Genap 73 tahun seluruh masyarakat Indonesia mendengar kata merdeka, tepat di bulan Agustus pula Indonesia mendeklarasikan sebagai Negara yang sudah tak terjajah oleh Negara asing.
Bahkan dalam setiap merayakan kemerdekaan seluruh masyarakat Indonesia begitu antusias menyambutnya, mulai dari mengibarkan bendera di depan rumahnya sampai mengadakan lomba-lomba Agustus-an, sebagai bentuk semangat perjuangan dan menghargai jasa pahlawan kata mereka.
Budaya kibar bendera awal mulanya ada sejak masa proklamator kita, bahkan dalam hal pengibaran Sangsaka Merah Putih ini pun ada aturannya sendiri yang mewajibkan pengibaran bendera tersebut, yaitu ada dalam Undang-undang No 24 tahun 2009 tentang Bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan Bab 2 bagian kedua pasal 7 ayat 3 tentang penggunaan bendera Negara.
Begitu lengkap dijelaskan dalam undang-undang tersebut, yang intinya adalah untuk (a) memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara kesatuan republik Indonesia; (b) menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan Negara kesatuan republik Indonesia; dan (c) menciptakan ketertiban, kepastian, dan standarisasi penggunaan bendera, bahasa dan lambang Negara, serta lagu kebangsaan.
Ironisnya ketika segala rangkaian aktivitas penghormatan tersebut hanya dilakukan sebagai suatu hal yang formalistis, maka yang terjadi adalah tidak tercapainya penghayatan bersama tentang refleksi bulan kemerdekaan kita.
Sehingga masyarakat seolah hanya terhipnotis euphoria formalitas belaka, yang seharusnya bulan kemerdekaan ini kita jadikan sebagai momen evalusai bersama tentang kemerdekaan.
Apakah sudah tercapai harapan para Founding Father kita, yang memang setelah masanya mereka menggantungkan nasib bangsa kepada para penerusnya, sehingga para generasi selanjutnya benar-benar faham atas penghayatan bulan kemerdekaan ini, bukan malah terbuai dengan kegiatan-kegiatan Agustus-an ataupun globalisasi kecanggihan teknologi yang terkadang lepas dari moral.
Ketika kita benar-benar mau melihat kondisi bangsa saat ini, yang terlihat adalah kehancuran yang akan datang menghampiri, dimana prilaku tak bermoral terus terjadi, baik itu dilakukan oleh perseorangan golongan anak-anak, remaja, tua, hingga terkadang hal tersebut dicontohkan oleh elit plotik kita di tataran pemerintahan, yang seharusnya mereka menjadi tuntunan kini malah jadi bahan tontonan.
Belum juga mereka yang tersandang kasus Negara itu menyelesaikan nasib bangsa, juga begitu banyaknya pejabat Negara (Anggota dewan atau bupati) yang kita percaya justru terjerat kasus yang sangat terhina, korupsi misalnya. Baik di tingkatan daerah maupun diatasnya. Maka yang harus kita lihat adalah; apakah kita sudah merdeka? Di mana rakyat akan percaya? Kapan mereka akan sejahtera?
Belum juga selesai menyambut bulan kemerdekaan, Indonesia terlebih dahulu disambut dengan bencana alam yang bertubi-tubi, seperti Gempa Bumi yang terjadi di Nusa Tenggara Barat (05/08) yang menewaskan lebih dari 300-an jiwa manusia, kemudian gempa-gempa susulan lainnya, Erupsi Gunung Agung, Bali yang kembali memuntahkan awan panas pada hari Kamis (09/08) pukul 06.45, dan di hari yang sama bagian Indonesia yang lain juga sedang tertimpa bencana, tepatnya di Kalimantan Barat terjadi kebakaran hutan (09/08) pukul 07:00.
Pada bulan kemerdekaan ini Indonesia memang sedang disambut juga dikepung dengan berbagai macam bencana alam yang datang, sebagaimana yang ada pada data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dibuat keos menangani bencana yang terjadi, sehingga fokus perhatian tidak bisa ke semua lini, disamping itu juga ada beberapa bagian yang harus segera mendapatkan penanganan khusus seperti yang terjadi di Lombok, NTB.
Belum lagi pada tahun politik ini masyarakat dengan mudah teralihkan fokus perhatian kepada penetapan Capres dan Cawapres dimasing-masing kubu yang tidak kalah heboh kabar beritanya dengan segala macam bencana alam yang menimpa negri ini.
Sebelumnya publik sempat diliputi misteri siapakah kira-kira yang dipilih oleh kandidat terkuat Capres Joko Widodo (Jokowi) maupun Prabowo, sehingga pada akhirnya penetapan Cawapres Jokowi muncul satu nama yaitu Prof. KH. Ma’ruf Amin dari kalangan Ulama’ yang menjabat sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdatul Ulama’ (PBNU) juga merupakan Ketua Majlis Ulama’ Indonesia (MUI), yang menjadi pembahasan hangat.
Begitupun di kubu Prabowo yang juga memunculkan satu nama Sandiaga Salahuddin Uno yang sekarang menjabat sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta yang harus di ikhlaskan oleh masyarakat DKI untuk maju menjadi Cawapres Prabowo (09/08).
Apa sebenarnya yang terjadi pada negri ini, dilihat dari sudut pandang teologis sebenarnya cukup menjadi isyarat bahwa negri kita sedang tidak baik-baik saja, Tuhan sedang memberikan evalusai kepada kita, kepada negeri yang teramat sering tertimpa bencana, sekalipun memang sejatinya cobaan akan selalu dihadapkan kepada hamba-Nya.
Namun sebenarnya ada hal yang ingin disampaikan oleh tuhan kepada kita, kepada negri kita dengan adanya bencana alam yang bertubi-tubi menimpa, dan hal itu harus bisa kita tangkap apa sebenarnya yang salah, sebelum Tuhan semakin murka kepada Bumi kita, Alam kita, Negri kita tercinta juga rakyatnya.
Maka menginjak usia ke 73 tahun Indonesia merdeka ini harus ada evaluasi, ada perenungan yang dapat mengantarkan kita untuk memahami hal yang paling fundamental, yaitu perbaikan moral dan pendidikan yang harus disadari oleh setiap individual juga didukung oleh lembaga pendidikan, hal itu harus selalu diperhatikan.
Pramoedya Ananta Toer (1926-2006) mengatakan “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”, agar pula benar-benar dapat tercapai dasar atau landasan filosofis yang diinginkan oleh Bapak Pendidikan Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) dengan semboyannya yaitu; “Ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”.
Sehingga budaya refleksi kemerdekaan setiap tahunnya benar-benar bisa memaknai arti kata merdeka, agar tidak hanya selesai pada pasang bendera dan panjat pinang serta lomba-lomba Agustus-an saja.