.

Sekali-sekali, upload hadist rasul donk. Biar tidak jauh dari Allah!” (Saya ulangi karena saya terngiang-ngiang sampai saat menulis tulisan ini)

“Apa rupanya yang kau pahami sekarang?” tanya seorang kawan waktu saya bercerita tentang ini.

“Yang kupahami, biar dianggap saleh, beragamalah seperti makan durian,” jawab saya.

Abul Muamar
Abul Muamar
Abul Muamar, penulis dan editor. Aktif dalam advokasi isu-isu pembangunan berkelanjutan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.