Saat getaran beruntun mengguncang Lombok dan sekitarnya, perhatian dan simpati terus membanjiri. Sebab kita punya ingatan kolektif tentang gempa maha besar di Aceh dan beberapa bencana serupa dalam magnitude yang lebih kecil. Melihat banyaknya korban, tidak ada yang tak tersentuh hatinya.
Gempa lombok sejauh ini menyebabkan 560 orang korban jiwa dan lebih 80 ribu rumah rusak. Belum lagi ratusan ribu penduduk dipaksa meninggalkan tempat tinggalnya untuk sementara waktu (BNPB, Agustus 2018). Demikianlah risiko tinggal di kawasan rawan bencana.
Apalagi jenis bencana seperti gempa bumi, memiliki karakteristiknya yang khas, bisa terjadi cepat tanpa bisa diprediksi waktu terjadinya. Sebagian kawasan seperti Lombok memang merupakan kawasan seismik aktif.
Paska gempa Lombok, upaya turut menolong diatas dasar rasa welas asih marak. Bantuan dalam berbagai bentuknya segera dimobilisasi. Inisiator bantuan tidak saja lembaga namun juga individu.
Dari jasa tenaga sukarela masa tanggap darurat, bantuan medis, makanan, pangan, infrastruktura hingga dukungan psiko-sosial bagi korban. Jenis terakhir umumnya ditujukan bagi anak-anak dan korban yang mengalami trauma, apalagi terpaksa menjauh sementara dari tempat tinggal.
Banyak sekali simpul-simpul yang disiapkan untuk mejadi saluran bagi bantuan kemanusian tersebut. Jenis yang paling populer dan lazim misalnya adalah mobilisasi pendanaan bersumber dari publik. Dari sini menarik menelisik bagaimana pengorganisasian respon kemanusiaan, sikap dan persepsi kelompok penyumbang mengalami pergeseran.
Secara etimologi filantropi berasal dari bahasa Yunani. Secara harfiah berarti “kasih pada manusia”. Filantropi purba kemudian berkembang dan meluas maknanya menjadi gagasan dan tindakan yang diekspresikan dalam bentuk donasi dan dukungan lain untuk tujuan membantu manusia.
Di Indonesia, filantropi seakan menemukan momentumnya dengan frekuensi bencana yang kerap terjadi dengan skala dampaknya yang luas. Tidak hanya itu, berbagai insiden kemanusiaan diluar kejadian bencana juga banyak terjadi.
Dahulu, saluran-saluran filantropi tidak banyak tersedia. Donasi umumnya dikumpulkan dan disampaikan melalui media-media filantropi konvensional. Saluran yang populer, terbatas pada kelompok pengelola bantuan berbasis keagamaan.
Didalamnya termasuk pengelola zakat, celengan masjid, kotak sumbangan dan kolekte yang dipungsut melalui gereja. Masyarakat memercayakan donasinya kepada kelompok tersebut tanpa ekspektasi atas akuntabilitas pengelolaannya. Kita percaya dan merasa cukup. Setidaknya tuntunan kewajiban beragama penganutnya sudah dipenuhi. Begitulah sistem filantropi lama bekerja.
Seiring waktu, pilihan-pilihan sasara filantropi semakin terbuka. Perkembangan teknologi memungkinkan kita mengakses informasi lebih banyak. Bahkan jika hendak menyasar target khusus penerima donasi, sangat bisa dilakukan.
Sikap kritis pemberi bantuan mulai muncul. Berangkat dari kenginan untuk mengoptimalkan pemanfaatan donasi, para pendonor hadirnya sistem manajemen filantropi yang terlembaga dan lebih tertata.
Tuntutan kaum filantropis tersebut direspon dengan kelahiran lembaga-lembaga yang didirikan khusus untuk menjadi saluran filantropi, dengan pendekatan yang lebih modern. Lembaga tersebut umumnya berbadan hukum dan dikelola secara profesional oleh sejumlah anggota tim yang bahkan bekerja purna waktu.
Dalam sistem baru ini, para filantropis diberi akses yang lebih terbuka dan transparan untuk tahu pengelolaan donasi yang diberikan. Rekaman pencataan rapi dan menunjukkan sampai penerima donasi.
Selain soal transparansi, soal ketimpangan juga menjadi isu umum dinegeri ini. Keberadaan lembaga-lembaga filantropis baru tersebut diharapkan membantu pemerataan distribusi bantuan kemanusiaan untuk sampai kepada yang berhak. Hingga menjangkau lokasi-lokasi secara geografis sulit diakses.
Selain itu, lembaga semacam ini unggul secara dari sisi kemampuan pengelola, metodologi dan perangkat. Standar operasi sudah disusun dengan instrumen yang lengkap sejak masa penjajakan, perencanaan, dan distribusi. Selain itu, platform mobilisasi bantuan kemanusaan juga memanfaatkan teknologi digital. Setiap orang, dimananapun bisa menyalurkan dan mengakses informasi lebih terbuka. Cara-cara demikian yang ditempuh semakin menyuburkan gerakan filantropis.
Sebelumnya, kita tidak pernah membayangkan bahwa donasi dalam bentuk hewan kurban penduduk Jakarta bisa diiterima oleh saudara kita di Papua atau dilokasi bencana yang secara fisik terentang jarak yang jauh. Dengan sistem filantropi saat ini, semua menjadi mungkin. Dalam contoh lain, kita tidak pernah berpikir bahwa kita bisa memilih donasi untuk kelompok khusus yang kita inginkan. Seperti difabel atau anak-anak dengan derita sakit yang tak lazim atau berkebutuhan khusus.
Lebih jauh, saat ini gerakan filantropi di Indonesia bergerak maju secara positif dengan visi jauh melampaui kebutuhan respon kemanusian jangka pendek. Filantropi telah menjadi gerakan sosial. Beberapa kelompok bahkan memiiliki idealisme untuk mengambil peran dalam perwujudan keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan denga modalitas kaum dermawan.
Pergeseran ini positif sebab memakmurkan perilaku filantropis warga negara. Selain itu memberi pilihan-pilihan yang lebih banyak untuk memilih saluran yang dikehendaki. Pada akhirnya, lembaga filantropi dipaksa berpacu , berkompetisi menjadi lebih kredibel demi merebut kepercayaan publik. Dari celengan masjid, filantropis bergerak jauh mengikuti zamannya.